Senin, 04 Desember 2017

Perang Pecah di Semenanjung Korea, Tokyo dan Seoul Korban Pertama



Perang Pecah di Semenanjung Korea, Tokyo dan Seoul Korban Pertama
Foto/Ilustrasi/Istimewa


MINSK - Jepang dan Korea Selatan (Korsel), yang Amerika Serikat (AS) coba libatkan dalam provokasi melawan Korea Utara (Korut), akan menjadi korban pertama jika terjadi konflik di wilayah tersebut. Peringatan itu diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov.

"Sementara mengutuk peledakan rudal nuklir Pyongyang, kita tidak bisa tidak mengutuk perilaku provokatif rekan Amerika kita," kata Lavrov dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi Belarusia, STV.

"Sayangnya, mereka mencoba menyeret orang Jepang dan Korea Selatan ke arah yang sama, yang akan menjadi korban pertama jika terjadi perang di Semenanjung Korea," imbuhnya seperti disitat dari Russia Today, Minggu (3/12/2017).

Awal pekan ini, Korut melakukan uji coba rudal pertamanya dalam dua bulan, dengan menembakan ICBM yang diduga bisa mencapai daratan AS. Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley, bereaksi terhadap pengujian tersebut dengan mendesak lebih banyak sanksi terhadap Pyongyang dan mengancam bahwa jika perang terjadi rezim Korut akan benar-benar hancur.

Lavrov mengulangi pada bulan September, AS memperjelas bahwa latihan militer berikutnya dengan Korsel tidak akan datang sampai musim semi. Rusia mengapresiasi itu dan melakukan upaya untuk bekerja sama dengan Pyongyang untuk mengubah ketenangan menjadi stabilitas yang lebih langgeng.

"Ada sebuah petunjuk bahwa dalam situasi ini, bahwa jeda alami dalam latihan AS-Korea Selatan ini bisa saja digunakan oleh Pyongyang untuk menghindari permusuhan yang mengganggu, juga, kondisi dapat diciptakan untuk memulai sebuah dialog," kata menteri luar negeri tersebut.

Namun, AS tiba-tiba mengumumkan akan menggelar latihan di bulan Oktober, lalu bulan November, lalu Desember. Itu, menurut Lavrov, mungkin yang memprovokasi Pyongyang.

"Ada perasaan bahwa (AS) sengaja memprovokasi (pemimpin Korea Utara) Kim Jong-un untuk mematahkan jeda tersebut, jatuh karena provokasi mereka," ucapnya.

Ketegangan terus meningkat di Semenanjung Korea dalam beberapa bulan terakhir karena Pyongyang terus menjalankan program nuklirnya dan melakukan uji coba rudal meskipun ada sanksi dan kecaman internasional, sementara AS dan sekutu-sekutunya meningkatkan latihan di dekat perbatasan Korea Utara.

Presiden AS Donald Trump telah berulang kali memperingatkan sebuah skenario militer untuk Korut, dan baru-baru ini memasukkan negara tersebut dalam daftar negara sponsor terorisme. Keputusan ini membuka jalan untuk mendapatkan lebih banyak sanksi.

Rusia dan China telah mengusulkan sebuah peta jalan untuk menyelesaikan krisis Korea melalui transisi ke negosiasi, yang menyiratkan penolakan terhadap tindakan yang memicu ketegangan. Proposal tersebut meminta Korut untuk menghentikan uji coba nuklir dan rudalnya, sebagai pengganti AS juga menghentikan militer bersama dengan Korsel di wilayah tersebut. Namun ususlan ini ditolak oleh Washington. 

Sekelompok anggota parlemen Rusia, yang mengunjungi Pyongyang awal pekan ini, mengatakan bahwa pihak Korut menyatakan kesiapannya untuk melakukan pembicaraan. Namun mereka menuntut agar Moskow memainkan peran sebagai perantara.



Credit  sindonews.com