"Ya saya kemungkinan yang pertama di bidang ekonomi, meski di bidang
lain seperti politik, budaya, atau bahasa, ada yang lain yang sudah
lebih dulu dari saya seperti Prof Vedi Hadiz dan Prof Ariel Heryanto,"
kata Budy dalam percakapan dengan wartawan ABC Sastra Wijaya.
Budy Resosudarmo sebelumnya menamatkan pendidikan S1 di Institut Teknologi Bandung (ITB) sebelum melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di Amerika Serikat dan mendapat gelar Doktor dari Cornell University. Dia pindah ke Australia untuk bergabung dengan ANU di tahun 2001 setelah sebelumnya menjadi tenaga pengajar di Universitas Indonesia dan juga di BPPT (Badan Pengkajian Penerapan Teknologi) di Jakarta.
Gelar profesor ini secara resmi akan disandangnya mulai 1 Januari 2018. Sama seperti di negara lain, seorang tenaga akademis bisa mengajukan diri untuk mendapatkan gelar profesor berdasarkan kriteria tertentu, dan menurut Budy Resosudarmo, hal yang paling utama adalah sumbangan pemikiran apa yang akan berguna bagi keilmuwan dan tempat dia bekerja bila dia diangkat menjadi profesor.
"Saya mengajukan argumen saya bisa berkontribusi di bidang pembangunan dan lingkungan di Asia Tenggara," katanya.
Bagaimana Budy Resosudarmo melihat perekonomin Indonesia di bawah Pemerintahan Joko Widodo selama tiga tahun terakhir ini? "Melihat keadaan ekonomi Indonesia sekarang ini harus kita lihat dalam bandingan dengan apa. Kalau secara umum kita melihat keadaaan ekonomi dunia yang mengalami resesi, dan pertumbuhannya rendah," katanya.
"Namun dibandingkan dengan Filipina, atau India atau Cina, pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah mereka," katanya.
Menurut Budy, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sekitar lima persen dalam tiga tahun terakhir sudah relatif baik namun sebenarnya memiliki potensi untuk lebih baik lagi.
"Masalahnya apakah pemerintah Indonesia bisa memenuhi potensi itu, di situ pertanyaan besarnya."
Menurut Prof Budy Resosudarmo, beberapa hal yang menjadi masalah bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah antara lain masalah tekanan dari dalam negeri untuk bersikap lebih nasionalis dalam kebijakan ekonomi.
"Persoalan lain adalah infrastruktur yang tidak selesai-selesai. Sejak krisis ekonomi 1997-1998, laju pembangunan infrastruktur Indonesia menurun sehingga banyak infrastruktur yang tidak dibangun atau tidak diperbarui," katanya.
Dalam masa tiga tahun terakhir Pemerintahan Jokowi, menurut Budy, sudah mengalokasikan dana untuk pembangunan infrastruktur namun dalam hal seperti pembangunan infrastruktur, dampaknya tidak akan dirasakan dengan cepat. Ada kritikan di Indonesia bahwa Presiden Jokowi terlalu banyak menghabiskan dana untuk infrastruktur, hal yang sebagian menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat.
Bagaimana Prof Budy Resosudarmo melihat hal tersebut? "Menurut saya saat ini alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur memang perlu tetapi jangan sampai mengurangi anggaran untuk pelayanan publik lainnya."
"Apakah terlalu banyak atau tidak, sulit untuk dinilai. Namun yang lebih penting lagi dan saya tidak melihat perdebatan mengenai hal ini di Indonesia adalaha bagaimana efisiensi dan kualitas pembangunan infrastruktur tersebut," katanya.
Menurutnya, yang dipentingkan di Indonesia saat ini adalah pembangunan infrastruktur yang lebih berkualitas terutama di daerah-daerah yang membutuhkan misalnya di kawasan Indonesia Timur.
"Sekarang ini menurut saya masih pada tahap, oke kita bangun, ini uangnya. Dan bukan pada tahap membangun sesuatu yang berkualitas dan strategis."
Hal yang strategis menurut Budy Resosudarmo, sudah banyak dibicarakan, namun apakah pemerintah sekarang membangun infrastruktur yang berkualitas tidak mendatangkan banyak diskusi.
Pembangunan infrastruktur yang berkualitas, menurut dia, bisa dicontohkan dengan apakah dalam pembangunan sebuah bandara di kawasan Indonesia Timur yang memang diperlukan, gedung yang dibangun tidak mengalami masalah atau mengalami kerusakan dalam waktu setahun saja, ataukah bertahan lama.
Pengajar di Fakultas Ekonomi di ANU tersebut mengatakan dia memiliki contoh pembangunan dua bandara di Lombok dan di Tual Maluku, dimana pembangunan infrastruktur tidak berkualitas terjadi.
Masalah lain dalam pembangunan infrastruktur menurut Budy adalah bagaimana penggunaannya setelah dibangun. "Pembangunan bandara di berbagai kawasan saya kira sudah tepat. Namun misalnya pembangunan jalan apa kegunaannya. Kalau kita misalnya bicara mengenai pembangunan jalan di Papua, apakah perlu? Ya perlu namun seberapa banyak pembangunan itu bisa meningkatkan ekonomi."
"Menurut saya yang juga perlu diperhatikan oleh Pak Jokowi adalah juga masalah gambut dan perubahan iklim," katanya.
"Ada penurunan intensitas dari jamannya Presiden SBY ke masa Pak Jokowi dalam hal isu-isu perubahan iklim. Saya tidak mengatakan Pak Jokowi tidak melakukan apa-apa mengenal hal itu."
"Pemerintah memang mengeluarkan moratorium pembukaan lahan kelapa sawit yang baru, namun kita maunya lebih maju," tambahnya lagi.
Menurut dia, debat yang harus dilakukan di Indonesia adalah melihat dalam soal perubahan iklim, apakah yang sudah dilakukan di Indonesia sudah mencapai titik maksimal atau belum.
Budy Resosudarmo sebelumnya menamatkan pendidikan S1 di Institut Teknologi Bandung (ITB) sebelum melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di Amerika Serikat dan mendapat gelar Doktor dari Cornell University. Dia pindah ke Australia untuk bergabung dengan ANU di tahun 2001 setelah sebelumnya menjadi tenaga pengajar di Universitas Indonesia dan juga di BPPT (Badan Pengkajian Penerapan Teknologi) di Jakarta.
Gelar profesor ini secara resmi akan disandangnya mulai 1 Januari 2018. Sama seperti di negara lain, seorang tenaga akademis bisa mengajukan diri untuk mendapatkan gelar profesor berdasarkan kriteria tertentu, dan menurut Budy Resosudarmo, hal yang paling utama adalah sumbangan pemikiran apa yang akan berguna bagi keilmuwan dan tempat dia bekerja bila dia diangkat menjadi profesor.
"Saya mengajukan argumen saya bisa berkontribusi di bidang pembangunan dan lingkungan di Asia Tenggara," katanya.
Bagaimana Budy Resosudarmo melihat perekonomin Indonesia di bawah Pemerintahan Joko Widodo selama tiga tahun terakhir ini? "Melihat keadaan ekonomi Indonesia sekarang ini harus kita lihat dalam bandingan dengan apa. Kalau secara umum kita melihat keadaaan ekonomi dunia yang mengalami resesi, dan pertumbuhannya rendah," katanya.
"Namun dibandingkan dengan Filipina, atau India atau Cina, pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah mereka," katanya.
Menurut Budy, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sekitar lima persen dalam tiga tahun terakhir sudah relatif baik namun sebenarnya memiliki potensi untuk lebih baik lagi.
"Masalahnya apakah pemerintah Indonesia bisa memenuhi potensi itu, di situ pertanyaan besarnya."
Menurut Prof Budy Resosudarmo, beberapa hal yang menjadi masalah bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah antara lain masalah tekanan dari dalam negeri untuk bersikap lebih nasionalis dalam kebijakan ekonomi.
"Persoalan lain adalah infrastruktur yang tidak selesai-selesai. Sejak krisis ekonomi 1997-1998, laju pembangunan infrastruktur Indonesia menurun sehingga banyak infrastruktur yang tidak dibangun atau tidak diperbarui," katanya.
Dalam masa tiga tahun terakhir Pemerintahan Jokowi, menurut Budy, sudah mengalokasikan dana untuk pembangunan infrastruktur namun dalam hal seperti pembangunan infrastruktur, dampaknya tidak akan dirasakan dengan cepat. Ada kritikan di Indonesia bahwa Presiden Jokowi terlalu banyak menghabiskan dana untuk infrastruktur, hal yang sebagian menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat.
Bagaimana Prof Budy Resosudarmo melihat hal tersebut? "Menurut saya saat ini alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur memang perlu tetapi jangan sampai mengurangi anggaran untuk pelayanan publik lainnya."
"Apakah terlalu banyak atau tidak, sulit untuk dinilai. Namun yang lebih penting lagi dan saya tidak melihat perdebatan mengenai hal ini di Indonesia adalaha bagaimana efisiensi dan kualitas pembangunan infrastruktur tersebut," katanya.
Menurutnya, yang dipentingkan di Indonesia saat ini adalah pembangunan infrastruktur yang lebih berkualitas terutama di daerah-daerah yang membutuhkan misalnya di kawasan Indonesia Timur.
"Sekarang ini menurut saya masih pada tahap, oke kita bangun, ini uangnya. Dan bukan pada tahap membangun sesuatu yang berkualitas dan strategis."
Hal yang strategis menurut Budy Resosudarmo, sudah banyak dibicarakan, namun apakah pemerintah sekarang membangun infrastruktur yang berkualitas tidak mendatangkan banyak diskusi.
Pembangunan infrastruktur yang berkualitas, menurut dia, bisa dicontohkan dengan apakah dalam pembangunan sebuah bandara di kawasan Indonesia Timur yang memang diperlukan, gedung yang dibangun tidak mengalami masalah atau mengalami kerusakan dalam waktu setahun saja, ataukah bertahan lama.
Pengajar di Fakultas Ekonomi di ANU tersebut mengatakan dia memiliki contoh pembangunan dua bandara di Lombok dan di Tual Maluku, dimana pembangunan infrastruktur tidak berkualitas terjadi.
Masalah lain dalam pembangunan infrastruktur menurut Budy adalah bagaimana penggunaannya setelah dibangun. "Pembangunan bandara di berbagai kawasan saya kira sudah tepat. Namun misalnya pembangunan jalan apa kegunaannya. Kalau kita misalnya bicara mengenai pembangunan jalan di Papua, apakah perlu? Ya perlu namun seberapa banyak pembangunan itu bisa meningkatkan ekonomi."
Perhatian ke masalah lingkungan
Berkenaan dengan kebijakan penggenjotan pembangunan infrastruktur, Prof Budy Resosudarmo mengatakan pemerintah Indonesia perlu juga memperhatikan masalah lingkungan dalam kebijakan pembangunan yang dijalankan selama ini. Dia memuji Pemerintahan Jokowi dalam dua kebijakan berkenaan dengan lingkungan selama tiga tahun terakhir yaitu dicabutnya subsidi BBM dan juga kebijakan yang dijalankan oleh Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti."Menurut saya yang juga perlu diperhatikan oleh Pak Jokowi adalah juga masalah gambut dan perubahan iklim," katanya.
"Ada penurunan intensitas dari jamannya Presiden SBY ke masa Pak Jokowi dalam hal isu-isu perubahan iklim. Saya tidak mengatakan Pak Jokowi tidak melakukan apa-apa mengenal hal itu."
"Pemerintah memang mengeluarkan moratorium pembukaan lahan kelapa sawit yang baru, namun kita maunya lebih maju," tambahnya lagi.
Menurut dia, debat yang harus dilakukan di Indonesia adalah melihat dalam soal perubahan iklim, apakah yang sudah dilakukan di Indonesia sudah mencapai titik maksimal atau belum.
Credit republika.co.id/australiaplus.com