Ilustrasi. (REUTERS/Beawiharta)
Jakarta, CB -- 27 tahun lalu, mantan Panglima TNI dan Menteri Pertahanan dan Keamanan Leonardus Benny Moerdani marah karena kesulitan mendarat di Pangkalan Udara TNI AU Ranai, Natuna, Kepulauan Riau. Ia sulit mendapat izin mendarat dari Singapura.
Amarah Benny yang berujung pada keinginan agar pemerintah merebut kuasa wilayah udara Kepri kian mendekati kenyataan. Indonesia optimistis mengambil alih kendali ruang wilayah udara (flight information regional/FIR) di Kepri dari Singapura.
Sejumlah pernyataan resmi pejabat pemerintah menargetkan 2019 kendali FIR sudah kembali ke tangan Indonesia. Hal ini sesuai dengan keinginan Presiden Joko Widodo pada 2015 yang menyatakan tiga atau empat tahun sejak saat itu pemerintah siap mengelola FIR dari Singapura.
Lalu bagaimana bisa Singapura punya hak mengatur ruang udara yang jelas-jelas masuk ke wilayah Indonesia? Jawabannya ada pada konvensi International Civil Aviation Organization (ICAO) di Dublin, Irlandia, pada 1946.
Kala itu forum ICAO mempercayakan Singapura dan Malaysia untuk mengelola FIR Kepri. Singapura memegang kendali sektor A dan C, Malaysia mengendalikan sektor B.
Alasannya sederhana, Singapura yang saat itu masih koloni Inggris dianggap mumpuni secara peralatan dan sumber daya manusia. Lagipula, otoritas Singapura yang saat itu paling dekat dengan FIR Kepri.
Syahdan terjadilah insiden yang membikin Benny Moerdani tadi geram. Lalu pada 1993, dalam sebuah pertemuan ICAO di Bangkok, Thailand, pemerintah gagal meyakinkan forum. Alasannya, Indonesia dianggap belum memiliki peralatan dan infrastuktur yang memadai untuk mengendalikan FIR Kepri.
"Kita dianggap belum punya kemampuan yang memadai, baik dari fasilitas, bandara, pengawasan penerbangan, personel-personel. Kalau diserahkan ke kita dianggap akan berisiko," ujar pengamat militer dari Indonesia Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, Selasa (11/12).
Semenjak Jokowi memegang tampuk kekuasaan, Indonesia berpaling kepada penguatan kawasan maritim dan udaranya. Target sudah dipasang sejak 2015. Hal ini memungkinkan karena Indonesia sudah memiliki payung hukum Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Latihan Tempur Angkasa Yudha di Natuna, Kepulauan Riau. (ANTARA FOTO/M N Kanwa)
Dalam Pasal 458 UU 1/2009 termaktub wilayah udara RI yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 tahun sejak UU itu berlaku. Ini berarti pemerintah punya batas waktu hingga 12 Januari 2024.
Namun Singapura bukannya tanpa argumen. Merespons pemberitaan media massa di Indonesia pada akhir November 2017, Duta Besar Singapura untuk Indonesia, Anil Kumar Nayar menegaskan bahwa persoalan di langit Kepri bukanlah tentang kedaulatan.
"Hal ini didasari atas pertimbangan operasional dan teknis untuk memberikan pelayanan kontrol udara yang efektif. Prioritas utama adalah keselamatan penerbangan," tulis Nayar melalui akun Facebook resmi Kedubes Singapura, 12 Desember 2017.
Nayar juga beralasan praktik pengelolaan wilayah suatu negara oleh negara lain sebagai hal yang lazim. Indonesia misalnya, saat ini mengelola wilayah udara Pulau Christmas, Australia; dan Timor Leste.
Khairul melihat sikap Australia itu lebih bersifat politis. Ia mengamini bahwa Indonesia tidak siap mengambil alih FIR Kepri di masa lalu, namun situasi berbeda saat ini. Menurutnya infrastruktur penerbangan di Tanah Air sudah lebih baik.
Hanya saja, ia risau target 2019 terlalu cepat sehingga persiapan yang dikerjakan pemerintah kurang sempurna.
"Saya khawatir kalau tergesa ada yang kurang sempurna, kurang cermat, kemudian mentah lagi. Sebaiknya pemerintah kalau serius menargetkan 2019, pastikan fasilitas dan kemampuan personel yang disyaratkan terpenuhi," pungkas Khairul.
Credit CNN Indonesia