MOSKOW
- Pemerintah Rusia pada hari Senin memublikasikan berlakunya
penangguhan perjanjian dengan Amerika Serikat (AS) soal pembuangan
plutonium dari hulu ledak nuklir yang dinonaktifkan. Mulai tahun 2018,
Rusia berencana memproses ulang 34 ton plutonium, bahan yang bisa untuk
membuat ribuan senjata nuklir.
Penangguhan perjanjian
pasca-Perang Dingin itu sudah diteken Presiden Vladimir Putin itu
beberapa waktu lalu dengan alasan AS membuat kebijakan luar negeri yang
bermusuhan dengan Rusia. Perjanjian AS dan Rusia itu dibuat tahun 2000
dengan semangat mengurangi senjata nuklir dunia.
Informasi pemberlakukan penangguhan perjanjian itu muncul di website resmi informasi hukum Rusia, kemarin, yang dilansir kantor berita RIA Novosti.
“Rusia
menangguhkan kesepakatan, karena perubahan drastis dari keadaan,
munculnya ancaman terhadap stabilitas strategis sebagai akibat dari
tindakan bermusuhan AS terhadap Federasi Rusia dan ketidakmampuan AS
untuk menyediakan kewajiban yang diterima guna memanfaatkan kelebihan
plutonium-senjata sesuai dengan perjanjian,” bunyi pernyataan
penangguhan perjanjian yang dipublikasikan di website tersebut, yang dikutip semalam (31/10/2016).
Apabila
perjanjian itu dilanjutkan, AS harus mengurangi kehadiran militernya di
wilayah anggota NATO setelah tahun 2000, membatalkan Undang-Undang
Magnitsky soal larangan masuk warga Rusia—yang masuk daftar sanksi—ke
AS.
Selain itu, Rusia juga menuntut AS mencabut sanksi-sanksi
anti-Moskow dan membayar kompensasi atas kerugian yang dialami Rusia
akibat penerapan kebijakan AS.
Penangguhan perjanjian yang diteken oleh Presiden Putin sudah disetujui parlemen Rusia tak lama setelah diajukan.
Meski
dampak penangguhan perjanjian itu membuat Rusia berpotensi menghasilkan
ribuan senjata nuklir, namun Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey
Ryabkov, mengklaim bahwa penangguhan perjanjian tidak akan mempengaruhi
komitmen Moskow terkait dengan keamanan nuklir internasional. Ryabkov
juga menjamin, keputusan Presiden Putin tersebut tidak mengganggu Nuclear Non-Proliferation Treaty.
Credit Sindonews