Senin, 04 Desember 2017

Trump Berencana Akui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel


Trump Berencana Akui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel
Warga berkumpul di depan tembok ratapan, Yerusalem. Kota ini disebut akan diakui AS sebagai ibu kota Israel. (Foto: REUTERS/Amir Cohen)


Jakarta, CB -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump diperkirakan akan mengumumkan pengakuan AS terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel paling cepat Selasa (5/12).

Hal itu diungkapkan beberapa sumber pejabat Pemerintah AS yang mengetahuinya secara langsung serta diplomat asing kepada CNN.

Sumber-sumber tersebut menyatakan, trump akan memperhalus pengumuman itu dengan menyatakan bahwa pengakuan ibu kota Israel tersebut hanya untuk Yerusalem Barat, bukan Yerusalem Timur yang hendak diklaim Palestina sebagai ibu kotanya.


Pengumuman Trump tersebut terkait dengan masih tertundanya penandatanganan keputusan soal lokasi Kedutaan besar AS di tel Aviv, Israel, untuk enam bulan selanjutnya. Dia malah menyebut, administrasi kedutaan tersebut akan pindah ke Yerusalem suatu saat nanti.

Namun demikian, sumber-sumber itu menekankan bahwa kepastian keputusan tersebut masih menunggu keputusan akhir Trump. Sejauh ini, belum ada keputusan akhir soal pengakuan itu.

"Presiden selalu mengatakan bahwa (pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel) ini hanya soal kapan, bukan 'jika'. Presiden kini masih mempertimbangkan pilihan-pilihan dan kami tidak mengumumkan apapun," ungkap seorang juru bicara Gedung Putih.

Sementara, Israel mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota pemerintahannya. Namun, tidak ada kedutaan asing yang berada di sana. Masyarakat internasional masih menganggapnya sebagai masalah yang harus diselesaikan sebagai bagian dari kesepakatan damai yang lebih luas. Israel merebut Yerusalem dari Yordania selama perang 1967 silam.



Langkah Trump dalam mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, ditambah dengan pertimbangan rencana untuk memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, disebut dapat mempersulit upaya menantu sekaligus penasihat Trump, Jared Kushner, untuk memulai kembali perundingan perdamaian antara Israel dan Palestina.

Para pembantu senior Trump mengungkapkan, rencana-rencana itu kemungkinan masih bisa berubah. Trump telah menghadapi tenggat waktu Jumat di bawah peraturan tahun 1995 untuk mengeluarkan pembebasan yang memungkinkan kedutaan tetap berada di Tel Aviv. Hal itu rutin dilakukan Presiden AS sejak 1999.

Saat masih kandidat Presiden, Trump pernah berjanji untuk memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem. Hal itu memang jadi perhatian sebagian pemilih dari warga Yahudi-Amerika dan Evangelis.



Trump menunda langkah tersebut pada Juni lalu dengan menandatangani sebuah pembebasan demi memberi waktu kepada Kushner untuk mengerjakan rencana perdamaiannya.




Credit  CNN Indonesia



Pengakuan Trump Terkait Yerussalem Diprediksi Picu Kekerasan


Presiden AS Donald Trump
Presiden AS Donald Trump


CB, KAIRO -- Setiap langkah Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel akan mendorong ekstremisme dan kekerasan, kata Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit, Sabtu (2/12). Dia berbicara sehari setelah pejabat tinggi pemerintah Amerika Serikat mengatakan Presiden Donald Trump kemungkinan membuat pengumuman pada minggu depan.

Rakyat Palestina menginginkan Yerusalem sebagai ibu kota negara masa depan mereka dan masyarakat dunia tidak mengakui klaim Israel atas semua kota, yang menjadi rumah bagi tempat suci agama Yahudi, Islam dan Kristen. Kabar terkait rencana pengumuman Trump itu, yang akan menyimpang dari presiden Amerika Serikat sebelumnya, yang telah bersikeras bahwa kedudukan Yerusalem harus diputuskan dalam perundingan, mendapat kecaman dari pemerintah Palestina.

"Pada hari ini, kami mengatakan dengan sangat jelas bahwa mengambil tindakan semacam itu tidak dapat dibenarkan ... Ini tidak akan menghasilkan ketenangan atau stabilitas, namun akan memicu ekstremisme dan melakukan kekerasan," kata Aboul Gheit dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan di laman liga Arab tersebut.

"Itu hanya menguntungkan satu pihak, pemerintah Israel yang memusuhi perdamaian," tambahnya.

Militer Israel sebelumnya menyatakan tentara melancarkan serangan udara kedua terhadap "prasarana" di Jalur Gaza pada Kamis sore dan menuduh gerilyawan Palestina melancarakan serangan mortir pada pagi hari yang sama. Serangan tersebut dilancarkan setelah gerilyawan Jalur Gaza menembakkan bom mortir ke arah pos militer di samping pagar pemisah antara Israel dan bagian utara Jalur Gaza pada Kamis siang. Serangan tersebut mengakibatkan kerusakan kecil dan tak merenggut korban cedera, kata militer Israel.

Israel belakangan menuduh gerilyawan, yang berpusat di Jalur Gaza, melancarkan serangan itu, demikian laporan Xinhua. Sebagai balasan, militer Israel melancarkan serangan udara gabungan dengan serangan artileri, dengan sasaran dua pos Jihad Islam dan dua pos HAMAS, kata pernyataan militer.

Beberapa jam kemudian, serangan udara kedua dilancarkan. Sekali ini, satu pesawat Israel menyerang dia pos militer lagi milik Jihad Islam di bagian tengah Jalur Gaza, kata pernyataan tersebut.

Juru bicara Kementerian Kesehatan Palestina di Jalur Gaza, Dr Ashraf Al-Qidre, mengatakan kepada media Palestina bahwa dua orang menderita luka ringan akibat pemboman Israel. Gerilyawan mengatakan serangan mortir tersebut adalah pembalasan atas pembunuhan seorang petani Palestina pada Kamis pagi. Warga desa yang berusia 48 tahun itu ditembak hingga tewas oleh seorang pemukim Yahudi dalam satu pertikaian.

Militer Israel menyatakan pemukim tersebut menembak petani Palestina itu "untuk membela diri saat sekelompok pemukim diserang oleh orang yang melempar batu", sedangkan saksi mata Palestina mengatakan pria tersebut sedang bekerja di ladangnya selama penembakan itu. Kekacauan terjadi satu bulan setelah Israel membom terowongan penyeberangan dari Jalur Gaza ke Israel dan menewaskan sedikit-dikitnya selusin anggota gerilyawan tersebut.





Credit  republika.co.id