Isu Rohingya ini kembali menjadi perhatian
setelah bentrokan antara kelompok bersenjata dan militer Myanmar di
Rakhine pecah pada 25 Agustus lalu. (Reuters/Danish Siddiqui)
Komentar tersebut diutarakan dua penasihat khusus PBB bidang pencegahan genosida, Adama Dieng, dan bidang kewajiban melindungi atau responsibilty to protect, Ivan Simonovic, dalam pernyataan bersama.
"Meskipun sudah ada peringatan dari kami [PBB] dan pejabat lainnya, pemerintah Myanmar gagal memenuhi kewajibannya berdasarkan hukum internasional dan tanggung jawab utama untuk melindungi populasi Rohingya dari kejahatan yang kejam," bunyi pernyataan keduanya yang dikutip AFP, Rabu (19/10).
Keduanya juga menganggap komunitas internasional gagal merespons krisis kemanusiaan yang telah memicu gelombang ratusan ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh ini sejak akhir Agustus lalu.
"Di saat yang sama, masyarakat internasional juga gagal melakukan tanggung jawabnya dalam penyelesaian krisis ini," katanya.
Isu Rohingya ini kembali menjadi perhatian setelah bentrokan antara kelompok bersenjata dan militer Myanmar di Rakhine pecah pada 25 Agustus lalu.
Bentrokan itu dipicu oleh serangan kelompok bersenjata Pasukan Pembela Rohingya Arakan (ARSA) ke sejumlah pos polisi dan satu pangkalan militer di Rakhine.
Sejak saat itu, militer Myanmar melakukan operasi pembersihan. Alih-alih menangkap kelompok bersenjata, aparat yang dibantu dengan warga lokal diduga mengusir paksa etnis Rohingya dengan menyiksa, membakar rumah, hingga membunuh mereka.
Akibat konflik ini, 1.000 orang terutama Rohingya tewas, sementara lebih dari 500 ribu lainnya kabur ke Bangladesh.
PBB menganggap tragedi kemanusiaan ini sebagai upaya pembersihan etnis secara sistematis. Dewan Keamanan PBB pun mendesak Myanmar menghentikan operasi militer di Rakhine, serta membuka akses kemanusiaan ke pusat konflik.
PBB juga meminta Myanmar mulai membuka jalan bagi para Rohingya yang sebagian besar mengungsi ke Bangladesh agar bisa kembali ke kampung mereka di Rakhine.
Namun, laporan terbaru Dewan HAM PBB mengindikasikan militer Myanmar menanam ranjau di perbatasan negaranya dengan Bangladesh untuk menghalau pengungsi Rohingya agar tidak bisa kembali secara permanen.
Meski begitu, hingga kini PBB dan sejumlah negara masih enggan menerapkan sanksi kepada Myanmar. Sebab, sejumlah diplomat di DK PBB mengatakan China dan Rusia sebagai sekutu dekat Myanmar menentang dan diprediksi akan memveto jika sanksi itu diajukan.
"Sekali lagi, kegagalan untuk menghentikan kejahatan yang kejam ini membuat kita semua terlibat. Kapan kita [dunia internasional] akan memenuhi janji yang tak terhitung jumlahnya ini?" demikian bunyi pernyataan tertulis kedua penasihat itu.
Credit cnnindonesia.com