Jumat, 14 Desember 2018

Indonesia Dinilai Sulit Tekan Cina untuk Kasus Muslim Uighur


Muslim Uighur dan Masjid Id Kah, Kashgar, Xianjiang, Cina.
Muslim Uighur dan Masjid Id Kah, Kashgar, Xianjiang, Cina.
Foto: farwestcina.com
Cina menahan jutaan Muslim Uighur di kamp.



CB, JAKARTA -- Pengajar jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara Tia Mariatul Khibtah mengatakan tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Indonesia dalam menanggapi kekejian pemerintah Cina dalam memperlakukan Muslim Uighur. Menurutnya, karena memang hal itu kedaulatan Cina.

"Sebagai negara yang berdaulat dan menghargai hak asasi manusia jika terjadi diskriminasi atau genosida terhadap Muslim Uighur ya harus diprotes tapi kalau mengambil isu muslimnya tidak cukup kuat bagi Indonesia kalau dilihat dilihat dari hubungan internasional ya untuk memprotes tindakan diskriminasi pemerintah Cina," kata Tia, Kamis (13/12).

Indonesia, kata Tia, dapat memprotes tindakan pelanggaran hak asasi manusia dan genosida, jika memang ada. Tia mengatakan tidak berbeda dengan kasus di Rohingya, di Myanmar. Indonesia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali protes.

"Indonesia bisa tekan dalam beberapa kerja sama dengan Cina, mulai berhitung di situ, kira-kira bisa ditekan tidak itu masalahnya, karena kan yang lebih banyak memberi uang itu Cina," kata Tia. 

Menurutnya, tetap harus dilihat dalam beberapa kerja sama yang sudah disepakati. Ada yang membuat Cina ketakutan atau tidak. Jika tidak maka Indonesia tidak memiliki kekuatan untuk mengintervensi.

Sebelumnya Rapat Paripurna DPR RI diwarnai interupsi dari anggota DPR terkait Muslim Uighur di Cina. Hal itu khususnya, dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dialami suku Uighur di Xinjiang, Cina.

Beberapa anggota parlemen menilai institusi DPR harus meminta kepada Pemerintah untuk bersikap terkait apa yang dialami Suku Uighur tersebut. Menurut mereka Indonesia harus melakukan upaya-upaya dan langkah agar tidak ada lagi kasus pelanggaran HAM di dunia.

Sejak April 2017, pemerintah Cina sudah menangkap setidaknya 800 ribu dan kemungkinan dua juta masyarakat Uighur kedalam kamp yang mereka sebut 'kamp re-edukasi'. Pemerintah Cina sebelumnya membantah keberadaan kamp tersebut. Namun sekarang mereka melegalisasinya dan mengatakan kamp tersebut sebagai pusat pelatihan untuk 'melawan ekstrimisme'.

Tapi faktanya mereka yang ditangkap termasuk rektor universitas dan pejabat partai. Kamp 'pusat re-edukasi' telah memaksa Muslim Uighur menjalani program doktrinasi - seperti mempelajari propaganda komunisme dan memberi salam hormat kepada Presiden Cina Xi Jinping.

Tapi mereka Pemerintah Cina bersikeras kamp tersebut pusat pelatihan. Menurut mereka memasukkan Muslim Uighur ke dalam sebuah kamp konsentrasi adalah upaya untuk menangkal terorisme global. 

"Ini melindungi hak asasi manusia lebih besar lagi, juga menyelamatkan orang-orang ini, ini salah satu kontribusi penting yang Cina lakukan untuk melawan terorisme global," kata Menteri Luar Negeri Cina Lu Kang pada bulan November lalu, seperti dilansir dari Vox.

Ketua Dewan Uyghur Human Rights Project (UHRP) Nury Turkel meminta negara-negara demokrasi untuk menentang Cina atas perlakuan mereka terhadap Muslim Uighur. Turkel mengatakan perlakukan Pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur 'mengarah ke genosida'.

"Ini waktunya untuk bertindak, sesuatu yang buruk terjadi dalam pengawasan kami," kata Turkel pada 6 Desember lalu, seperti dilansir dari the Guardian.

Turkel mengutip sejarawan dari Universitas Georgetown, yang mengatakan Beijing berusaha mencari solusi final atas permasalah kultural di Xinjiang dengan membersihkan budaya Uighur. Turkel mengatakan pemerintah Cina melihat Uighur sebagai kanker.



Credit  republika.co.id