Reformasi 1998
Foto: dok. Republika
Perusahaan CA mengatur kerusuhan, survei, demontrasi, dan meningkatkan rasa frustasi
CB,
Perusahaan induk konsultan politik Inggris Cambridge Analyctica (CA)
dilaporkan kemungkinan telah beroperasi di Asia Tenggara sejak dua
dekade yang lalu. Situs berita Quartz melaporkan, perusahaan
tersebut disebut-sebut mengatur kerusuhan sipil di Indonesia dan membuka
jalan bagi Thaksin Shinawatra untuk mengambil alih kekuasaan di
Thailand.
Menurut dokumen perusahaan yang dikeluarkan sekitar 2013 yang diakses oleh
Quartz,
kelompok konsultan politik Inggris SCL mengklaim telah tiba di
Indonesia setelah Presiden Soeharto dijatuhkan dari kekuasaannya pada
1998. SCL kemudian menjadi CA, yang kini diduga telah menggunakan data
dari 50 juta pengguna
Facebook untuk memengaruhi para pemilih selama kampanye Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 2016.
SCL
mengatakan, mereka mulai beroperasi di Indonesia atas permintaan
"kelompok pro-demokrasi" untuk membantu kampanye nasional dari reformasi
politik dan demokratisasi di negara yang terjerat dalam krisis ekonomi
Asia serta hilangnya seorang pemimpin yang telah berkuasa selama lebih
dari 30 tahun.
Quartz dimiliki oleh Atlantic Media, yang merupakan penerbit The Atlantic, National Journal, dan Government Executive. Secara total,
Quartz
melaporkan, SCL mengklaim telah bekerja pada lebih dari 100 kampanye
pemilu di 32 negara. Laporan media sebelumnya mengatakan ini termasuk
klaim bahwa SCL telah membantu partai politik di Malaysia, India, Kenya,
dan Brasil.
Dorong Kerusuhan Sipil di Indonesia
Di
Indonesia, menurut dokumen SCL, perusahaan tersebut telah
mengoperasikan survei ribuan orang di Indonesia, mengatur komunikasi
untuk politisi, dan bahkan mengorganisasi demonstrasi besar di
universitas untuk membantu mahasiswa melecut semangat mereka.
SCL mengatakan, mereka ditugaskan dalam mengatur meningkatnya
frustrasi dengan pemerintahan baru di bawah presiden BJ Habibie dan
meninjau sebanyak 72 ribu dari 220 juta orang di Indonesia.
Di
Indonesia pada 1998, SCL mengatakan bahwa pihaknya memutuskan untuk
mensponsori kegiatan protes yang terorganisasi untuk menarik siswa dan
menjauhkan mereka dari demonstrasi kekerasan. Namun, pakar Indonesia Ian
Wilson dari Universitas Murdoch Australia mengatakan, klaim bahwa SCL
membantu untuk mengendalikan kekerasan adalah "berlebihan".
Dokumen-dokumen yang diperlihatkan oleh
Quartz
menunjukkan bahwa kelompok universitas dengan usia yang lebih muda,
terutama, diatur untuk menghasut kerusuhan. Sementara, generasi yang
lebih tua merasa khawatir terhadap adanya pemberontakan, setelah
ditindas begitu lama.
SCL memutuskan untuk fokus
pada orang Indonesia berusia 18 hingga 25 tahun dan mengarahkan rasa
frustrasi mereka dari kerusuhan sipil. Penelitian di sejumlah sekolah
dan universitas menemukan banyak dari mereka tidak senang dengan
meningkatnya kehadiran polisi dan militer di jalanan. SCL disebut telah
membuat keputusan untuk mensponsori protes jalanan yang terorganisasi
untuk menarik mahasiswa dan mengendalikan mereka dari demonstrasi
kekerasan, yang tampaknya dengan kerja sama dari pemerintah Indonesia.
"Ini
dicapai dengan membentuk komite pengumpulan dan aktivitas pendanaan dan
cakupan di seluruh negeri. Peristiwa itu begitu besar sehingga ada
perasaan umum di kalangan siswa bahwa suara mereka benar-benar
terdengar," kata dokumen SCL tersebut, seperti dilansir di
Straits Times, Ahad (1/4).
SCL
mengklaim metode-metodenya secara dramatis mengurangi kerusuhan sipil
dan kemudian meyakinkan Presiden Habibie untuk mundur, yang selanjutnya
mengarah pada pemungutan suara 1999, yang membawa Abdurrahman Wahid
berkuasa. Dokumen-dokumen itu, kata
Quartz, menunjukkan bahwa SCL menjalankan kampanye pemilihan dari Partai Kebangkitan Nasional (PKB) yang menyokong Abdurrahman.
Pakar
Indonesia Ian Wilson, seorang dosen di Universitas Murdoch, Australia,
mengatakan, klaim bahwa SCL membantu untuk mengendalikan kekerasan
adalah berlebihan.
"Itu akan menjadi, setidaknya,
satu elemen kecil di antara semua yang terjadi pada saat itu. Kekuatan
dan kepentingan pada permainan dan desakan untuk pengaruh hanya pada
skala yang terlalu besar telah dipengaruhi secara signifikan sedemikian
rupa," kata Wilson kepada
Quartz.
Data Pemilu di Thailand
Dokumen
SCL mengatakan, perusahaan tersebut memasuki Thailand beberapa waktu
sebelum pemilihan 2001. Saat itu, miliarder telekomunikasi Thaksin
Shinawatra mengambil alih kekuasaan.
SCL diberi tugas untuk mengukur skala perilaku pembelian suara
yang telah meningkatkan biaya kampanye pemilihan menjadi sekitar 1
miliar dolar AS. Menurut dokumen tersebut, sebagaimana dikutip
Quartz,
pembelian suara telah menjadi begitu endemik. Sehingga, seluruh
industri penyalur muncul untuk menjadi perantara kelompok pemilih dan
penyandang dana.
"Itu cukup lumrah bagi para pemilih
untuk menjual suara mereka dua kali, dan kemudian tidak memilih sama
sekali!" demikian kata laporan tersebut.
SCL
mengklaim telah mempekerjakan lebih dari 1.200 staf yang mengumpulkan
data lebih dari sembilan bulan dan menemukan bahwa dalam setengah dari
konstituensi, pembelian suara tidak berdampak pada hasil pemilu.
Penemuan itu diklaim perusahaan bernilai sebesar 250 juta dolar AS.
Namun,
di konstituen lain, intervensi perilaku yang lebih langsung diperlukan,
yang disebutkan oleh makalah SCL dapat melibatkan tekanan sosial,
hukuman ekonomi, kerangka hukum, dan peningkatan pemantauan. SCL
mengatakan, pihaknya melakukan intervensi selama enam bulan, tampaknya
dengan kerja sama dari sebagian besar partai politik besar. Selanjutnya,
Thaksin memenangkan pemilihan 2001.
Pakar Thailand
dan profesor dari Universitas Leeds, Duncan McCargo, mengatakan tidak
ada keraguan bahwa beberapa partai politik Thailand telah menugaskan
konsultan internasional untuk bekerja meningkatkan elektabilitas mereka
dan ini tentu saja untuk partai Thaksin, Thai Rak Thai, pada 2001. Dia
skeptis dan mengatakan bahwa partai-partai yang berbeda dapat mendukung
proyek untuk menghentikan pembelian suara. Sementara itu,
Quartz mengatakan bahwa mereka telah menghubungi CA dan SCL untuk berkomentar.
"Konstitusi
1997 memasukkan berbagai ketentuan yang dirancang untuk memerangi dan
mengurangi pembelian suara. Ada dukungan populer yang luas untuk
perubahan ini, meskipun saya tidak bisa mengatakan itu berarti dukungan
'lintas partai'," kata McCargo.
Credit
republika.co.id