ANKARA
- Recep Tayyip Erdogan resmi dinyatakan sebagai pemenang pemilu Turki
dengan meraih lebih dari 50 persen suara. Dengan demikian, Erdogan
kembali menjadi Presiden Turki.
Kemenangan Erdogan yang diusung AKP atau Partai Keadilan dan Pembangunan diumumkan Dewan Pemilihan Tinggi Turki (YSK) yang dilansir Reuters, Senin (25/6/2018). Kemenangan ini juga membuat Erdogan menjadi presiden pertama Turki di bawah sistem konstitusi yang baru, yakni sistem presidensial.
Pemilu presiden dan parlemen negara itu digelar Minggu kemarin. Untuk pemilu presiden, hingga saat ini (25/6/2018), sudah lebih dari 97,2 persen suara telah dihitung dan Erdogan meraih lebih dari 50 persen suara.
Sedangkan dalam pemilu parlemen, AKP meraih lebih dari 45 persen suara yang menjadikannya berada di urutan atas sebagai pemenang.
Menurut Ketua YSK, Partai Demokrat Rakyat (HDP) yang pro-Kurdi juga berhasil masuk ke parlemen setelah melewati ambang batas perolehan suara 10 persen. Jumlah pemilih dalam pemilu kali ini mencapai 87 persen.
Rival terkuat Erdogan, Muharrem Ince yang diusung Partai Rakyat Republik (CHP) meraih lebih dari 29 persen suara. CHP menempati posisi kedua dengan hampir 21 persen suara.
"Orang-orang Turki telah memilih Erdogan sebagai presiden pertama Turki/presiden eksekutif di bawah sistem baru," kata juru bicara pemerintah Turki Bekir Bozdag.
Saat menyampaikan pernyataannya, Erdogan mengatakan bahwa hasil sementara dari pemilu jelas menunjukkan kemenangannya, karena lebih dari 95 persen suara telah dihitung.
Dia menyerukan rakyat Turki untuk mengesampingkan ketegangan dari periode pemilu. Sedangkan kubu oposisi mengklaim bahwa ada kemungkinan digelar putaran kedua pemilu presiden.
Pemilu Turki kali ini adalah yang pertama sejak Turki beralih ke sistem pemerintahan presidensial setelah referendum konstitusi April 2017. Plebisit secara efektif membagi masyarakat Turki menjadi setengahnya, karena paket amandemen disahkan dengan margin yang mendekati 52 persen suara.
Kemenangan ini memungkinkan Erdogan untuk lebih mengkonsolidasikan kekuasaan politik dan melaksanakan reformasi konstitusi. Kekuasaan yang dimaksud termasuk kemampuan untuk memilih menteri kabinet dari luar legislatif, mengesahkan undang-undang, menyatakan keadaan darurat secara sepihak dan menggelar pemilu luar biasa. Posisi perdana menteri juga akan dihapuskan.
Namun, oposisi Turki melihat perubahan ini seperti perebutan kekuasaan, yang secara efektif menghancurkan demokrasi parlementer negara yang sudah berusia satu abad.
Kemenangan Erdogan yang diusung AKP atau Partai Keadilan dan Pembangunan diumumkan Dewan Pemilihan Tinggi Turki (YSK) yang dilansir Reuters, Senin (25/6/2018). Kemenangan ini juga membuat Erdogan menjadi presiden pertama Turki di bawah sistem konstitusi yang baru, yakni sistem presidensial.
Pemilu presiden dan parlemen negara itu digelar Minggu kemarin. Untuk pemilu presiden, hingga saat ini (25/6/2018), sudah lebih dari 97,2 persen suara telah dihitung dan Erdogan meraih lebih dari 50 persen suara.
Sedangkan dalam pemilu parlemen, AKP meraih lebih dari 45 persen suara yang menjadikannya berada di urutan atas sebagai pemenang.
Menurut Ketua YSK, Partai Demokrat Rakyat (HDP) yang pro-Kurdi juga berhasil masuk ke parlemen setelah melewati ambang batas perolehan suara 10 persen. Jumlah pemilih dalam pemilu kali ini mencapai 87 persen.
Rival terkuat Erdogan, Muharrem Ince yang diusung Partai Rakyat Republik (CHP) meraih lebih dari 29 persen suara. CHP menempati posisi kedua dengan hampir 21 persen suara.
"Orang-orang Turki telah memilih Erdogan sebagai presiden pertama Turki/presiden eksekutif di bawah sistem baru," kata juru bicara pemerintah Turki Bekir Bozdag.
Saat menyampaikan pernyataannya, Erdogan mengatakan bahwa hasil sementara dari pemilu jelas menunjukkan kemenangannya, karena lebih dari 95 persen suara telah dihitung.
Dia menyerukan rakyat Turki untuk mengesampingkan ketegangan dari periode pemilu. Sedangkan kubu oposisi mengklaim bahwa ada kemungkinan digelar putaran kedua pemilu presiden.
Pemilu Turki kali ini adalah yang pertama sejak Turki beralih ke sistem pemerintahan presidensial setelah referendum konstitusi April 2017. Plebisit secara efektif membagi masyarakat Turki menjadi setengahnya, karena paket amandemen disahkan dengan margin yang mendekati 52 persen suara.
Kemenangan ini memungkinkan Erdogan untuk lebih mengkonsolidasikan kekuasaan politik dan melaksanakan reformasi konstitusi. Kekuasaan yang dimaksud termasuk kemampuan untuk memilih menteri kabinet dari luar legislatif, mengesahkan undang-undang, menyatakan keadaan darurat secara sepihak dan menggelar pemilu luar biasa. Posisi perdana menteri juga akan dihapuskan.
Namun, oposisi Turki melihat perubahan ini seperti perebutan kekuasaan, yang secara efektif menghancurkan demokrasi parlementer negara yang sudah berusia satu abad.
Pesaing terdekat Erdogan, Ince, bersumpah bahwa dia akan mengangkat keadaan darurat dalam 48 jam jika terpilih sebagai presiden dan mengembalikan semua reformasi konstitusional seperti semula.
Erdogan membantah pandangan Ince. Menurutnya, Turki sedang mengadakan revolusi demokratik.
"Dengan sistem presidensial, Turki dengan serius menaikkan standar, naik di atas tingkat peradaban kontemporer," katanya.
Perubahan drastis dalam sistem politik Turki terjadi setelah upaya kudeta yang gagal pada bulan Juli 2016. Erdogan menuduh mantan sekutu yang jadi musuh, ulama Fethullah Gulen yang tinggal di Amerika Serikat sebagai dalang dari kudeta. Namun, Gulen membantah tuduhan itu dan curiga bahwa upaya kudeta hanya rekayasa kubu Erdogan.
Credit sindonews.com