Kamis, 13 Desember 2018

Lika-Liku Kemelut Brexit


Lika-Liku Kemelut Brexit
Ilustrasi Brexit. (REUTERS/Neil Hall)


Jakarta, CB -- Masalah penarikan diri Inggris dari Uni Eropa, atau dikenal dengan British Exit (Brexit), ternyata masih belum berakhir. Penyebabnya adalah kemelut di dalam negeri yang malah menyebabkan kekuasaan Perdana Menteri Theresa May berada di ujung tanduk.

Dalam paparan dilansir dari CNN, pada Rabu (12/12), seluruh kekisruhan ini bermula pada 23 Juni 2016. Saat itu Inggris memilih hengkang dari Uni Eropa. Alhasil, PM di masa itu, David Cameron, memutuskan meletakkan jabatannya dan digantikan Theresa May.

Uni Eropa terdiri dari 28 negara anggota, Inggris salah satunya. Mereka membentuk organisasi kerja sama itu untuk meredam peperangan dan persaingan, dan memilih perdagangan sebagai jalan keluar untuk bisa hidup rukun satu sama lain di kawasan Benua Biru.


Salah satu perumus konsep itu adalah mendiang mantan kanselir Jerman, Helmut Kohl. Pada 1990-an, Uni Eropa semakin kuat dan menjadi salah satu poros kekuatan ekonomi dan politik di dunia selain Amerika Serikat, China, dan Rusia. Mereka mempunyai mata uang dan parlemen tersendiri.


Meski begitu, sebagian kalangan di Inggris mulanya merasa keberatan dengan bergabungnya mereka ke dalam Uni Eropa. Mereka merasa seharusnya Inggris yang dianggap sebagai salah satu negara kuat karena wilayah koloninya bertebaran di seluruh dunia.

Karena hal itulah mereka merasa gengsi jika harus bergabung dengan Uni Eropa. Apalagi jika harus bergandengan bersama Jerman dan Prancis, yang dianggap sebagai rival ideologi.

Tahun berlalu hingga akhirnya sampai pada 2008. Saat itu terjadi krisis ekonomi menghantam Eropa dan Amerika Serikat. Satu persatu negara merasakan dampaknya, termasuk Inggris. Salah satu anggota Uni Eropa, Yunani, bahkan menyatakan bangkrut.

Salah satu persyaratan menjadi anggota Uni Eropa adalah mereka harus saling bantu ketika salah satu rekannya kesulitan. Hanya saja hal itu dirasa memberatkan karena masing-masing dari mereka juga menghadapi kesulitan yang sama untuk menjaga kestabilan ekonomi.

Ilustrasi jajak pendapat Brexit. (REUTERS/Andrew Kelly)
Sejak itulah mulai muncul desakan supaya Inggris mempertimbangkan kembali keikutsertaan mereka dalam Uni Eropa. Alhasil jajak pendapat dua tahun lalu menghasilkan keputusan Inggris undur diri dari Uni Eropa.

Hanya saja keputusan itu dibayar mahal karena sebagian kalangan di Inggris juga menentang keputusan Brexit. Alhasil hingga saat ini pemerintah dan parlemen Inggris berseteru.

Kubu May ingin agar Inggris keluar dari Uni Eropa dengan cara halus, yaitu masih mempertahankan hubungan perdagangan sedekat mungkin. Namun, kubu lawan mendesak agar Inggris hengkang dari Uni Eropa dan benar-benar memutus relasi dengan blok tersebut.

Sementara itu, Uni Eropa juga tidak akan membiarkan Inggris hengkang tanpa syarat. Di sisi lain, masalah baru muncul di Irlandia.

Saat Inggris masih bergabung dengan Uni Eropa, perdagangan dengan Republik Irlandia terjadi secara mudah. Kini lantaran kondisi itu, Irlandia khawatir proses perdagangan itu akan terhambat.

Penyebabnya adalah ada kemungkinan Inggris akan memperketat perbatasan mereka di Irlandia Utara. Hal itu dirasa bisa menghambat proses perdagangan kedua negara. Irlandia juga khawatir jika keamanan diperketat dengan penambahan aparat keamanan, maka akan menimbulkan suasana seperti masa-masa konflik di Irlandia Utara pada masa lalu, di mana sekitar 3,600 orang terbunuh.


Meski begitu, mereka yang pro Brexit lebih senang karena dengan hal itu mereka bisa leluasa mendikte perdagangan dengan negara tetangganya. Namun, bukan tidak mungkin sikap Inggris bakal ditiru negara-negara anggota Uni Eropa lainnya untuk keluar yang merasa tidak pernah mendapat manfaat.




Credit  cnnindonesia.com