Senin, 18 September 2017

Bangladesh Ancam Myanmar Terkait Pelanggaran Wilayah


Bangladesh Ancam Myanmar Terkait Pelanggaran Wilayah 
Bangladesh menuduh Myanmar melanggar wilayah udara tiga kali sejak krisis pengungsi Rohingya terjadi. (Reuters/Mohammad Ponir Hossain)



Jakarta, CB -- Bangladesh menuduh Myanmar berulangkali melanggar wilayah udaranya akibat krisis pengungsi Rohingya dan memperingatkan “aksi provokatif” baru bisa menyebabkan “konsekuensi yang tidak diinginkan”.

Pernyataan ini meningkatkan kemungkinan hubungan kedua negara semakin memburuk akibat krisis pengungsi Rohingya.

“Bangladesh menyatakan keprihatiann mendalam atas perilaku provokatif yang terus terjadi dan menuntut agar Myanmar mengambil langkah segera untuk memastikan agar pelanggaran kedaulatan seperti ini tidak terjadi lagi,” bunyi pernyataan tertulis kementerian luar negeri Bangladesh seperti dikutip kantor berita Reuters.

“Aksi provokatif ini bisa menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan.”

Bangladesh mengatakan drone dan helikopter milik Myanmar telah tiga kali melanggar wilayah udaranya, pada tanggal 10, 12 dan 14 September.

Pemerintah Bangladesh telah menghubungi duta besar Myanmar di Dhaka untuk mengajukan keluhan atas insiden ini.

Seorang juru bicara pemerintah Myanmar mengatakan tidak memiliki informasi tentang insiden yang dikeluhkan oleh Bangladesh, namun dia membantah Myanmar melakukan aksi yang dituduhkan itu.

“Saat ini, kedua negara menghadapi krisis pengungsi. Kita perlu bekerjasama dengan rasa saling mengerti,” kata Zaw Htay kepada Reuters.

Hampir 400 ribu warga Rohingya dari Myanmar Barat menyebrang masuk ke Bangladesh sejak 25 Agustus. Mereka menghindari serangan pemerintah Myanmar ke kelompok bersenjata Rohingya dalam aksi yang menurut PBB merupakan “contoh jelas pembersihan etnis”.

Selama beberapa dekade Bangladesh menghadapi krisis pengungsi Rohingya yang mengalami persekusi di Myanmar yang menganggap mereka sebagai pendatang gelap dan tidak berhak mendapatkan kewarganegaraan.

Sebelum krisis yang kini terjadi, terdapat 400 ribu warga Rohingya yang mengungsi di Bangladesh.

Krisis paling baru ini terjadi setelah kelompok bersenjata Rohingya menyerang sekitar 30 pos polisi dan markas militer sehingga menewaskan selusin orang.

Pasukan keamanan Myanmar menjawab serangan itu dengan tindakan yang menurut kelompok pengamat hak asasi manusia dan pengungsi Rohingya adalah operasi kekerasan dan pembakaran yang bertujuan mengusir penduduk Rohingya.

Krisis kemanusiaan

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan Dewan Keamanan PBB mendesak Myanmar mengakhiri kekerasan yang menurutnya bisa disebut sebagai pembersihan etnis.

Myanmar membantah tuduhan itu dengan mengatakan bahwa pasukan keamanan melakukan operasi untuk membela diri dari aksi pemberontakan Tentara Penyelamatan Rohingya Arakan (ARSA) yang telah menyatakan bertanggung jawab atas serangan bulan Agustus tahun ini dan Oktober tahun lalu.

Pemerintah Myanmar menyatakan ARSA satu kelompok teroris dan menuduh mereka melakukan pembakaran dan menyerang warga sipil. 

Sekitar 30 ribu warga non-muslim juga kehilangan tempat tinggal akibat konflik yang menurut pemerintah Myanmar menewaskan lebih dari 430 orang.

Hampir separuh dari 471 desa di bagian utara Negara Bagian Rakhine ditinggalkan seluruh atau sebagian penduduknya.

ARSA menyangkal tudingan terkait dengan kelompok Islamis internasional dan meminta negara-negara tetangga Myanmar untuk menghalangi “teroris” asing yang berniat bergabung.

ARSA mengatakan berjuang untuk hak-hak kaum Rohingya.
Bangladesh Tuding Myanmar Langgar Wilayah Udara
Krisis pengungsi Rohingya membuat hubungan Myanmar dan Bangladesh tegang sementara dunia internasional meminta Myanmar menghentikan aksi militer di Rakhine.(Reuters/Danish Siddiqui)
Konflik di Myanmar ini menyebabkan krisis kemanusiaan di wilayah perbatasan kedua negara dan menimbulkan pertanyaan tentang transisi negara itu di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi setelah 50 tahu diperintah oleh militer.

Para jenderal militer masih mengendalikan kebijakan keamanan nasional, namun Suu Kyi dikritik karena tidak menghentikan atau mengecam kekerasan yang terjadi.

Sikap simpati bagi warga Rohingya tidak banyak muncul di negara yang setelah pemerintah militer berakhir membuat rasa benci antar masyarakat yang sudah lama ada semakin meningakt.

Warga Myanmar secara umum mendukung aksi militer di Negara Bagian Rakhine ini.

Hukum internasional tidak mengakui pembersihan etnis sebagai satu kejahatan tersendiri, namun tuduhan pembersihan etnis yang menjadi bagian dari pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis telah diajukan ke pengadilan internasional.




Credit  cnnindonesia.com