PNC akan membahas posisi AS di Israel.
CB, RAMALLAH -- Dewan Nasional Palestina (PNC), akan melakukan pertemuan di
Ramallah pada Senin (30/4). Badan legislatif Organisasi Pembebasan
Palestina (PLO) itu akan membahas posisi AS di Israel, terutama setelah
mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, serta langkah-langkah untuk
menghadapinya.
"Tidak ada orang Palestina yang mau berurusan dengan Amerika Serikat
selama mereka bersikeras pada posisinya terkait Yerusalem dan menentang
hak-hak pengungsi Palestina untuk pulang," kata Anggota Komite Eksekutif
PLO, Saeb Erekat, kepada Aljazirah.
Palestina secara
konsisten menuntut agar Yerusalem timur bisa menjadi ibu kota negara
mereka yang merdeka di masa depan. Israel menduduki sisi timur Yerusalem
selama perang 1967, bersama dengan Tepi Barat, Jalur Gaza, Dataran
Tinggi Golan, dan Semenanjung Sinai.
Pertemuan PNC juga
akan membahas seruan untuk menangguhkan pengakuan PLO atas Israel. PLO
juga mempertimbangkan untuk memutuskan semua ikatan dan perjanjian
dengan Israel, serta mendiskusikan perlawanan terhadap pendudukan Israel
atas Palestina dengan cara damai.
Selain itu, PNC akan
membahas transformasi Otoritas Palestina, dari sebuah otoritas
berdasarkan perjanjian Oslo, menjadi sebuah negara formal di wilayah
yang diduduki. PNC juga diharapkan dapat membahas upaya rekonsiliasi
Palestina untuk mengakhiri perpecahan antara Fatah dan Hamas, yang
mengatur Jalur Gaza.
Untuk pertama kalinya dalam sembilan
tahun, PNC menyelenggarakan sebuah pertemuan yang membagi dua warga
Palestina antara yang mendukung dan menentang pertemuan tersebut.
Kritikus Presiden Palestina Mahmoud Abbas telah menganggap pertemuan PNC
sebagai sebuah manuver politik.
PNC dijadwalkan akan
memilih Komite Eksekutif PLO baru yang beranggotakan 18 orang. Badan
tersebut akan mengatur dan mendiskusikan transformasi Otoritas
Palestina, yang menguasai Tepi Barat, untuk menjadi sebuah negara yang
memiliki institusi dan sistem keuangannya sendiri.
Faksi
dominan di Palestina, Fatah, memutuskan untuk terus maju dalam pertemuan
PNC, meskipun Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP)
memboikot pertemuan itu. Hamas tidak diundang dalam pertemuan tersebut,
walaupun topik rekonsiliasi Palestina sangat penting dalam agenda PNC.
"Pertemuan
ini sangat penting untuk melanjutkan upaya Palestina untuk mengakhiri
perpecahan antar-faksi. [PNC akan] memilih badan eksekutif baru yang
akan mendorong dan mendukung hak-hak nasional Palestina," kata Wasel Abu
Yousef, anggota pengamat Komite Eksekutif PLO.
Sejumlah
kritikus berpendapat, desakan Abbas untuk menyelenggarakan pertemuan PNC
dimotivasi oleh upaya Abbas untuk melestarikan kepentingan faksi
Fatah-nya. Maher Obeid, seorang pejabat senior Hamas, mengatakan kepada
Aljazirah, Abbas tidak ingin Hamas berpartisipasi kecuali menyerah.
"Abbas ingin membalas dendam pada Hamas karena alasan pribadinya
sendiri," kata Obeid.
Setelah menolak undangan PNC, PFLP,
salah satu faksi utama PLO, mengatakan PNC seharusnya hanya bersidang
untuk menyatukan faksi-faksi di Palestina. Aktivis Palestina, Wael
Malalha, yang tinggal di Amman, mengatakan pertemuan PNC di Ramallah
bertujuan untuk memaksakan pandangan Abbas tentang masa depan gerakan
nasional Palestina.
"Abbas memiliki satu visi khusus dan
satu agenda; yaitu pelestarian diri. Sementara AS, Israel, dan
sekutu-sekutu Arab mereka meningkatkan tekanan besar pada rakyat
Palestina untuk menerima apa yang disebut 'kesepakatan abad ini'," kata
Malalha.
Menurut laporan media lokal, "kesepakatan abad
ini" adalah perjanjian yang diakui antara AS, Israel, dan sekutu Arab,
Yaitu Yordania, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Mesir, untuk
mengakhiri solusi dua negara. Perjanjian ini akan membagi kedaulatan
penduduk Palestina di wilayah pendudukan antara Israel, Yordania, dan
Mesir.
Beberapa organisasi Palestina dan tokoh-tokoh
independen telah meminta Abbas dan Fatah membatalkan pertemuan PNC
karena justru akan membuat perpecahan di Palestina.
Pertemuan
PNC pertama kali diadakan di Yerusalem pada 1964. Saat ini anggota PNC
berjumlah 723 orang. Setelah pendudukan Israel di wilayah Palestina pada
1967, PNC dianggap sebagai parlemen de facto Palestina, dengan banyak
anggotanya yang hidup di pengasingan.