YANGON
- Gerilyawan Rohingya membantah mempunyai hubungan dengan kelompok
teroris internasional. Bantahan itu dikeluarkan beberapa hari setelah
kelompok teroris internasional, al-Qaeda, menyerukan serangan terhadap
Myanmar, sebagai bentuk balasan atas kekerasan terhadap etnis Rohingya.
Arakan
Rohingya Salvation Army (ARSA) mengatakan bahwa pihaknya berusaha untuk
membela kelompok minoritas tersebut dari sebuah kampanye penindasan
yang panjang di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, di mana
orang-orang Rohingya ditolak kewarganegaraannya. Namun tindakannya telah
merosot di suatu wilayah, yang merupakan wadah ketegangan agama dan
etnis, semakin dalam krisis.
ARSA telah berulang kali menjauhkan diri dari agenda ekstremisme internasional. Namun kelompok ini bersikeras bahwa klaimnya bersifat lokal dan untuk membela represi negara besar.
"ARSA merasa perlu menjelaskan bahwa tidak ada hubungan dengan al-Qaeda, Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), Lashkar-e-Taiba atau kelompok teroris transnasional," kata kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan. Pernyataan itu diposting di akun Twitter-nya seperti dikutip dari The Star, Jumat (15/9/2017).
"Kami tidak menyambut baik keterlibatan kelompok-kelompok ini dalam konflik Arakan (Rakhine). ARSA meminta negara bagian di wilayah tersebut untuk mencegat dan mencegah teroris memasuki Arakan dan membuat situasi buruk menjadi buruk," imbuh kelompok itu.
Menurut kelompok Krisis Internasional, ARSA dikendalikan oleh emigran Rohingya di Arab Saudi dan perintah di lapangan oleh pejuang gerilya yang terlatih di luar negeri. Tapi sebagian besar rekrutannya dipersenjatai dengan senjata mentah seperti parang dan tongkat.
Aksi ARSA menyerang pos keamanan dan kamp tentara pada 25 Agustus lalu telah memicu aksi balasan oleh militer Myanmar yang berujung pada pengusian besar-besaran etnis Rohingya. Kelompok hak asasi manusia mengatakan tentara Myanmar telah menggunakan serangan ARSA sebagai kedok untuk mencoba mengusir sekitar 1,1 juta populasi Rohingya.
Pemerintah Myanmar, yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, membantah tuduhan tersebut. Sebaliknya, pemerintah Myanmar memberi label pada militan sebagai "teroris ekstremis" yang ingin menerapkan peraturan Islam atas sebagian Negara Bagian Rakhine.
ARSA telah berulang kali menjauhkan diri dari agenda ekstremisme internasional. Namun kelompok ini bersikeras bahwa klaimnya bersifat lokal dan untuk membela represi negara besar.
"ARSA merasa perlu menjelaskan bahwa tidak ada hubungan dengan al-Qaeda, Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), Lashkar-e-Taiba atau kelompok teroris transnasional," kata kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan. Pernyataan itu diposting di akun Twitter-nya seperti dikutip dari The Star, Jumat (15/9/2017).
"Kami tidak menyambut baik keterlibatan kelompok-kelompok ini dalam konflik Arakan (Rakhine). ARSA meminta negara bagian di wilayah tersebut untuk mencegat dan mencegah teroris memasuki Arakan dan membuat situasi buruk menjadi buruk," imbuh kelompok itu.
Menurut kelompok Krisis Internasional, ARSA dikendalikan oleh emigran Rohingya di Arab Saudi dan perintah di lapangan oleh pejuang gerilya yang terlatih di luar negeri. Tapi sebagian besar rekrutannya dipersenjatai dengan senjata mentah seperti parang dan tongkat.
Aksi ARSA menyerang pos keamanan dan kamp tentara pada 25 Agustus lalu telah memicu aksi balasan oleh militer Myanmar yang berujung pada pengusian besar-besaran etnis Rohingya. Kelompok hak asasi manusia mengatakan tentara Myanmar telah menggunakan serangan ARSA sebagai kedok untuk mencoba mengusir sekitar 1,1 juta populasi Rohingya.
Pemerintah Myanmar, yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, membantah tuduhan tersebut. Sebaliknya, pemerintah Myanmar memberi label pada militan sebagai "teroris ekstremis" yang ingin menerapkan peraturan Islam atas sebagian Negara Bagian Rakhine.
Credit sindonews.com