Senin, 28 November 2016

Mengenang Fidel Castro, Sang Penantang Amerika dari Kuba

 
Mengenang Fidel Castro, Sang Penantang Amerika dari Kuba Fidel Castro meninggal dalam usia 90 tahun. (AFP PHOTO TOMMY WEBER / AFP PHOTO / TOMMY WEBER)
 
Jakarta, CB -- Sosok ikonik Kuba, Fidel Castro meninggal dunia setelah lama sakit. Stasiun televisi nasional Kuba mengumumkan itu pada Sabtu (26/11). Tokoh revolusi itu dikenal sebagai salah satu pemimpin paling kontroversial di dunia dari Amerika Latin.

Meninggalnya Castro sudah diprediksi, mengingat ia telah sakit lama dan usianya sudah mencapai 90 tahun. Partai Komunis di Kuba bahkan sudah bersiap-siap akan momen itu sejak Juli 2006, saat sang mantan presiden masuk rumah sakit dan harus mengalami operasi.

Saat itu kursi kekuasaan diserahkan ke sang adik, Raul.

Tapi tetap saja kabar duka ini mengejutkan. Tak menyangka sosok kuat dan pribadi yang keras itu, figur publik di kalangan militer dan pemerintahan, telah tiada. Itu mungkin menjadi kabar bahagia di Miami. Di sana ada komunitas eksil dari Kuba.

Namun bagi pemuja gerakan kiri di mana pun di dunia, itu adalah kesedihan yang mendalam. Masih terkenang sosoknya yang identik dengan baju tentara hijau, topi, dan cerutu.

Mengutip The Guardian, Castro termasuk sosok yang sangat jarang muncul ke hadapan publik. Baru-baru ini saja ia terlihat. ‘Penampakan’ terakhirnya di kongres Partai Komunis di Kuba tahun ini. Tapi ia masih rutin menulis kolom untuk surat kabar partainya, Granma.

Lebih dari setengah abad lalu, Castro memimpin pasukan gerilya menggulingkan kepemimpinan diktator nan korupsi, Fulgencio Batista. Sejak itu aturan komunis yang berlaku di Kuba. Castro pun dengan berani menantang Amerika Serikat. Ia lah sang pemicu Perang Dingin.

AS menyebut kematian Castro adalah ‘solusi biologis’ atas komunisme di Karibia.

Tapi perlahan, hubungan Kuba dan AS membaik. Sejak Raul menggantikan sang kakak pada 2008, politik dan ekonomi Kuba mulai mendekat ke Negeri Adidaya. Pada 2014 kedua negara bahkan telah mengakhiri sikap saling antipati secara resmi, setelah lebih dari lima dekade.

Meski begitu, sosok Castro tetap tak terlupakan. Ia punya kharisma, intelektual dan pemikiran politik yang revolusioner. Warisan terbesarnya adalah memberikan pendidikan dan layanan kesehatan gratis. Itu membuat Kuba punya orang-orang terbaik di areanya.

Tapi ia juga meninggalkan kebencian bagi sebagian kalangan yang tidak setuju dengan kebijakannya soal pemerintahan yang mengontrol semua hal. Kebijakan mengembargo AS yang dicanangkannya pun membuat banyak warga Kuba yang tercekik secara ekonomi dan kelaparan.

Memerintah Kuba dari 1959 sampai 50 tahun kemudian, Castro bertangan besi tapi juga berkharisma. Setidaknya ia berhasil mengubah Kuba dari yang semula ‘taman bermain’ bagi orang-orang kaya di AS, menjadi simbol manusia yang resisten terhadap kuasa negara itu.

Kematian Castro, mengutip Reuters, diprediksi akam membuat Kuba kembali krisis. Masa depan Kuba gonjang-ganjing, mengingat Raul sang adik yang kini masih memerintah itu, juga sudah menginjak usia 85 tahun. Ia masih nyaman dengan pemerintahannya, tapi juga mulai menua.


Credit  CNN Indonesia


Mengenang Hubungan Mendiang Fidel Castro dan Che Guevara


Mengenang Hubungan Mendiang Fidel Castro dan Che Guevara Dokumentasi Fidel Castro (kanan) bersama dengan Ernesto 'Che' Guevara (kiri) di Havana, Kuba, pada 1963 silam. .(AFP PHOTO/FILES-CONSEJO ESTADO)
 
Jakarta, CB -- Salah satu pimpinan revolusi Kuba, Fidel Casto, telah mangkat di usianya yang ke-90, Sabtu (26/11). Sepanjang hidupnya, pria yang lahir pada 2 Desember 1976 itu dikenal sebagai seorang nasionalis yang memulai revolusi Kuba pada 1950-an.

"Saya memulai revolusi dengan 82 orang. Jika saya harus melakukannya lagi, saya akan melakukannya bersama 10 atau 15 orang dan dengan keyakinan penuh. Tak masalah seberapa kecil Anda, jika Anda memiliki keyakinan dan juga rencana," demikian salah satu kutipan Castro yang terkenal. Ucapan itu diutarakannya pada 1959.


Salah satu kiprah awal Fidel Castro dalam revolusi Kuba adalah saat jebolan fakulatas hukum Universitas Havana tersebut melakulan serangan ke barak Moncada pada 1953 silam untuk menggulingkan Presiden Fulgencio Batista. Serangan menggulingkan pemimpin diktator itu gagal, dan Fidel bersama 25 orang dipenjara selama setahun. Setelah itu ia dan beberapa kawannya melakukan ekspedisi ke Meksiko.

Di negara yang berbatasan dengan Amerika Serikat tersebut, Fidel Castro mengenal Ernesto Guevara de la Serna. Guevara yang memiliki nama pendek Che tersebut bersahabat dekat dengan saudara Fidel, Raul.

Mengenang Hubungan Mendiang Fidel Castro dan Che GuevaraFidel Castro (kiri) yang menjabat Perdana Menteri Kuba bersama dengan Presiden Kuba Osvaldo Dorticos (tengah) dan Ernesto 'Che' Guevara (kiri) yang menjabat menteri industri saat peringatan May Day, 1 Mei 1961 di Havana, Kuba. (AFP PHOTO / -)
Fidel, Raul, dan Che didekatkan pandangan yang sama yakni pemikiran sosialis yang dipengaruhi Marxisme-Leninisme.

Che yang berkebangsaan Argentina adalah seorang mahasiswa kedokteran yang melakukan ekspedisi menggunakan sepeda motor bersama sahabatnya, Alberto Granado dari Buneos Aires, Argentina, mengarungi kawasan Amerika Latin pada 1950. Ia bermotor menyusuri Argentina, Chile, Peru, Ekuador, Kolombia, Venezuela, Panama, Miami, dan terakhir Florida.

Dalam perjalanannya tersebut itulah Che menemukan pencerahan untuk membebaskan penderitaan masyarakat Amerika Latin. Usai merampungkan pendidikannya pada 1953, Che kembali berpetualang. Kali itu ia berangkat ke Guatemala dan melihat revolusi agraria Presiden Jacobo Arbenz. Hampir setahun dari pertemuan tersebut, Arbenz dikudeta kelompok sayap kanan dengan dukungan badan intelijen Amerika Serikat (CIA).

Dari Guatemala, Che berjalan ke Meksiko. Di sanalah dia bertemu Castro bersaudara.

Setelah pertemuannya dengan Raul dan Fidel, Che pun bergabung dalam kelompok Gerakan 26 Juli yang digagas Fidel dan kembali ke Kuba untuk melakukan Revolusi. Tujuannya satu yakni menggulingkan kepemimpinan diktator Batista di Kuba.

Fidel bersama Raul dan Che yang membawa serta 82 kombatan lalu kembali melakukan strategi perang gerilya di Kuba, dan berjaya pada 1959. Batista berhasil dilempar dari kekuasaan, dan Fidel Castro menjadi pemimpin Kuba serta mengubah negara itu bersistem sosialis dengan satu partai.

Bagaimana dengan Che? Seperti dilansir Telegraph, Che yang di Buenos Aires menghabiskan masa pendidikannya menjadi seorang dokter itu didaulat Fidel menjadi Menteri Industri dan Pemimpin Bank Sentral.

Jiwa revolusi Che rupanya masih lekat melihat ketidakadilan akibat sistem kapitalisme di negara lain. Pada 1965 ia bersama dengan sekitar 100 kombatan kemudian pergi ke Afrika untuk membantu revolusi di Kongo. Setelah sempat kembali diam-diam ke Kuba, Che melanjutkan perjalanannya ke Bolivia.

Di sana ia membantu revolusi dalam operasi Militer Pembebasan Nasionalis Bolivia (ELN). Bersamanya disebut pula ikut 50 kombatan Kuba. Namun, kiprah Che di Bolivia berakhir ketika ia ditangkap militer Bolivia dan dieksekusi pada 9 Oktober 1967. Saat itu usianya 39 tahun.

Mengenang Hubungan Mendiang Fidel Castro dan Che GuevaraSeorang pria melewati grafiti wajah Ernesto 'Che' Guevara di sebuah tembok di Havana, Kuba, 27 Desember 2014. Wajah Che ini menjadi simbol perjuangan kelompok sosialisme. (Reuters/Stringer)

Che boleh mati lebih dulu, namun semangat perjuanganya terus hidup dan menginspirasi. Bahkan, wajah Che yang berjanggut seraya mengenakan baret itu ramai menjadi simbol perjuangan kelompok revolusioner -- bahkan disablon di kaos-kaos anak muda di seluruh dunia.

Sementara bagi Fidel, seperti diutarakan Dr Aleida Guevara--putri tertua Che dari istrinya yang kedua, Aleida March-- sang Comandante itu belumlah wafat.

"Fidel mengatakan kepada saya dia sering bermimpi sedang bersama dengan Che, Dia [Fidel Castro] bermimpi bersama dia [Che] dan di dalam mimpinya dia melihat Che tetap seperti dulu," kata Aleida seperti dikutip dari Mail Online yang melakukan wawancara ekslusif pada 2014 silam.

"Terkadang ketika dia berbicara tentang ayah saya, saya hanya tersenyum karena Fidel tidak membicarakan tentang ayah saya dalam kalimat masa kini....dia [Fidel Castro] merasakannya. Papi masih bersama kami."

Sepanjang hidupnya, Guevara adalah seorang yang kerap menumpahkan pikirannya dalam catatan harian. Itu pula lah yang kemudian menjadi buku The Motorcycles Diaries yang merekam ekspedisinya bersama Alberto Granado.

Namun, dalam catatan harian tulisan tangan yang diterjemahkan Che Guevara Studies Centre, pada 2011 silam terungkap salah satu kaitan hubungannya dengan Fidel Castro.

Catatan harian itu berkisah tentang perjalanan Che yang melibatkannya dalam revolusi Kuba pimpinan Fidel hingga menjelang ujung usianya di Bolivia.

Dalam salah satu catatannya, seperti dikutip dari Fox News Latino, Che beberapa kali menulis, 'Tak ada kontak dengan Manila.' Manila adalah nama panggilan Che terhadap Fidel Castro.

Pada April 2015 silam di pameran buku internasional Buenos Aires, seorang jurnalis asal Kuba, Alberto Mueller, mengatakan sebelum Che tertangkap pasukan Bolivia, sudah ada unit kombatan di Havana yang siap bergerilya untuk menyelamatkan Che.

"Namun Fidel tak pernah memberikan wewenang [izin] atas misi tersebut. Membiarkan pemimpin gerilya [Che] menemui takdirnya. Tewas karena eksekusi mati pada 9 Oktober 1967 di La Higuera, Bolivia," kata Mueller yang menulis buku 'Che Guevara. Valvo mas vivo que muerto.' atau 'Che Guevara: Lebih bernilai hidup dibandingkan mati'.

Namun, terlepas dari teori konspirasi yang muncul, Fidel Castro pernah berjibaku bersama Ernesto 'Che' Guevara untuk melakukan revolusi Kuba. Dan, kini Fidel Castro pun menyusul pria yang pernah ia senangi pemikirannya tersebut.


Credit  CNN Indonesia


Fidel Castro Punya Keris dan Kopiah dari Soekarno


Fidel Castro Punya Keris dan Kopiah dari Soekarno Fidel Castro punya hubungan dekat dengan Soekarno. (REUTERS/Prensa Latina)
 
Jakarta, CB -- Saat Soekarno menginjakkan kaki di Kuba pada 1960, Fidel Castro sendiri yang menyambutnya di bandara di Havana. Castro saat itu Pemimpin Kuba. Melihat sang pemimpin menyambut Soekarno sedemikian rupa, warga setempat pun ikut menyongsong kedatangannya dengan meriah.

Mereka berdiri di tepi-tepi jalan, melambaikan tangan dan poster untuk presiden pertama Indonesia itu. Siapa yang menjadi sahabat presidennya, tamu kehormatan mereka juga.

Soekarno memang dekat dengan Castro, yang baru meninggal pada Sabtu (26/11) setelah lama sakit, dalam usia 90 tahun. Bukan hanya karena mereka sama-sama pengisap cerutu. Tapi keduanya punya pemikiran yang sama revolusioner.

Sama-sama ingin memajukan negara, menyejahterakan rakyat, dan ‘membenci’ negara-negara pelaku kapitalis seperti Amerika.

Saat berkunjung ke Kuba dan bertemu sendiri dengan Castro itu, Soekarno bertukar pikiran soal konsep Marhaenisme yang dipegangnya. Ia juga berbagi saran soal bagaimana membuat negara lebih mandiri. Tidak sedikit yang menyebut Soekarno sebagai ‘guru’ Castro.

Sahabat, paling tidak.

Dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno yang ditulis mantan ajudan Soekarno, Bambang Widjanarko, terlihat jelas bagaimana kedekatan mereka berdua. Castro punya keris asal Indonesia sebagai hadiah dari Soekarno. Ia juga punya kopiah, bekas pakai Soekarno.

Mengunjungi Kuba jauh lebih menyenangkan bagi Soekarno, ketimbang kunjungannya ke Amerika kala itu.

Di Kuba ia disambut dengan suka cita, di Gedung Putih ia dibiarkan menunggu selama tiga jam. Kuba yang di masa itu sedang ribut-ribut revolusi, mirip dengan kondisi Indonesia beberapa tahun sebelumnya. Dan Bung Karno lah pemimpin revolusi itu.

Kuba juga sangat menghormati Soekarno, bahkan puluhan tahun kemudian. Saat merayakan ulang tahun ke-80 Castro 10 tahun lalu, Kuba menerbitkan perangko edisi khusus. Ada gambar Soekarno dan Castro di sana. Perangko itu dicetak dalam jumlah terbatas dan eksklusif.

Kini, Castro menyusul sahabatnya, 46 tahun kemudian. Dua pemimpin revolusi yang pernah begitu karib itu meninggalkan duka mendalam pada para pemuja pemikiran mereka.

Credit  CNN Indonesia