MILF saat berhasil merebut kembali salah satu markas mereka pada 2000. (Getty Images/David Greedy)
Jakarta, CB --
"Moro not Filipino."
Slogan tersebut menggaung di berbagai pelosok Filipina akhir medio 1960-an.
Kala
itu, hampir dua dekade setelah merdeka dari Amerika Serikat, populasi
Kristen semakin mendesak warga Islam ke belahan selatan Filipina,
tepatnya ke Kepulauan Mindanao.
Menurut Thomas McKenna dalam
bukunya "Muslim Rebels and Rulers", kekerasan orang Kristen terhadap
Muslim di berbagai pelosok selatan Filipina terus terjadi. Program
beasiswa dari pemerintah bagi para pelajar Muslim agar dapat
berintegrasi justru menumbuhkan bibit-bibit intelektual separatis yang
bertekad melepaskan diri.
Mereka pun memproklamirkan diri sebagai Moro, sebutan kuno Spanyol bagi komunitas awal Filipina yang mayoritas Muslim.Situasi
tersebut mengobarkan semangat salah satu pelajar Muslim, Nur Misuari,
yang akhirnya mendirikan kelompok separatis Moro National Liberation
Front (MNLF) pada 1969.
MNLFMenjamurnya gerakan separatis Muslim
Filipina selatan lantas membuat gusar pemerintah. Pada 21 September
1972, Presiden Filipina, Ferdinand Marcos, mendeklarasikan darurat
militer dan menginstruksikan warga sipil untuk menyerahkan senjatanya
kepada pemerintah.
Darurat militer ini membuat beberapa
organisasi Muslim seperti MIM dan Nurul Islam ketir. Para pemberontak
Muslim akhirnya bersatu di bawah bendera MNLF pada akhir 1972.
Menurut
McKenna, strategi penyatuan ini memiliki akar kuat. MNLF merupakan
satu-satunya organisasi dengan ideologi kuat dan dapat memasok senjata.
Disinyalir, mereka mendapatkan amunisi dari negara-negara Muslim yang
dikirimkan dengan kapal menuju Sabah, kemudian diantarkan ke Mindanao.
Namun
yang paling penting adalah fakta bahwa akar kepemimpinan ditanam di
luar negara, jauh dari para komandan lokal. Setelah darurat militer
dideklarasikan, Misuari kabur dan mengontrol MNLF dari Manila ke
Mindanao, kemudian Sabah, lantas Libya.
Secara formal, MNLF
dioperasikan dalam dua struktur paralel, yaitu politik dan militer.
Sayap politik ditunggangi oleh komite pusat, beberapa badan, dan sistem
komite provinsi dan desa.
Sementara itu, sayap militer atau biasa
disebut Bangsa Moro Army diperkuat oleh marsekal lapangan, marsekal
provinsi, dan komandan wilayah di tingkat kotamadya.
Sebagai
ketua komite pusat, Misuari memegang kendali MNLF dari Tripoli. Jabatan
wakil ketua dipegang oleh Hashim Salamat, salah satu penggagas Nurul
Islam.
MNLF mulai beraksi di Cotabato. Pergerakan para militan
mulai meresahkan militer. Mereka dapat menguasai sebuah wilayah selama
beberapa hari, meskipun pada akhirnya direbut kembali oleh pasukan
pemerintah.
Di akhir tahun 1973, pemberontak Muslim bahkan sudah dapat menguasai akses ke bandar udara.
Pendiri MNLF, Nur Misuari. (Dok. Wikimedia/Keith Bacongco)
|
Militer Filipina tak tinggal diam. Setelah mempelajari strategi MNLF,
mereka dapat merebut kembali daerah yang dikuasai kelompok pemberontak.
Karena
kekurangan dalam proses latihan dan strategi, korban sipil Muslim dan
MNLF berjatuhan. Pada 1974, MNLF menggempur balik dengan satu strategi
baru yang mengejutkan, yaitu gerilya, mengandalkan kepahaman mereka
terhadap peta rawa dan hutan lokal.
"Presiden Marcos akhirnya
sadar bahwa respons represif eksklusif terhadap pemberontak di Selatan
terlalu memakan biaya, baik itu secara finansial maupun politik. Marcos
dengan cepat mengulurkan tangan persahabatan dengan Muslim sayap kanan,"
tulis McKenna.
Marcos lantas menggalakkan dua kampanye besar
untuk meyakinkan umat Muslim Filipina. Kampanye pertama lebih menekankan
pada pembangunan perekonomian Muslim Filipina pasca baku hantam yang
melumpuhkan beberapa sektor.
Kampanye kedua adalah pendekatan
kepada umat Muslim, seperti pembangunan masjid di Manila dan kota-kota
lain, hingga diakuinya libur hari raya Islam.
Upaya pendekatan
tersebut berhasil dan pada akhir 1976, pemerintah Filipina akhirnya
bertemu dengan MNLF di Tripoli, bernegosiasi untuk mengakhiri perang di
selatan. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan gencatan senjata
dan perjanjian damai.
Dikenal dengan nama Perjanjian Tripoli, kesepakatan tersebut, "Menjamin prinsip dasar otonomi Islam di Filipina Selatan."
Setelah
gencatan senjata berjalan lancar selama sembilan bulan sejak Februari
1977, perjanjian terancam batal lantaran ada perbedaan persepsi mengenai
konten kunci pembicaraan.
Marcos mulai mengimplementasikan
Perjanjian Tripoli sesuai dengan maksudnya, yaitu membentuk "daerah
otonom" di Mindanao Tengah dan Sulu, yang dianggap tidak sesuai dengan
perjanjian.
Maksud dari Marcos tersebut tertuang dalam perencanaan pembentukan Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM).
"Badan
pemerintahan daerah otonom tersebut adalah kreasi kosmetik yang tak
memiliki otoritas legislasi dan tidak memiliki dana operasi independen,"
kata McKenna.
Dua kali gagal mengimplementasikan Perjanjian
Tripoli, Misuari akhirnya jengah dan mendeklarasikan jihad terhadap
pemerintah. Saat itulah, MNLF terbelah.
Salamat yang tak sepaham
dengan sikap berlawanan terhadap pemerintah, akhirnya menarik diri dan
mendirikan kantor tandingan di Lahore, Pakistan. Ia berhasil menjaring
dukungan organisasi internasional untuk meneruskan upaya damai dengan
pemerintah dan mengimplementasikan Perjanjian Tripoli.
Tetapi
pada akhirnya, pada 6 November 1990, ARMM diresmikan dengan landasan
hukum Republic Act No. 6734, mencakup provinsi Lanao del Sur,
Maguindanao, Sulu and Tawi-Tawi di Mindanao.
Abu SayyafSetahun
setelah ARMM berdiri, beberapa oknum dalam MNLF yang tak setuju
perdamaian dengan pemerintah memisahkan diri dan membentuk Abu Sayyaf.
Namun
di kemudian hari, Abu Sayyaf tumbuh menjadi salah satu kelompok teror
paling mematikan dengan basis di Jolo dan Basilan. Mereka kerap
melakukan pemerkosaan, penculikan, pengeboman, dan pembunuhan demi
mendapat uang tebusan.
Pada 2014, Abu Sayyaf berbaiat kepada
ISIS. Kini, mereka selalu beraksi atas nama ISIS. Beberapa oknum dalam
Abu Sayyaf juga terlibat dalam Ansar Khalifah Filipina (AKP) yang
mendeklarasikan diri akan membangun kekhalifahan ISIS di Asia Tenggara.
MILFEnam
tahun setelah memisahkan diri, tepatnya pada 1984, Salamat akhirnya
berhasil membangun jaringan kubunya sendiri dan mengubah nama
organisasinya menjadi Moro Islamic Liberation Front (MILF).
Dalam secarik surat kepada sekretaris jenderal Organisasi Konferensi Islam (OIC), Salamat mengelaborasi mengenai MILF.
"Semua
Mujahidin di bawah Moro Islamic Liberation Front (MILF) mengadopsi
Islam sebagai jalan hidup. Objektif mereka dalam Jihad adalah untuk
meninggikan firman Allah dan mendirikan Islam di tanah air Bangsamoro,"
tulisnya.
Tak diketahui jelas apakah tujuan MILF sama dengan
Nurul Islam. Namun yang jelas, menurut McKenna, saat itu Salamat
memiliki dorongan kuat untuk mendirikan badan baru, melihat Misuari
mulai kehilangan kendali.
"Satu-satunya pilihan Salamat adalah
untuk melepaskan kepemimpinannya dari front pertamanya dan mendirikan
organisasi lain. Sangat politis memilih nama yang menekankan perbedaan
antara front barunya dan yang awal, Moro "National" Liberation Front,"
kata McKenna.
Setelah bertahun-tahun angkat senjata, pada 1997
MILF akhirnya menyepakati perjanjian gencatan perang dengan pemerintah
di bawah pimpinan Presiden Fidel V. Ramos.
Hanya tiga tahun
menghirup angin segar, amarah MILF kembali berkobar pada 2000. Presiden
kala itu, Joseph Estrada, membatalkan perjanjian gencatan senjata.
"Para
pejuang akhirnya mendeklarasikan jihad terhadap pemerintahan pada
2000," demikian bunyi laporan bertajuk In The Spotlight: Moro Islamic
Liberation Front yang dilansir Center of Defense Information.
Angin
segar kembali berembus ketika kursi presiden ditempati oleh Gloria
Arroyo. Pemerintah dan MILF kembali menyepakati gencatan senjata dan
pembicaraan damai.
Kendati demikian, situasi kian panas setelah
insiden pengeboman di Davao Airport pada 2003. Pasukan MILF juga
menyerang tentara pemerintah di Maguindanao dan menewaskan setidaknya 23
orang pada 2005.
Serangan-serangan ini mulai memunculkan
spekulasi bahwa MILF memiliki kaitan dengan al-Qaidah, termasuk
menampung aliran dana dari Osama Bin Laden. Namun, MILF menampik
tudingan ini.
The Inquirer kemudian memberitakan bahwa
rentetan serangan ini merupakan indikator bahwa negosiasi damai tidak
efektif untuk menciptakan perdamaian di Mindanao jika pada akhirnya MILF
tak diberikan kekuasaan mengatur operasinya.
Hingga akhirnya pemerintah dan MILF kembali berdamai dengan disepakatinya Memorandum of Agreement on Ancestral Domain (MOA-AD).
Dalam
perjanjian ini, wilayah kekuasaan ARMM diperluas. Orang Moro juga
diberikan lebih banyak kontrol wilayah dan sumber daya di bawah konsep
hak asasi manusia dengan kewenangan membentuk pasukan kepolisian.
Beberapa
pembuat kebijakan menggalang petisi ke Mahkamah Agung untuk
menghentikan MOA-AD karena banyaknya ketidakterbukaan dalam prosesnya.
MILF juga dianggap gagal membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara
mereka dan Jemaah Islamiyah, jaringan teror yang berafiliasi dengan
al-Qaidah.
MILF saat berhasil merebut kembali salah satu markas mereka pada 2000. (Getty Images/David Greedy)
|
Hingga akhirnya, Malaysia sebagai penengah melontarkan ancaman serius yang membuat MILF putar haluan.
"Malaysia
meminta kami untuk meninggalkan permintaan tersebut (merdeka dari
Filipina), mengancam akan meninggalkan pembicaraan damai ini. Jelas,
kami tidak menginginkan negara independen, tapi sesuatu di mana Moro
dapat memerintah diri sendiri secara efektif dengan interfensi sedikit
dari pemerintah pusat," tutur ketua panel perdamaian MILF, Mohagher
Iqbal, seperti dikutip
Reuters pada 2010 silam.
Iqbal
pun akhirnya menyodorkan formula baru perjanjian, yaitu pendirian
semacam negara bagian seperti di Amerika Serikat, tak sepenuhnya lepas
dari pemerintah pusat.
"Tak ada apapaun di dalam draft kami yang menunjukkan bahwa kami meminta kemerdekaan," katanya.
Ia
lantas menjabarkan bahwa negara bagian ini tidak akan memiliki
kewenangan atas pertahanan nasional, kebijakan luar negeri, mata uang,
dan kantor pos yang sudah dikontrol pemerintah pusat. Namun, negara
bagian ini akan memiliki pasukan bersenjata untuk keamanan internal.
Berbekal
draf tersebut, perundingan damai antara pemerintah dan MILF akhirnya
membuahkan perjanjian damai pada 2012, disebut Framework Agreement of
the Bangsamoro (FAB).
Kedua perjanjian tersebut merupakan embrio
lahirnya sebuah entitas baru bernama Bangsamoro dengan wilayah utama
ARMM dan kemungkinan perluasan jika 10 persen warga di sekitar daerah
tersebut ingin bergabung.
Lahirnya entitas baru tersebut nantinya
akan disahkan dalam landasan akta hukum Bangsamoro Basic Law (BBL) yang
harus disetujui terlebih dahulu oleh Kongres Filipina.
Namun
hingga kini, di ujung tanduk pergantian pemerintahan dari Presiden
Benigno Aquino, BBL tak kunjung disahkan karena masih ada beberapa
elemen yang menurut Kongres harus direvisi.
Hingga kini, pemerintah dan MILF masih terus mendesak agar Kongres segera meloloskan BBL.
BIFF’Menyerahnya’ Iqbal dalam memperjuangkan kemerdekaan penuh, justru membuat MILF terbelah.
Tepat
setelah MILF dan pemerintah menandatangani MOA-AD pada 2008, Umbra Kato
memimpin kontingen MILF dari kubunya untuk menyerang warga-warga sipil.
Desember
2010, Kato akhirnya memisahkan diri dari MILF dan bersama dengan para
pendukungnya melanjutkan perjuangan mendapatkan kemerdekaan penuh di
bawah bendera Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF).
The Inquirer
melansir, Kato mengaku bahwa BIFF memiliki lima ribu personel. Namun,
pemerintah mengatakan bahwa BIFF hanya memiliki kekuatan 300 orang.
MILF baru mengetahui mengenai keberadaan BIFF pada Agustus 2011 dan mengatakan bahwa kelompok pecahan tersebut hilang komando.
Pada
2012, BIFF pun menolak penandatanganan perjanjian kerja sama dan
bertekad untuk terus melanjutkan perjuangan. Ketika pada Januari 2014
FAB benar-benar disahkan, Pasukan Bersenjata Filipina melancarakan
Operasi Kuda Hitam melawan BIFF.
Tentara berhasil mengepung markas besar BIFF di Barangay Ganta, Maguindanao, yang diperkirakan menampung 500 militan.
Sebulan
kemudian, salah satu komandan MNLF, Habib Mujahab Hashim, mengonfirmasi
bahwa BIFF beraliansi dengan kelompoknya. Kato sendiri tewas pada April
2015, karena sakit.
Raga boleh mati, tapi semangat Kato terus hidup dalam BIFF.
"Kami
tidak ingin BBL karena tidak berguna dan tak ada artinya bagi kami.
Kami akan terus melakukan perlawanan bersenjata sampai kami mendapatkan
negara independen," ujar Juru Bicara BIFF, Abu Misri, kepada
CNN Indonesia.
Penduduk
mengungsi karena merasa tak aman setelah daerah tempat tinggal mereka
diserang BIFF pada Maret 2015. (Jeoffrey Maitem/Getty Images)
|
BIFF merupakan salah satu kelompok yang masih aktif menebar teror di selatan Filipina.
Pada
24 Desember lalu, BIFF kembali beraksi, menewaskan sebelas orang di
beberapa desa di Maguindanao dalam satu rangkaian serangan.
Hingga kini, ribuan warga setempat masih mengungsi dan tak mau kembali lantaran takut akan teror lanjutan.
Justice for Islamic MovementPada
November 2013, terjadi gonjang-ganjing kepemimpinan di tubuh BIFF.
Seorang komandan BIFF, Mohammad Ali Tambako, akhirnya membentuk kelompok
sempalan di bawah bendera Justice for Islamic Movement.
Merujuk
pada laporan Terrorism Research and Analysis Consortium, Tambako
merupakan penyedia tempat berlindung bagi beberapa teroris terkemuka di
Filipina, termasuk Basit Usman.
Ansar Khalifah Filipina (AKP)Sementara
separatis sibuk mencari cara memisahkan diri dari pemerintahan
Filipina, kelompok Ansar Khalifah Filipina (AKP) muncul dan
mendeklarasikan sebagai perpanjangan tangan ISIS untuk membangun
khilafah di Asia Tenggara.
Dengan kaitan dengan beberapa kelompok
militan lawas, seperti Mujahidin Indonesia Timur (MIT), AKP yang juga
disokong oleh Justice for Islamic Movement, Khalifah Islamiyah Mindanao,
dan Abu Sayyaf terus membangun kekuatan dengan perekrutan pemuda di
Mindanao.
Credit
CNN Indonesia
Siapa Bertempur di Filipina
Credit
CNN Indonesia