Selasa, 12 September 2017

AS Akhirnya Minta Myanmar Berhenti Bunuh Rohingya


AS Akhirnya Minta Myanmar Berhenti Bunuh Rohingya 
Pemerintah Myanmar yang secara de facto dipimpin Aung San Suu Kyi diminta menghentikan kekerasan terhadap Rohingya. (Reuters/Soe Zeya Tun)


Jakarta, CB -- Amerika Serikat akhirnya meminta pemerintah Myanmar untuk menghentikan kekerasan yang telah memakan banyak nyawa masyarakat etnis minoritas Muslim Rohingya.

Gedung Putih menyebut krisis kemanusiaan ini menunjukkan bagaimana pasukan keamanan Myanmar tidak melindungi warga sipil.

"Kami meminta otoritas keamanan Burma (Myanmar) untuk menghormati peraturan hukum, menghentikan kekerasan dan mengakhiri pengusiran warga sipil dari semua kelompok masyarakat," bunyi pernyataan Gedung Putih yang dikutip Reuters, Selasa (12/9).

Sikap Presiden Amerika Serikat Donald Trump dipertanyakan karena tidak kunjung buka suara terkait permasalahan ini.

Meski mengecam peristiwa berdarah yang disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan upaya pembersihan etnis ini, Amerika Serikat sebelumnya enggan menyalahkan pihak manapun, baik itu pemerintah Myanmar maupun kelompok bersenjata Rohingya.

Baru kali ini Negeri Paman Sam menunjuk Myanmar terkait gelombang kekerasan yang terjadi di negara bagian Rakhine ini.

Pemerintah yang secara de facto dipimpin oleh pemenang nobel perdamaian, Aung San Suu Kyi, menyalahkan kelompok bersenjata Pasukan Penyelamat Rohingya Arakan alias ARSA yang dianggap sebagai teroris.


Pasukan keamanan Myanmar menyebut serangan ARSA terhadap 30 kantor polisi dan sebuah pangkalan militer pada 25 Agustus lalu sebagai alasan untuk menggelar operasi yang berujung pada pertumpahan darah warga sipil ini.

Pelapor khusus PBB untuk HAM di Myanmar memperkirakan sudah ada 1.000 orang yang tewas akibat operasi militer Rakhine. Sementara itu, ratusan ribu warga Rohingya lainnya terpaksa mengungsi ke Bangladesh setelah desa-desanya dibakar atau dihancurkan.

Rohingya, minoritas Muslim tanpa kewarganegaraan, telah menghadapi puluhan tahun penganiayaan di Myanmar, di mana mereka dianggap sebagai imigran ilegal.



Credit  cnnindonesia.com



AS Terganggu dengan Krisis Rohingya


AS Terganggu dengan Krisis Rohingya 
Juru Bicara Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders mengecam serangan militer Myanmar. (AFP PHOTO / SAUL LOEB)


Jakarta, CB -- Gedung Putih mengutuk kekerasan di Myanmar yang mengakibatkan 300.000 Muslim Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh. Hal itu menyangkut kekerasan di kedua belah pihak.

"Amerika Serikat sangat terganggu oleh krisis yang sedang berlangsung di Burma (Myanmar),” kata Juru Bicara Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders mengecam serangan militer Myanmar atas peristiwa kekerasan yang mematikan.

"Sedikitnya 300.000 orang telah meninggalkan rumah mereka setelah serangan terhadap pos keamanan Burma pada 25 Agustus," kata Sanders dikutip AFP



Dia mengatakan, pihaknya mengutuk serangan tersebut dan aksi kekerasan selanjutnya, tanpa menunjukkan kesalahan pada kelompok tertentu.

Pemerintah Myanmar mempersalahkan Pasukan Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) dan dianggap sebagai kelompok teroris. Sementara pasukan keamanan Myanmar dianggap bertanggung jawab atas serangan balasan yang diperkirakan telah membunuh lebih dari 1.000 orang, kebanyakan Rohingya.

Rohingya, minoritas Muslim tanpa kewarganegaraan, telah menghadapi puluhan tahun penganiayaan di Myanmar, di mana mereka dianggap sebagai imigran ilegal.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump menghadapi pertanyaan karena sikap dinginnya dalam menghadapi krisis yang oleh seorang utusan PBB disebut "contoh buku teks tentang pembersihan etnis." 


Sebelumnya, Pemerintah AS menutup suara dan enggan mengecam Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi atas pembantaian etnis minoritas Muslim Rohingya di Rakhine.

Kementerian Luar Negeri AS menyatakan bekerja sama dengan sejumlah rekanan internasional, termasuk Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Palang Merah Internasional dan Organisasi Migrasi Internasional untuk membantu para pengungsi.

Namun, Washington tidak melontarkan kritik tajam terhadap pemerintah yang sudah menuai banyak kecaman dari dunia internasional ini.





Credit  cnnindonesia.com