Rabu, 02 Mei 2018

Jaksa Buka Kemungkinan Rilis Perintah Pemanggilan Trump


Jaksa Buka Kemungkinan Rilis Perintah Pemanggilan Trump
Jaksa Khusus Robert Mueller membuka kemungkinan merilis perintah pemanggilan Donald Trump jika terus menolak memberikan keterangan terkait dugaan intervensi Rusia dalam pemilu. (Reuters/Jonathan Ernst)



Jakarta, CB -- Jaksa Khusus Robert Mueller membuka kemungkinan merilis surat perintah pemanggilan terhadap Donald Trump jika sang Presiden Amerika Serikat terus menolak memberikan keterangan terkait kasus dugaan intervensi Rusia dalam pemilu 2016.

Mueller mengutarakan langsung kemungkinan subpoena itu saat bertemu dengan mantan pengacara Trump, John Dowd, pada awal Maret lalu.

Saat mendengar kemungkinan itu, Dowd langsung melontarkan protes kepada jaksa yang mencurigai ada kolusi antara Trump dan Rusia itu.


"Ini bukan permainan. Anda mengacaukan pekerjaan seorang presiden Amerika Serikat," ujar Dowd, sebagaimana dikutip Reuters, Selasa (1/5).


Sekitar dua pekan setelah pertemuan tersebut, Dowd keluar dari tim pengacara Trump.

Kabar ini pertama kali diungkap oleh Washington Post pada awal pekan ini. Menurut surat kabar tersebut, setelah pertemuan itu, Mueller sepakat memberikan tim pengacara presiden informasi spesifik mengenai hal-hal yang akan mereka tanyakan ke Trump.

Dari informasi tersebut, pengacara Trump, Jay Sekulow, menghimpun 49 pertanyaan yang diyakini akan ditanyakan ke kliennya.

Daftar pertanyaan yang terbongkar dalam pemberitaan New York Times pada Senin (31/4) itu mencakup mengenai hubungan Trump dengan Rusia, hingga kemungkinan sang presiden mencoba menghalangi proses penyelidikan.


Ketika daftar pertanyaan itu bocor, Trump berkata melalui akun Twitter pribadinya, "Sangat tak terhormat pertanyaan terkait Rusia dibocorkan ke media. Tak ada pertanyaan mengenai kolusi."

Melanjutkan pernyataannya, Trump menulis, "Tampaknya sangat sulit mengganggu proses peradilan sebuah kejahatan yang tidak pernah terjadi."

Selama ini, Trump dan Moskow selalu membantah tudingan intelijen AS yang menduga ada kolusi antara tim kampanye sang presiden dan Rusia untuk memenangkan pemilu.





Credit  cnnindonesia.com