Kamis, 24 November 2016

Dunia Soroti Krisis Muslim Rohingya, Suu Kyi Marah


 
Dunia Soroti Krisis Muslim Rohingya, Suu Kyi Marah
Aung San Suu Kyi, pemimpin partai berkuasa di Myanmar kesal setelah krisis Muslim Rohingya di Rakhine disorot masyarakat dunia. Foto / REUTERS / Soe Zeya Tun
 
NAYPYIDAW - Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara di dunia ikut menyoroti kekerasan militer Myanmar terhadap komunitas Muslim Rohingya di Rakhine dalam forum PBB di New York. Namun, pemimpin faksi politik yang berkuasa di Myanmar, Aung San Suu Kyi, bereaksi marah dengan merasa Myanmar diperlakukan tidak adil.

Duta AS untuk PBB, Samantha Power menyampaikan peringatan kepada pada diplomat Barat lainnya bahwa Myanmar tidak bisa menangani krisis Rohingya sendiri. Tindakan keras militer Myanmar—seperti yang dilaporkan kelompok HAM—seperti pembakaran desa, eksekusi hingga pemerkosaan, telah membuat ratusan warga Rohingya di Rakhine melakukan eksodus ke perbatasan Bangladesh.

”Antusiasme awal masyarakat internasional atas pembiaran Myanmar terus di jalan ini, reformasi sendiri tampaknya berbahaya pada tahap ini,” kata Samantha Power dalam forum tertutup di markas PBB, pekan lalu, yang dilansir Reuters, Kamis (24/11/2016).

Samantha kembali menuntut Washington agar membuka kembali kantor OHCHR, badan hak asasi manusia PBB, di Myanmar. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Nicole Thompson, menolak mengomentari apa yang dibahas dalam forum tertutup di markas PBB tanggal 17 November 2016 lalu.

”Kami tetap prihatin dengan laporan kekerasan yang sedang berlangsung dan eksodus di utara negara bagian Rakhine,” kata Thompson. ”Kami terus mendesak pemerintah untuk melakukan penyelidikan kredibel dan independen terhadap peristiwa di negara bagian Rakhine, dan memperbarui permintaan kami untuk membuka akses pada media,” lanjut Thompson.

Para diplomat Barat mengatakan, Inggris juga menyatakan keprihatinan pada pertemuan tersebut. Malaysia dan Mesir juga menyuarkan hal serupa.

Sementara itu,  Suu Kyi menjawab di hari berikutnya dalam pertemuan dengan para diplomat dari PBB, AS, Inggris, Uni Eropa dan Denmark, di Ibu Kota Naypyitaw, Myanmar. Suu Kyi meluapkan kemarahannya. Menurut sumber-sumber diplomat, Suu Kyi menekankan bahwa Myanmar juga telah berkomitmen untuk memulihkan akses bantuan dan meluncurkan penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine.

Masih menurut sumber diplomat, Suu Kyi menuduh masyarakat internasional hanya fokus pada sisi konflik tanpa “memiliki informasi yang nyata”.

Suu Kyi yang meraih Hadiah Nobel Perdamaian selama ini dipuji Barat dengan pejuang demokrasi dan HAM. Suu Kyi selama bertahun-tahun berada di dalam tahanan rumah akibat penindasan junta militer. Namun, pujian untuk Suu Kyi kini berubah menjadi kecaman karena dia dianggap nyaris tak berbuat apa-apa untuk meringankan penderitaan kelompok minoritas Rohingya, meski faksi politiknya telah berkuasa di Myanmar.

Kekerasan terbaru militer Myanmar terhadap komunitas Muslim Rohingya mulai terjadi menyusul serangan orang-orang bersenjata tak dikenal terhadap tiga pos polisi perbatasan pada 9 Oktober 2016 yang menewaskan sembilan polisi Myanmar.
Militer Myanmar dan pemerintah telah menolak tuduhan oleh warga Rohingya dan kelompok-kelompok HAM, bahwa tentara telah memperkosa wanita Rohingya, membakar rumah dan mengeksekusi puluhan warga sipil selama operasi militer di Rakhine sebagai respons atas serangan di tiga pos polisi tersebut.

Juru bicara Kepresidenan Myanmar, Zaw Htay, mengatakan Myanmar telah merilis berita yang benar untuk mencegah penyebaran informasi yang salah.

”Masyarakat internasional salah paham pada kami, karena pelobi Rohingya mendistribusikan berita palsu,” katanya. ”Tidak ada seorang pun di dunia akan menerima serangan terhadap pasukan keamanan, pembunuhan dan penjarahan senjata,” katanya lagi.




Credit  Sindonews