Ilustrasi unjuk rasa menentang hukuman mati TKI di Arab Saudi. (CNN Indonesia/Rebeca Joy Limardjo)
Perempuan asal Majalengka, Jawa Barat, itu dihukum pancung karena dianggap terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap sang majikan, Suud Mulhak Al Utaibi, pada 2010 lalu.
Salah satu akar masalah adalah Saudi lagi-lagi mengeksekusi mati WNI tanpa memberi notifikasi terlebih dahulu kepada perwakilan RI di Riyadh maupun Jeddah. Langkah Saudi itu memicu protes Indonesia yang telah tiga kali 'kecolongan'.
Sebelum Tuti, eksekusi Zaini Misrin pada Maret lalu, serta Siti Zaenab dan Karni binti Medi Tarsim pada 2015 lalu juga dilakukan tanpa memberi notifikasi kepada pemerintah Indonesia.
Menurut Kepala Studi Timur Tengah Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Yon Machmudi, eksekusi Tuti seharusnya bisa dijadikan momentum pemerintah Indonesia untuk menegaskan sikap terhadap Saudi.
Selain protes, Yon menilai pemerintah seharusnya mulai menempatkan isu perlindungan WNI dan TKI sebagai bahan pertimbangan sebelum menjalin kerja sama atau kesepakatan apa pun dengan Saudi.
Sebab, menurut Yon, pemberian notifikasi dalam konteks pelaksanaan hukuman mati ini erat kaitannya dengan nilai kemanusiaan. Meski dalam hal ini Saudi memang tak memiliki kewajiban memberitahu pihak asing ketika akan melaksanakan hukum domestiknya.
"Memang ini hak Saudi untuk melaksanakan hukuman mati karena ini ada dalam konstitusinya. Tetapi tetap, Saudi seharusnya menghargai permintaan RI selama ini dengan memberi notifikasi lebih dulu sebelum melaksanakan hukuman mati," ucap Yon saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Rabu (31/10).
"Kasus Tuti kemarin saya kira harus mulai menjadi prioritas RI ketika membicarakan kerja sama dengan Saudi. RI harus mempertimbangkan masalah ini sebelum menjalin kerja sama yang lain dengan Saudi karena ini menyangkut perlindungan WNI di luar negeri."
Pemerintah RI telah lama mendesak Saudi untuk memberi notifikasi lebih dulu sebelum melaksanakan proses hukum, terutama eksekusi mati, terhadap WNI.
Permintaan notifikasi juga selama ini terus menjadi salah satu topik utama setiap kali pejabat tinggi RI bertemu dengan pejabat Saudi, termasuk ketika Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menerima kunjungan Menlu Saudi Adel Al Jubeir di Jakarta pada pekan lalu.
Namun, Saudi seakan tak mengindahkan permintaan Indonesia tersebut. Yon menganggap hal itu disebabkan karena Saudi tidak melihat Indonesia sebagai sebuah mitra strategis yang sejajar.
"Meski relasi kedua negara terbilang dekat-Indonesia juga membidik investasi Saudi-Persepsi Saudi terhadap Indonesia belum satu level. Sejak dulu, sebenarnya Saudi tidak melihat Indonesia sebagai negara yang penting," ujar dosen bahasa Arab tersebut.
"Indonesia memang pengirim jamaah haji dan umroh terbesar, secara religius memang kita bisa dikatakan dekat, tetapi pada praktiknya Saudi kurang memandang Indonesia sebagai mitra strategisnya."
Menurut Yon, kasus Tuti harus bisa menjadi titik balik pemerintah agar bisa menempatkan Indonesia sejajar dan lebih dihormati oleh Saudi. Salah satunya dengan mendesak perbaikan perlindungan WNI di Saudi melalui mekanisme kerja sama bilateral.
"Saya kira harus dilakukan kerja sama yang menempatkan Indonesia pada posisi yang sejajar dan dihormati Saudi. Eksekusi Tuti saya kira bisa jadi momentum Indonesia untuk mengajak Saudi memperbaiki perlindungan WNI melalui perjanjian bilateral," kata Yon.
Kementerian Luar Negeri RI memang tengah membujuk Saudi membentuk kerja sama bilateral, tentang kewajiban memberi notifikasi kekonsuleran atau Mandatory Consular Notification (MCN) terkait eksekusi mati WNI di Saudi.
Unjuk rasa menentang hukuman mati terhadap TKI. (CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Kemlu RI, Lalu Muhamad Iqbal, mengatakan perjanjian itu dibentuk guna mengikat Saudi agar berkewajiban memberi notifikasi kekonsuleran setiap ada WNI yang terjerat kasus hukum di negara tersebut, terutama yang akan menjalankan hukuman mati.
Namun, perjanjian ini masih membutuhkan negosiasi panjang dan kesepakatan dari kedua belah pihak.
Tetap Moratorium TKI
Pendiri Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan kasus eksekusi Tuti seharusnya menjadi dasar bagi pemerintah, terutama Kementerian Ketenagakerjaan, untuk meninjau kembali rencana penempatan TKI ke Saudi dalam waktu dekat.
Kemenaker RI dan Saudi memang dikabarkan telah meneken sebuah perjanjian pembentukan proyek pilot pengiriman 30 ribu TKI dalam enam bulan. Proyek ini dilakukan meski moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah masih berlaku sejak 2015 lalu.
Sekretaris Utama BNP2TKI, Tatang Budie Utama Razak menegaskan proyek yang disebutnya sebagai technical arrangement ini dilakukan sebagai salah satu solusi menghindari pengiriman TKI secara ilegal ke Saudi.
Sebab, menurut Tatang, moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah malah memicu pengiriman pekerja migran Indonesia secara ilegal ke kawasan itu.
Namun, Anis berpendapat lain. Menurutnya, Indonesia tidak boleh mengirimkan TKI ke Saudi sebelum negara kerjaaan itu memberikan jaminan peningkatan perlindungan WNI di sana.
"Kasus Tuti semestinya dijadikan Kemenaker bahan pertimbangan rencana mereka menempatkan TKI baru dalam waktu dekat pascamoratorium," kata Anis.
"Tujuan pemerintah RI menjalin kerja sama dengan negara lain kan untuk mengurangi kerentanan. Ketika (mengurangi kerentanan) itu belum bisa dicapai, lebih baik tunda segala kerja sama ini sembari menyelesaikan pekerjaan rumah untuk memaksimalkan pelaksanaan UU No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia," tegasnya.
Credit cnnindonesia.com