BERLIN
- Sejumlah massa dari sekitar 2.500 demonstran di Berlin, Jerman,
mengamuk di depan kantor Kedutaan Besar (kedubes) Amerika Serikat (AS)
pada hari Minggu. Sebuah bendera Israel dibakar.
Amuk massa itu terjadi dalam demonstrasi menentang keputusan Presiden AS Donald Trump yang secara resmi dan sepihak mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Menurut Kepolisian Berlin, penyelidikan sedang diluncurkan terhadap 11 orang terkait pembakaran bendera negara Yahudi tersebut.
Menteri Kehakiman Jerman Heiko Maas mengatakan bahwa tidak ada tempat untuk anti-Semitisme di negaranya.
Sebelumnya, pada hari Jumat, ratusan orang berkumpul di luar kedutaan AS di Ibu Kota Jerman untuk demonstrasi “Day of Rage” (Hari Kemarahan). Pihak kepolisian menyatakan bahwa mereka telah menahan 10 orang selama demonstrasi tersebut dan 12 tuntutan pidana diajukan, termasuk terkait pembakaran bendera Israel.
Maas kepada surat kabar Bild pada hari Senin (11/12/2017), mengecam aksi anti-Semitisime. ”Segala jenis anti-Semitisme adalah serangan terhadap semua orang. Anti-Semitisme tidak boleh diizinkan untuk memiliki tempat (dalam masyarakat) lagi,” katanya.
Anti-Semitisme tetap menjadi isu yang sangat sensitif di Jerman setelah lebih dari 70 tahun berakhirnya Holocaust era Nazi, di mana 6 juta orang Yahudi diyakini dibantai rezim Adolf Hitler. Jerman sendiri menganggap dirinya sebagai salah satu sekutu terdekat Israel.
Menteri Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel mengatakan kepada Bild bahwa kritik terhadap keputusan Trump dapat dimengerti. Namun, kata dia, orang tidak memiliki hak atau alasan untuk membakar bendera Israel, menimbulkan kebencian terhadap orang Yahudi atau mempertanyakan hak Israel untuk eksis.
“Siapapun yang melakukan itu tidak hanya berdiri melawan Israel, tapi juga melawan konstitusi Jerman dan Jerman tidak akan mentoleransi hal itu,” ujar Menlu Gabriel.
Gabriel mengatakan bahwa Jerman hanya mengizinkan demonstrasi damai dan tidak mengizinkan konflik di mana orang-orang bersiap menggunakan kekerasan untuk dibawa ke Jerman dari negara lain.
Amuk massa itu terjadi dalam demonstrasi menentang keputusan Presiden AS Donald Trump yang secara resmi dan sepihak mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Menurut Kepolisian Berlin, penyelidikan sedang diluncurkan terhadap 11 orang terkait pembakaran bendera negara Yahudi tersebut.
Menteri Kehakiman Jerman Heiko Maas mengatakan bahwa tidak ada tempat untuk anti-Semitisme di negaranya.
Sebelumnya, pada hari Jumat, ratusan orang berkumpul di luar kedutaan AS di Ibu Kota Jerman untuk demonstrasi “Day of Rage” (Hari Kemarahan). Pihak kepolisian menyatakan bahwa mereka telah menahan 10 orang selama demonstrasi tersebut dan 12 tuntutan pidana diajukan, termasuk terkait pembakaran bendera Israel.
Maas kepada surat kabar Bild pada hari Senin (11/12/2017), mengecam aksi anti-Semitisime. ”Segala jenis anti-Semitisme adalah serangan terhadap semua orang. Anti-Semitisme tidak boleh diizinkan untuk memiliki tempat (dalam masyarakat) lagi,” katanya.
Anti-Semitisme tetap menjadi isu yang sangat sensitif di Jerman setelah lebih dari 70 tahun berakhirnya Holocaust era Nazi, di mana 6 juta orang Yahudi diyakini dibantai rezim Adolf Hitler. Jerman sendiri menganggap dirinya sebagai salah satu sekutu terdekat Israel.
Menteri Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel mengatakan kepada Bild bahwa kritik terhadap keputusan Trump dapat dimengerti. Namun, kata dia, orang tidak memiliki hak atau alasan untuk membakar bendera Israel, menimbulkan kebencian terhadap orang Yahudi atau mempertanyakan hak Israel untuk eksis.
“Siapapun yang melakukan itu tidak hanya berdiri melawan Israel, tapi juga melawan konstitusi Jerman dan Jerman tidak akan mentoleransi hal itu,” ujar Menlu Gabriel.
Gabriel mengatakan bahwa Jerman hanya mengizinkan demonstrasi damai dan tidak mengizinkan konflik di mana orang-orang bersiap menggunakan kekerasan untuk dibawa ke Jerman dari negara lain.
Credit sindonews.com
Soal Yerusalem, Kedutaan Amerika Serikat di Lebanon Digeruduk
CB, Jakarta - Polisi Lebanon terpaksa menembakkan gas air mata ke kerumunan demonstran yang mencoba menggeruduk kedutaan besar Amerika Serikat di Beirut. Mereka menentang keputusan Donald Trump yang mengakui Yerusalem menjadi ibu kota Israel.
Laporan Al Jazeera dari tempat kejadian menyebutkan, para pengunjuk rasa melemparkan bebatuan ke pasukan keamanan Lebanon yang memagar betis jalan utama menuju kantor kedutaan besar Amerika Serikat di kawasan Awkar, Beirut Utara, Ahad, 10 Desember 2017.
Tentara Libanon membersihkan puing-puing di sebuah pos pemeriksaan yang rusak setelah tembak-menembak antara pasukan Israel dan Libanon di sepanjang perbatasan di Adaisseh, Lebanon, Selasa (3/8). AP/ Mohammed Zaatari
Bahkan beberapa ratus warga Palestina, tulis Al Jazeera,
tampak bentrok dengan pasukan keamanan. "Di sana ada kemarahan. Mereka
meneriakkan, 'Palestina maafkan kami. Mereka menutup pintu kita'."
Kemarahan para demonstran tidak hanya ditujukan langsung kepada Amerika Serikat yang memutuskan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Mereka juga merasa bahwa para pemimpin Arab hanya pandai bicara tetapi tak sanggup bertindak.
"Mereka berseru agar dilakukan intifada melawan Israel dan meminta kepada pemimpin Palestina tidak melanjutkan perundingan damai dengan Israel," Al Jazeera melaporkan.
Pengunjuk rasa Palestina membakar ban saat mereka mengibarkan bendera Palestina dan foto-foto presiden Palestina Yasser Arafat saat melakukan demonstrasi di lapangan utama di Kota Gaza, 6 Desember 2017. Mereka menentang akan keputusan Presiden AS, Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. AP Photo
Pasukan keamanan Lebanon tampak mengamankan kedutaan besar Amerika Serikat pada jarak tiga kilometer. Mereka melengkapi diri dengan meriam air guna membubarkan demonstran. Sementara itu, para demonstran berusaha keras memindahkan pagar berduri dan nekad memanjat barikade.
Aksi tesebut dibalas oleh pasukan keamanan Lebanon dengan tembakan gas air mata dan meriam air berkekuatan tinggi guna membubarkan pengunjuk rasa dari kedutaan besar Amerika Serikat. Pada aksi tersebut, pemerintah Lebanon meminta kepada para pengunjuk rasa tidak merusak fasilitas umum dan milik warga.
Laporan Al Jazeera dari tempat kejadian menyebutkan, para pengunjuk rasa melemparkan bebatuan ke pasukan keamanan Lebanon yang memagar betis jalan utama menuju kantor kedutaan besar Amerika Serikat di kawasan Awkar, Beirut Utara, Ahad, 10 Desember 2017.
Tentara Libanon membersihkan puing-puing di sebuah pos pemeriksaan yang rusak setelah tembak-menembak antara pasukan Israel dan Libanon di sepanjang perbatasan di Adaisseh, Lebanon, Selasa (3/8). AP/ Mohammed Zaatari
Kemarahan para demonstran tidak hanya ditujukan langsung kepada Amerika Serikat yang memutuskan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Mereka juga merasa bahwa para pemimpin Arab hanya pandai bicara tetapi tak sanggup bertindak.
"Mereka berseru agar dilakukan intifada melawan Israel dan meminta kepada pemimpin Palestina tidak melanjutkan perundingan damai dengan Israel," Al Jazeera melaporkan.
Pengunjuk rasa Palestina membakar ban saat mereka mengibarkan bendera Palestina dan foto-foto presiden Palestina Yasser Arafat saat melakukan demonstrasi di lapangan utama di Kota Gaza, 6 Desember 2017. Mereka menentang akan keputusan Presiden AS, Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. AP Photo
Pasukan keamanan Lebanon tampak mengamankan kedutaan besar Amerika Serikat pada jarak tiga kilometer. Mereka melengkapi diri dengan meriam air guna membubarkan demonstran. Sementara itu, para demonstran berusaha keras memindahkan pagar berduri dan nekad memanjat barikade.
Aksi tesebut dibalas oleh pasukan keamanan Lebanon dengan tembakan gas air mata dan meriam air berkekuatan tinggi guna membubarkan pengunjuk rasa dari kedutaan besar Amerika Serikat. Pada aksi tersebut, pemerintah Lebanon meminta kepada para pengunjuk rasa tidak merusak fasilitas umum dan milik warga.
Credit TEMPO.CO