Selasa, 03 April 2018

Perusahaan Inggris Jatuhkan Soeharto dan Naikkan Thaksin?


Reformasi 1998
Reformasi 1998
Foto: dok. Republika


Perusahaan CA mengatur kerusuhan, survei, demontrasi, dan meningkatkan rasa frustasi

CB, Perusahaan induk konsultan politik Inggris Cambridge Analyctica (CA) dilaporkan kemungkinan telah beroperasi di Asia Tenggara sejak dua dekade yang lalu. Situs berita Quartz melaporkan, perusahaan tersebut disebut-sebut mengatur kerusuhan sipil di Indonesia dan membuka jalan bagi Thaksin Shinawatra untuk mengambil alih kekuasaan di Thailand.


Menurut dokumen perusahaan yang dikeluarkan sekitar 2013 yang diakses oleh Quartz, kelompok konsultan politik Inggris SCL mengklaim telah tiba di Indonesia setelah Presiden Soeharto dijatuhkan dari kekuasaannya pada 1998. SCL kemudian menjadi CA, yang kini diduga telah menggunakan data dari 50 juta pengguna Facebook untuk memengaruhi para pemilih selama kampanye Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 2016.


photo

Demonstrasi di Gedung MPR/DPR Senayan pada reformasi 1998. (foto:straittimes).



SCL mengatakan, mereka mulai beroperasi di Indonesia atas permintaan "kelompok pro-demokrasi" untuk membantu kampanye nasional dari reformasi politik dan demokratisasi di negara yang terjerat dalam krisis ekonomi Asia serta hilangnya seorang pemimpin yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun.


Quartz dimiliki oleh Atlantic Media, yang merupakan penerbit The Atlantic, National Journal, dan Government Executive. Secara total, Quartz melaporkan, SCL mengklaim telah bekerja pada lebih dari 100 kampanye pemilu di 32 negara. Laporan media sebelumnya mengatakan ini termasuk klaim bahwa SCL telah membantu partai politik di Malaysia, India, Kenya, dan Brasil.




Reformasi 1998

Reformasi 1998
Foto:



Dorong Kerusuhan Sipil di Indonesia



Di Indonesia, menurut dokumen SCL, perusahaan tersebut telah mengoperasikan survei ribuan orang di Indonesia, mengatur komunikasi untuk politisi, dan bahkan mengorganisasi demonstrasi besar di universitas untuk membantu mahasiswa melecut semangat mereka.


SCL mengatakan, mereka ditugaskan dalam mengatur meningkatnya frustrasi dengan pemerintahan baru di bawah presiden BJ Habibie dan meninjau sebanyak 72 ribu dari 220 juta orang di Indonesia.


Di Indonesia pada 1998, SCL mengatakan bahwa pihaknya memutuskan untuk mensponsori kegiatan protes yang terorganisasi untuk menarik siswa dan menjauhkan mereka dari demonstrasi kekerasan. Namun, pakar Indonesia Ian Wilson dari Universitas Murdoch Australia mengatakan, klaim bahwa SCL membantu untuk mengendalikan kekerasan adalah "berlebihan".


photo

Presiden BJ Habibie dan istrinya mendiang Ainun saat ke luar dari Gedung MPR/DPR. Kala itu Habibie menyatakan tidak bersedia kembali jadi presiden.



Dokumen-dokumen yang diperlihatkan oleh Quartz menunjukkan bahwa kelompok universitas dengan usia yang lebih muda, terutama, diatur untuk menghasut kerusuhan. Sementara, generasi yang lebih tua merasa khawatir terhadap adanya pemberontakan, setelah ditindas begitu lama.


SCL memutuskan untuk fokus pada orang Indonesia berusia 18 hingga 25 tahun dan mengarahkan rasa frustrasi mereka dari kerusuhan sipil. Penelitian di sejumlah sekolah dan universitas menemukan banyak dari mereka tidak senang dengan meningkatnya kehadiran polisi dan militer di jalanan. SCL disebut telah membuat keputusan untuk mensponsori protes jalanan yang terorganisasi untuk menarik mahasiswa dan mengendalikan mereka dari demonstrasi kekerasan, yang tampaknya dengan kerja sama dari pemerintah Indonesia.


"Ini dicapai dengan membentuk komite pengumpulan dan aktivitas pendanaan dan cakupan di seluruh negeri. Peristiwa itu begitu besar sehingga ada perasaan umum di kalangan siswa bahwa suara mereka benar-benar terdengar," kata dokumen SCL tersebut, seperti dilansir di Straits Times, Ahad (1/4).


photo

Kerusuhan sosial pada masa reformasi 1998



SCL mengklaim metode-metodenya secara dramatis mengurangi kerusuhan sipil dan kemudian meyakinkan Presiden Habibie untuk mundur, yang selanjutnya mengarah pada pemungutan suara 1999, yang membawa Abdurrahman Wahid berkuasa. Dokumen-dokumen itu, kata Quartz, menunjukkan bahwa SCL menjalankan kampanye pemilihan dari Partai Kebangkitan Nasional (PKB) yang menyokong Abdurrahman.


Pakar Indonesia Ian Wilson, seorang dosen di Universitas Murdoch, Australia, mengatakan, klaim bahwa SCL membantu untuk mengendalikan kekerasan adalah berlebihan.


"Itu akan menjadi, setidaknya, satu elemen kecil di antara semua yang terjadi pada saat itu. Kekuatan dan kepentingan pada permainan dan desakan untuk pengaruh hanya pada skala yang terlalu besar telah dipengaruhi secara signifikan sedemikian rupa," kata Wilson kepada Quartz.


photo

Pelantikan Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999.


Data Pemilu di Thailand



Dokumen SCL mengatakan, perusahaan tersebut memasuki Thailand beberapa waktu sebelum pemilihan 2001. Saat itu, miliarder telekomunikasi Thaksin Shinawatra mengambil alih kekuasaan.

SCL diberi tugas untuk mengukur skala perilaku pembelian suara yang telah meningkatkan biaya kampanye pemilihan menjadi sekitar 1 miliar dolar AS. Menurut dokumen tersebut, sebagaimana dikutip Quartz, pembelian suara telah menjadi begitu endemik. Sehingga, seluruh industri penyalur muncul untuk menjadi perantara kelompok pemilih dan penyandang dana.


"Itu cukup lumrah bagi para pemilih untuk menjual suara mereka dua kali, dan kemudian tidak memilih sama sekali!" demikian kata laporan tersebut.


photo

Petugas pemilu Thailand tengah bersiap-siap jelang pemungutan suara.



SCL mengklaim telah mempekerjakan lebih dari 1.200 staf yang mengumpulkan data lebih dari sembilan bulan dan menemukan bahwa dalam setengah dari konstituensi, pembelian suara tidak berdampak pada hasil pemilu. Penemuan itu diklaim perusahaan bernilai sebesar 250 juta dolar AS.


Namun, di konstituen lain, intervensi perilaku yang lebih langsung diperlukan, yang disebutkan oleh makalah SCL dapat melibatkan tekanan sosial, hukuman ekonomi, kerangka hukum, dan peningkatan pemantauan. SCL mengatakan, pihaknya melakukan intervensi selama enam bulan, tampaknya dengan kerja sama dari sebagian besar partai politik besar. Selanjutnya, Thaksin memenangkan pemilihan 2001.


Pakar Thailand dan profesor dari Universitas Leeds, Duncan McCargo, mengatakan tidak ada keraguan bahwa beberapa partai politik Thailand telah menugaskan konsultan internasional untuk bekerja meningkatkan elektabilitas mereka dan ini tentu saja untuk partai Thaksin, Thai Rak Thai, pada 2001. Dia skeptis dan mengatakan bahwa partai-partai yang berbeda dapat mendukung proyek untuk menghentikan pembelian suara. Sementara itu, Quartz mengatakan bahwa mereka telah menghubungi CA dan SCL untuk berkomentar.



"Konstitusi 1997 memasukkan berbagai ketentuan yang dirancang untuk memerangi dan mengurangi pembelian suara. Ada dukungan populer yang luas untuk perubahan ini, meskipun saya tidak bisa mengatakan itu berarti dukungan 'lintas partai'," kata McCargo.






Credit  republika.co.id