LONDON - Myanmar menghadapi momen yang menentukan dan harus menghentikan kekerasan terhadap populasi minoritas etnis Rohingya. Demikian yang dikatakan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson.
Serangan oleh militan Rohingya terhadap pos keamanan bulan lalu memicu operasi tentara yang telah menewaskan lebih dari 400 orang. Operasi militer itu juga menghancurkan lebih dari 6.800 rumah dan mengirim hampir 400.000 Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
"Saya pikir ini adalah momen yang menentukan dalam banyak hal bagi demokrasi baru yang baru muncul ini," kata Tillerson, seperti dikutip dari SBS, Jumat (15/9/2017).
Ia mengatakan hal itu dalam sebuah kunjungan ke London di mana dia bertemu dengan Perdana Menteri Inggris Theresa May dan menteri luar negeri, Boris Johnson.
Tillerson mengatakan bahwa dia mengerti bahwa Aung San Suu Kyi dari Myanmar, peraih hadiah Nobel dan kepala pemerintahan de facto di Myanmar, berada dalam kesepakatan pembagian kekuasaan dengan militer dan "situasi kompleks" di mana dia menemukan dirinya sendiri.
"Saya pikir penting agar masyarakat global berbicara mendukung apa yang kita semua tahu harapannya adalah untuk perlakuan terhadap orang-orang tanpa memandang etnis mereka," tambahnya.
"Kekerasan ini harus dihentikan, penganiayaan ini harus dihentikan," tegasnya lagi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta bantuan besar-besaran untuk hampir 400 ribu orang yang melarikan diri ke Bangladesh, di tengah kekhawatiran jumlah tersebut dapat terus meningkat kecuali Myanmar mengakhiri kritik yang dikecam sebagai "pembersihan etnis".
PBB telah menyerukan intensifikasi operasi bantuan untuk membantu para pengungsi, dan respon yang jauh lebih besar dari masyarakat internasional.
"Kami mendesak masyarakat internasional untuk meningkatkan dukungan kemanusiaan dan memberikan bantuan. Kebutuhan untuk itu sangat masif," kata Direktur Operasi dan Keadaan Darurat untuk Organisasi Internasional untuk Migrasi, Mohammed Abdiker.
Credit sindonews.com