Presiden AS Donald Trump tarik ulur soal pertemuannya dengan pemimpin Korut, Kim Jong Un. ( REUTERS/Jay Paul)
Jakarta, CB -- Hari itu di rembang
petang, matahari pun telah masuk ke peraduannya. Koki Gedung Putih telah
menyiapkan makan malam. Presiden Amerika Serikat Donald Trump berniat kembali ke kediaman. Namun tiba-tiba dia berubah pikiran.
Petang itu, 8 Maret Trump berbalik arah saat akan kembali ke rumah. Dia menuju ruang media briefing.
Mengintip dari balik pintu yang setengah terbuka, dia mendapati
beberapa gelintir wartawan masih bekerja lalu memanggil mereka.
"Korea
Selatan akan mengumumkan sebuah pernyataan besar pukul 19.00 ini," kata
Trump perlahan. Di belakangnya, Wakil Presiden Mike Pence berdiri diam.
"Soal apa?" tanya seorang reporter penasaran.
"Sebuah hal besar," jawab Trump sambil menyeringai. Dia mengumumkan hal
serupa lewat akun Twitter resminya. "Korea Selatan akan mengumumkan
suatu hal besar dalam waktu dekat!"
Itulah awal dari guliran
berita rencana pertemuan antara Trump dengan Kim Jong-un. Yang lalu
dilanjutkan dengan lawatan pejabat senior Korsel ke Pyongyang dan
bertemu dengan pemimpin Korut itu. Delegasi yang dipimpin Kepala
Intelijen Korsel itu pun bertemu Trump di Washington, selepas bertemu
Kim Jong-un, menyampaikan surat kepadanya.
Dan euforia perdamaian
pun dimulailah. Meredam hiruk-pikuk dan kekhawatiran akan meletusnya
perang nuklir di Semenanjung Korea sebelumnya, akibat perang kata-kata
Kim Jong-un dan Trump.
Dikutip
CNN, hari itu juga bisa dibilang awal optimisme Trump terkait rencana pertemuan bersejarahnya dengan Kim.
Bagaimana tidak, jika tatap mata keduanya terjadi, itu akan menjadi
gebrakan dalam sejarah relasi AS-Korut yang selama ini bermusuhan.
Pertemuan
dengan Kim juga menjadi prestasi dan prestise tersendiri bagi Trump di
masa pemerintahannya. Sejak itu, Trump pun bermain cukup lembut terhadap
rezim Kim.
Dia memuji Kim bahwa ia percaya rivalnya itu
benar-benar tulus untuk berunding dan berharap mau melucuti senjata
nuklir sepenuhnya. Denuklirisasi memang menjadi agenda utama Trump untuk
bertemu Kim.
"Saya benar-benar berpikir bahwa dia [Kim Jong-un]
ingin membawa sesuatu dan membawa negara itu ke dunia nyata. Saya pikir
kami berdua akan sukses. Saya pikir ini akan menjadi kesuksesan besar,"
ucap Trump saat mengunjungi Pangkalan Militer Andrews.
Foto: Korea Summit Press Pool/Pool via Reuters Kim Jong-un dan Presiden Korsel Moon Jae-in
|
Ketegangan di Semenanjung Korea pun mereda. Presiden Korsel Moon Jae-in
bersama Kim Jong-un tampak bergandeng tangan, saling melintas perbatasan
di Desa Perdamaian Panmunjom. Keduanya tampak akrab berjalan berdua.
Disaksikan jutaan pemirsa di dunia. Deklarasi Panmunjom pun diteken.
Upaya perdamaian bergulir.
Lalu pada 10 Mei, lewat akun
Twitternya, Trump menjawab berbagai teka-teki soal tempat dan waktu
pertemuan dengan Kim, yakni di Singapura 12 Juni mendatang.
Semua tampak sempurna sampai Korea Utara tiba-tiba keberatan atas latihan militer bersama negeri tetangganya dengan Amerika.
Optimisme
lantas berubah 180 derajat menjadi kesuraman. Hanya beberapa pekan
sebelum pertemuan berlangsung, Trump sendiri membatalkan pertemuannya
dengan Kim di Singapura, pada Kamis (24/5).
Sehari sebelumnya, Pada Rabu, Korut berang pada pernyataan
Wapres AS yang mengancam mereka akan menjadi seperti Libya menyebut
Pence bodoh dan dungu. Trump diberitahu soal itu pada malam harinya.
Trump
pun membuat draf surat kepada Kim Jong-un Kamis pagi setelah
berkonsultasi dengan para ajudannya. Termasuk penasihat keamanan
nasional John Bolton, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, dan Pence.
Dalam sepucuk
surat kepada Kim itu, Trump mengatakan bahwa dirinya merasa pertemuan
bersejarah itu "tidak pantas" dilakukan. Dia menekankan amarah dan
tindakan permusuhan Korut menjadi penyebabnya.
"Saya terpaksa membatalkan Pertemuan Tinggi di Singapura bersama Kim Jong-un," kicau Trump melalui Twitter.
Pembatalan itu tak mengejutkan bagi beberapa kalangan. Sejak Trump
menerima undangan Kim untuk bertemu, sejumlah pejabat Gedung Putih sudah
menunjukkan skeptisme mereka terhadap pertemuan tinggi itu.
Belasan
pejabat Gedung Putih yang terlibat merasa Trump sendiri yang
menggagalkan upaya perdamaian. Menurut mereka, Trump memaksakan diri
bertemu Kim semata demi memuaskan rasa hausnya untuk menciptakan
gebrakan --yang dipercayai bisa memberinya hadiah Nobel Perdamaian.
Selama
ini, Trump disebut malah terfokus pada ingar-bingar KTT tanpa mau
terlibat dalam diskusi mendalam mengenai program nuklir Korut bersama
para pejabat, kata sumber Gedung Putih.
"Pertemuan puncak itu
memang mungkin tidak akan pernah berhasil dalam situasi seperti ini,"
kata seorang pejabat AS seperti dikutip
CNN.
Sebagian pejabat Gedung Putih merasa keputusan itu adalah kebijakan
Trump yang paling rasional saat ini. Mereka menganggap pertemuan tinggi
Trump-Kim dalam beberapa pekan ke depan sangat tidak mungkin tercapai.
Beberapa
pejabat AS mengatakan pihak Korut tidak pernah menunjukkan keseriusan
membicarakan substansi pertemuan puncak, bahkan sampai sebelum Trump
membatalkannya. Mereka mengatakan Korut bahkan tidak hadir dalam
pembicaraan terakhir yang mereka gelar demi mempersiapkan pertemuan
Trump-Kim.
"Mereka
[para pejabat AS] terus menunggu dan menunggu. Korut tidak pernah
muncul. Pihak Korut tidak pernah memberitahu kami soal apapun. Mereka
[Korut] hanya mengingkari janji," ucap seorang pejabat AS.
Segera
setelah kabar pembatalan tersiar, Presiden Korsel Moon Jae-in langsung
menggelar rapat darurat. Tanpa menyebut nama, dari pihak Istana
Kepresidenan Korea Selatan Cheong Wa Dae pernyataan bahwa sebaiknya
kedua pemimpin berdialog langsung dan tertutup.
Korea Utara pun
bergeming dengan pembatalan Trump. Lewat Wakil Menteri Luar Negerinya
Korut menyatakan tetap menunggu kesempatan dialog.
Jumat (25/5)
malam waktu Amerika Serikat, sehari setelah pembatalan, jari jemari
Trump pun kembali menyatakan siap bertemu Kim Jong-un. Di Singapura pada
12 Juni atau sesudah itu.
Credit
cnnindonesia.com