Cina menahan jutaan Muslim Uighur di kamp.
CB,
JAKARTA -- Pengajar jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina
Nusantara Tia Mariatul Khibtah mengatakan tidak banyak yang bisa
dilakukan oleh Indonesia dalam menanggapi kekejian pemerintah Cina dalam
memperlakukan Muslim Uighur. Menurutnya, karena memang hal itu
kedaulatan Cina.
"Sebagai negara yang berdaulat dan menghargai hak asasi manusia jika
terjadi diskriminasi atau genosida terhadap Muslim Uighur ya harus
diprotes tapi kalau mengambil isu muslimnya tidak cukup kuat bagi
Indonesia kalau dilihat dilihat dari hubungan internasional ya untuk
memprotes tindakan diskriminasi pemerintah Cina," kata Tia, Kamis
(13/12).
Indonesia, kata Tia, dapat memprotes tindakan
pelanggaran hak asasi manusia dan genosida, jika memang ada. Tia
mengatakan tidak berbeda dengan kasus di Rohingya, di Myanmar. Indonesia
tidak bisa melakukan apa-apa kecuali protes.
"Indonesia
bisa tekan dalam beberapa kerja sama dengan Cina, mulai berhitung di
situ, kira-kira bisa ditekan tidak itu masalahnya, karena
kan yang lebih banyak memberi uang itu Cina," kata Tia.
Menurutnya,
tetap harus dilihat dalam beberapa kerja sama yang sudah disepakati.
Ada yang membuat Cina ketakutan atau tidak. Jika tidak maka Indonesia
tidak memiliki kekuatan untuk mengintervensi.
Sebelumnya
Rapat Paripurna DPR RI diwarnai interupsi dari anggota DPR terkait
Muslim Uighur di Cina. Hal itu khususnya, dugaan pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) yang dialami suku Uighur di Xinjiang, Cina.
Beberapa
anggota parlemen menilai institusi DPR harus meminta kepada Pemerintah
untuk bersikap terkait apa yang dialami Suku Uighur tersebut. Menurut
mereka Indonesia harus melakukan upaya-upaya dan langkah agar tidak ada
lagi kasus pelanggaran HAM di dunia.
Sejak April 2017,
pemerintah Cina sudah menangkap setidaknya 800 ribu dan kemungkinan dua
juta masyarakat Uighur kedalam kamp yang mereka sebut 'kamp re-edukasi'.
Pemerintah Cina sebelumnya membantah keberadaan kamp tersebut. Namun
sekarang mereka melegalisasinya dan mengatakan kamp tersebut sebagai
pusat pelatihan untuk 'melawan ekstrimisme'.
Tapi faktanya
mereka yang ditangkap termasuk rektor universitas dan pejabat partai.
Kamp 'pusat re-edukasi' telah memaksa Muslim Uighur menjalani program
doktrinasi - seperti mempelajari propaganda komunisme dan memberi salam
hormat kepada Presiden Cina Xi Jinping.
Tapi mereka
Pemerintah Cina bersikeras kamp tersebut pusat pelatihan. Menurut mereka
memasukkan Muslim Uighur ke dalam sebuah kamp konsentrasi adalah upaya
untuk menangkal terorisme global.
"Ini melindungi hak
asasi manusia lebih besar lagi, juga menyelamatkan orang-orang ini, ini
salah satu kontribusi penting yang Cina lakukan untuk melawan terorisme
global," kata Menteri Luar Negeri Cina Lu Kang pada bulan November lalu,
seperti dilansir dari
Vox.
Ketua Dewan Uyghur
Human Rights Project (UHRP) Nury Turkel meminta negara-negara demokrasi
untuk menentang Cina atas perlakuan mereka terhadap Muslim Uighur.
Turkel mengatakan perlakukan Pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur
'mengarah ke genosida'.
"Ini waktunya untuk bertindak,
sesuatu yang buruk terjadi dalam pengawasan kami," kata Turkel pada 6
Desember lalu, seperti dilansir dari
the Guardian.
Turkel
mengutip sejarawan dari Universitas Georgetown, yang mengatakan Beijing
berusaha mencari solusi final atas permasalah kultural di Xinjiang
dengan membersihkan budaya Uighur. Turkel mengatakan pemerintah Cina
melihat Uighur sebagai kanker.