Sekjen PBB Antonio Guterres
mengatakan, Myanmar harus memberi kewarganegaraan bagi Rohingya agar
mereka bisa menjalani kehidupan secara normal. (AFP PHOTO / KENA
BETANCUR)
Jakarta, CB --
Dewan Keamanan PBB mendesak Myanmar segera mengakhiri kekerasan
militer yang membuat etnis Muslim Rohingya mengungsi ke negara tetangga,
Bangladesh.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, pemerintah Myanmar harus memberikan status kewarganegaraan bagi Rohingya atau status hukum yang memungkinkan mereka menjalani kehidupan secara normal.
Guterres mengungkapkan keprihatinannya mengenai kekuatan militer yang berlebihan selama operasi keamanan di negara bagian Rakhine, Myanmar. Pihaknya meminta “langkah segera” untuk mengakhiri kekerasan tersebut.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, pemerintah Myanmar harus memberikan status kewarganegaraan bagi Rohingya atau status hukum yang memungkinkan mereka menjalani kehidupan secara normal.
Guterres mengungkapkan keprihatinannya mengenai kekuatan militer yang berlebihan selama operasi keamanan di negara bagian Rakhine, Myanmar. Pihaknya meminta “langkah segera” untuk mengakhiri kekerasan tersebut.
Ini adalah pertama kalinya Dewan Keamanan PBB menyetujui respons
gabungan terhadap krisis yang dipicu tindakan kekerasan militer,
menyusul serangan militan Rohingya pada akhir Agustus lalu.
Sekitar 380.000 orang Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke negara tetangga Bangladesh. Sebuah seruan berkembang untuk pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi agar berbicara membela Rohingya.
Juru bicara Suu Kyi sebelumnya mengatakan, peraih Nobel hak asasi manusia itu akan menyampaikan pidato pada pekan depan mengenai perdamaian dan rekonsiliasi di Myanmar.
Sekitar 380.000 orang Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke negara tetangga Bangladesh. Sebuah seruan berkembang untuk pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi agar berbicara membela Rohingya.
Juru bicara Suu Kyi sebelumnya mengatakan, peraih Nobel hak asasi manusia itu akan menyampaikan pidato pada pekan depan mengenai perdamaian dan rekonsiliasi di Myanmar.
Pada sebuah konferensi pers di New York, Guterres menyerukan
penghentian kampanye militer di Rakhine dan mengatakan pengusiran
Rohingya di Myanmar sebagai aksi pembersihan etnis.
"Saya meminta pihak berwenang Myanmar menangguhkan tindakan militer,
mengakhiri kekerasan, menegakkan supremasi hukum dan mengakui hak untuk
mengembalikan semua orang yang harus meninggalkan negara tersebut," kata
Guterres dalam sebuah konferensi pers, dikutip AFP.
Saat ditanya mengapa memilih istilah pembersihan etnis Rohingya, Guterres menjawab: "Ketika sepertiga penduduk Rohingya harus melarikan diri dari negaranya, dapatkah Anda menemukan kata yang lebih tepat untuk menggambarkannya?".
Rohingya memiliki populasi 1,1 juta jiwa dan bertahun-tahun mengalami diskriminasi di Myanmar. Mereka ditolak kewarganegaraannya meskipun banyak memiliki akar sejarah yang cukup lama ada di negara tersebut.
Kamp pengungsian Rohingya. (REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
|
Saat ditanya mengapa memilih istilah pembersihan etnis Rohingya, Guterres menjawab: "Ketika sepertiga penduduk Rohingya harus melarikan diri dari negaranya, dapatkah Anda menemukan kata yang lebih tepat untuk menggambarkannya?".
Rohingya memiliki populasi 1,1 juta jiwa dan bertahun-tahun mengalami diskriminasi di Myanmar. Mereka ditolak kewarganegaraannya meskipun banyak memiliki akar sejarah yang cukup lama ada di negara tersebut.
Pengungsi Rohingya memberi catatan mengerikan tentang tentara yang
menembaki warga sipil dan meratakan seluruh desa di utara Rakhine dengan
bantuan massa Buddhis.
Menjelang pertemuan DK PBB, 12 peraih Nobel menandatangani sebuah surat terbuka mendesak badan PBB untuk "segera campur tangan dengan menggunakan semua cara yang ada" untuk mengakhiri kejahatan terhadap kemanusiaan yang berlangsung di Rakhine.
Menjelang pertemuan DK PBB, 12 peraih Nobel menandatangani sebuah surat terbuka mendesak badan PBB untuk "segera campur tangan dengan menggunakan semua cara yang ada" untuk mengakhiri kejahatan terhadap kemanusiaan yang berlangsung di Rakhine.
Credit cnnindonesia.com