Ahmad Arif/KOMPAS
Warga di Pulau Yamdena, Kepulauan Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara
Barat, Maluku, tengah diambil sampel darahnya oleh petugas puskesmas
setempat, beberapa waktu lalu. Pengambilan sampel ini dalam rangka
penelitian genetika manusia Indonesia oleh Lembaga Biologi Molekuler
Eijkman Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
CB - Kapan dan dari mana datangnya leluhur kita di kepulauan ini? Kenapa
ada sedemikian banyak etnis dengan bahasa dan adat istiadat berbeda? Apa
yang membedakan dan menyatukan kita? Jawabannya tersimpan dalam setiap
sel di tubuh kita.
Dengan 730 etnik, Nusantara adalah kawasan
dengan keragaman tinggi. Tak heran Denys Lombard (1990) menyebutnya
sebagai "Silang Budaya", pertemuan Barat dan Timur. Bahkan, keragaman
juga terjadi di pulau kecil, seperti Pulau Yamdena di Kepulauan
Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Di pulau seluas 3.333
kilometer persegi ini saja terdapat dua populasi yang berbeda bahasa.
"Bahasa orang Makatian jelas beda dengan kami," kata Paternus Lakeban
Fifilyaman Koisine (79), tetua adat Desa Sangliat Dol. Berada di pesisir
timur pulau, mereka berbicara dalam bahasa Yamdena.
Sementara
orang Makatian di pesisir barat pulau berbicara dalam bahasa Seluwasan.
Padahal, kedua desa ini hanya terpisah jarak sekitar 70 kilometer dengan
hambatan geografis minim.
Baik bahasa Yamdena maupun Seluwasan
termasuk Austronesia, rumpun bahasa yang menyebar di Nusantara,
Filipina, hingga Madagaskar. Tak mengherankan jika beberapa kata dasar
bahasa Yamdena dan Seluwasan memiliki kemiripan, bahkan dengan bahasa di
pulau lain. Kata "anjing", misalnya, di Jawa disebut sebagai "asu",
bahasa Makatian diucapkan "aswe" dan Seluwasan "asw".
Namun,
bukan karena persamaan beberapa kata ini yang membuat Paternus meyakini
nenek moyangnya berasal dari Jawa. "Itu sudah jadi kepercayaan
turun-temurun. Di sini, banyak yang nama adatnya 'ken'. Di Jawa Ken
Arok, di sini ada Ken Ares," kata Paternus. "Kedatangan leluhur kami
mungkin ada hubungannya dengan perahu batu," lanjutnya.
Di tengah
desa, batuan gamping dan koral disusun membentuk perahu dengan panjang
18 meter, lebar 9,8 meter, dan tinggi 1,64 meter. Di atas perahu batu
ini terdapat meja batu yang sebelumnya digunakan sebagai altar
persembahan.
Marlon Rimimasse, arkeolog Balai Arkeologi Ambon,
mengatakan, perahu batu merupakan pusat orientasi permukiman kuno di
Tanimbar. Ciri permukiman kuno ini berada di atas tebing, akses
terbatas, dan dikelilingi tembok.
"Tipe permukiman ini muncul
sejak awal Masehi dan mencapai puncak pada abad ke-14. Permukiman
seperti ini juga ada di Moa, Lakor, dan Timor Timur," katanya.
Namun,
apakah benar masyarakat Tanimbar memiliki hubungan dengan Jawa? Marlon
mengaku tidak tahu. "Kami pernah mencoba menggali di sekitar perahu itu,
tetapi tidak mendapat izin karena masih dianggap sakral," ujarnya.
Arkeologi
sangat bergantung pada artefak masa lalu. Tanpa akses pada artefak,
arkeolog menemui jalan buntu. Pada titik inilah studi genetika memberi
jalan keluar.
Jejak di tubuh
Untuk
menjawab asal-usul inilah, pada akhir September 2015, tim peneliti
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mengambil sampel darah masyarakat di
Pulau Yamdena dan Kepulauan Kei. "Penelitian ini bagian dari proyek
panjang pemetaan genetika manusia Indonesia yang dimulai sejak 1996,"
kata Herawati Sudoyo, ahli genetika Eijkman, yang memimpin penelitian.
Revolusi
genetika dimulai ketika Compton Crick menemukan struktur DNA (asam
deoksiribonukleat) pada tahun 1953. Menurut teori ini, tubuh manusia
terdiri atas miliaran sel, yang di dalamnya terdapat nukleus (inti sel).
Di dalam nukleus ada kromosom, kumpulan gen serupa benang. Lebih renik
lagi, gen disusun oleh molekul DNA, yang merupakan kombinasi basa timin
(T), adenin (A), guanin (G), dan sitosin (S). Merekalah penentu warna
kulit, rambut, kecenderungan untuk menderita diabetes, bakat gemuk atau
kurus, bahkan juga perilaku. Dengan mengetahui kombinasi basa ini, dan
perubahannya, pengembaraan DNA manusia bisa dilacak jauh ke belakang.
"Studi kami di Indonesia awalnya untuk mencari hubungan DNA dengan mutasi penyakit, seperti talasemia dan hemoglobinopathy
(jenis penyakit sel darah merah)," jelas Herawati. "Selain itu, kami
juga ingin tahu kerentanan maupun daya tahan setiap etnis terhadap
penyakit non-infeksi, seperti diabetes melitus (kencing manis)."
Untuk
itu, dibutuhkan data struktur genetika orang Indonesia. "Masalahnya,
gen orang Indonesia belum dipetakan. Kebanyakan studi fokus pada daratan
Asia maupun Pasifik. Itu mengherankan kami karena Indonesia merupakan
jalur penting migrasi awal out of Africa hingga Australia," katanya. "Maka, kami berinisiatif mengumpulkan sampel DNA manusia Indonesia."
Genap
sebulan sejak pengumpulan sampel DNA orang Tanimbar. Kamis (8/10/2015),
di laboratorium Eijkman di Jakarta, tim peneliti mendiskusikan temuan
awal. "Dari 106 sampel, baru sembilan yang selesai," ujar Chelzie C
Darussalam, peneliti muda Eijkman.
Namun, hasil analisis awal terhadap sembilan sampel itu cukup mengejutkan. "Kami sudah dapatkan haplogroup (kelompok DNA mitokondria) 'E1a1a', 'F1a3a', 'Q1', dan 'M7c1a4a'. Ini bisa menunjukkan keragaman asal mereka," kata Herawati.
Kelompok
E merupakan tipe yang hanya dimiliki para penutur Austronesia yang
turun dari Taiwan (out of Taiwan) sekitar 5.000 tahun lalu. Tanda '1a1a'
di belakang huruf 'E' menunjukkan mutasi gen yang menandai persinggahan
mereka di masa lalu. Semakin panjang huruf dan angka di belakang E,
artinya semakin banyak persinggahannya selama migrasi dari Taiwan
sebelum tiba di Tanimbar.
Adapun haplogroup Q hanya dimiliki
orang Papua dan Aborigin, kelompok migran pertama yang meninggalkan
Afrika sekitar 70.000 tahun lalu dengan menyusuri garis pantai sepanjang
khatulistiwa. Sekitar 50.000 tahun lalu, jejak mereka ditemukan di Asia
Tenggara dan sekitar 46.000 tahun lalu, mereka tiba di Australia.
Haplogroup
M merupakan tipe yang juga dimiliki migran pertama dari Afrika, tetapi
jalurnya berbeda. Jejak 'M2' ditemukan di India 44.000 tahun lalu dan
'M7c1' ditemukan di Tiongkok 27.000-19.000 tahun lalu.
"Kelompok
ini sering disebut sebagai Austroasiatik yang masuk ke Nusantara dari
daratan Asia lewat Semenanjung Malaya yang saat itu masih satu dengan
Sumatera," ujar Herawati.
Tiba-tiba, Gludhug Purnomo, peneliti
muda Eijkman, berseru, "Wah, tipe 'F1' bukannya pernah kita temukan di
Jepara (Jawa Tengah) juga? Betul juga kepercayaan masyarakat Sangliat
Dol bahwa nenek moyang mereka dari Jawa? Setidaknya mereka pernah
singgah di Jawa."
Sebagaimana haplogroup M, kelompok F juga bermigrasi dari daratan Asia ke Nusantara melalui Semenanjung Malaya.
Sejumlah gelombang
Temuan
awal ini semakin menguatkan teori bahwa migrasi manusia ke Nusantara
terjadi dalam beberapa gelombang. Temuan ini juga berpotensi merevisi
pandangan klasik tentang pembagian dua ras yang mendiami Nusantara,
seperti dijelaskan Alfred Russel Wallace (1823-1913) dalam The Malay
Archipelago (1869): "Ras Melayu mendiami hampir seluruh bagian barat
kepulauan itu, sedangkan ras Papua mendiami New Guinea (Papua) dan
beberapa pulau di dekatnya".
Penyebutan Melayu dan Papua sebagai
ras yang berbeda ini memang sudah lama disanggah. Pakar genetika asal
Italia, Cavalli-Sforza (2000), membuktikan bahwa secara biologis, hanya
ada satu ras manusia modern, yaitu Homo sapiens yang awalnya tinggal di
Afrika. Pembagian biasanya dilakukan berdasarkan bahasa, jadi yang lebih
tepat adalah penutur Austronesia dan Papua.
Namun, analisis DNA
6.000 individu dari 70 populasi utama di Indonesia menunjukkan
percampuran gen dibanding pemisahan. "Pencampuran ini bersifat gradasi,
dengan presentasi haplogroup Austronesia yang tinggi di Indonesia barat
dan menurun ke timur. Hal ini diikuti rendahnya persentase genetik Papua
di kawasan barat, tetapi meninggi di timur," ujar Herawati.
Secara
sederhana bisa ditafsirkan bahwa penutur Papua telah lebih dulu
menghuni Nusantara sebelum kedatangan populasi Austroasiatik dan
Austronesia. Mereka kawin-mawin sehingga masyarakat Indonesia saat ini
sebenarnya disatukan oleh pencampuran motif genetik Austronesia,
Austroasiatik, dan Papua dengan komposisi bervariasi. Belakangan,
sebagian populasi mendapat tambahan gen India, Tiongkok, Arab, dan
Eropa. Inilah yang membentuk genetika manusia Indonesia.
Credit
KOMPAS.com