MANILA
- Ratusan aktivis demo turun ke jalan di Manila, Filipina, untuk
memprotes keterlibatan tentara Amerika Serikat (AS) dalam pengepungan
Marawi. Para demonstran membakar patung Presiden Donald Trump dan
Presiden Rodrigo Duterte di depan Kedutaan Besar AS di Manila.
Para aktivis tersebut bentrok dengan polisi saat melakukan demonstrasi di luar Kedutaan AS hari Jumat. Mereka tidak setuju atas operasi militer di Marawi yang belum berakhir, di mana tentara Washington membantu pasukan militer Manila menumpas para militan terkait ISIS di wilayah tersebut.
Para aktivis menentang penerapan status darurat militer di Marawi. Para aktivis sayap kiri menuduh Duterte masih menjadi “boneka” AS karena dia belum sepenuhnya mencabut perjanjian pertahanan kedua negara yang memungkinkan tentara AS membantu Filipina dalam operasi militer di Marawi.
Militer AS menyediakan pesawat pengintai dan staf teknis ke Filipina untuk memerangi para militan Maute, kelompok bersenjata yang bersumpah setia kepada kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Lebih dari 800 orang dilaporkan tewas sejak pengepungan Marawi dimulai.
”Ini adalah pemerintahan yang tidak lagi mengejar kebijakan luar negeri yang independen dan tidak berbeda dengan rezim masa lalu yang telah memeluk imperialisme AS di Filipina,” kata Renato Reyes Jr, Sekretaris Jenderal Aliansi Patriotik Baru, sebuah organisasi sayap kiri Filipina, seperti dikutip Reuters, Sabtu (16/9/2017).
Sebuah rekaman video yang dirilis Reuters menunjukkan para aktivis berbaris dengan spanduk bertuliskan;"US: Imperialist, # 1 terrorist. Hands off Marawi! US troops out now!"
Massa bentrok dengan polisi saat mereka berbaris, dan beberapa demonstran membakar patung Trump dan Duterte.
Duterte meningkatkan hubungan Manila dengan Washington saat dia mencari aliansi dengan China dan Rusia segera setelah dia mulai menjabat pada Juni 2016.
Sementara itu, Duterte telah mengancam untuk mengumumkan undang-undang darurat militer nasional mulai minggu depan jika sebuah demonstrasi yang dijadwalkan oleh kelompok komunis dan kelompok sayap kiri berubah menjadi kekerasan.
”Dia mengatakan, jika pihak (sayap) kiri akan mencoba melakukan demonstrasi besar-besaran, mulai menyebabkan kebakaran di jalan-jalan, mereka akan mengganggu negara, maka saya mungkin (mengumumkan darurat militer),” kata Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana menirukan ucapan Duterte.
Demonstrasi besar-besaran rencananya digelar pada 21 September untuk menyuarakan perlawanan terhadap perang narkoba yang dikobarkan Duterte dan serangan terhadap institusi demokratis di negara tersebut.
Para aktivis tersebut bentrok dengan polisi saat melakukan demonstrasi di luar Kedutaan AS hari Jumat. Mereka tidak setuju atas operasi militer di Marawi yang belum berakhir, di mana tentara Washington membantu pasukan militer Manila menumpas para militan terkait ISIS di wilayah tersebut.
Para aktivis menentang penerapan status darurat militer di Marawi. Para aktivis sayap kiri menuduh Duterte masih menjadi “boneka” AS karena dia belum sepenuhnya mencabut perjanjian pertahanan kedua negara yang memungkinkan tentara AS membantu Filipina dalam operasi militer di Marawi.
Militer AS menyediakan pesawat pengintai dan staf teknis ke Filipina untuk memerangi para militan Maute, kelompok bersenjata yang bersumpah setia kepada kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Lebih dari 800 orang dilaporkan tewas sejak pengepungan Marawi dimulai.
”Ini adalah pemerintahan yang tidak lagi mengejar kebijakan luar negeri yang independen dan tidak berbeda dengan rezim masa lalu yang telah memeluk imperialisme AS di Filipina,” kata Renato Reyes Jr, Sekretaris Jenderal Aliansi Patriotik Baru, sebuah organisasi sayap kiri Filipina, seperti dikutip Reuters, Sabtu (16/9/2017).
Sebuah rekaman video yang dirilis Reuters menunjukkan para aktivis berbaris dengan spanduk bertuliskan;"US: Imperialist, # 1 terrorist. Hands off Marawi! US troops out now!"
Massa bentrok dengan polisi saat mereka berbaris, dan beberapa demonstran membakar patung Trump dan Duterte.
Duterte meningkatkan hubungan Manila dengan Washington saat dia mencari aliansi dengan China dan Rusia segera setelah dia mulai menjabat pada Juni 2016.
Sementara itu, Duterte telah mengancam untuk mengumumkan undang-undang darurat militer nasional mulai minggu depan jika sebuah demonstrasi yang dijadwalkan oleh kelompok komunis dan kelompok sayap kiri berubah menjadi kekerasan.
”Dia mengatakan, jika pihak (sayap) kiri akan mencoba melakukan demonstrasi besar-besaran, mulai menyebabkan kebakaran di jalan-jalan, mereka akan mengganggu negara, maka saya mungkin (mengumumkan darurat militer),” kata Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana menirukan ucapan Duterte.
Demonstrasi besar-besaran rencananya digelar pada 21 September untuk menyuarakan perlawanan terhadap perang narkoba yang dikobarkan Duterte dan serangan terhadap institusi demokratis di negara tersebut.
Credit sindonews.com