Rabu, 11 April 2018

Bunuh 10 Rohingya, Tujuh Tentara Myanmar Dihukum Bui 10 Tahun


Bunuh 10 Rohingya, Tujuh Tentara Myanmar Dihukum Bui 10 Tahun
Tujuh tentara Myanmar divonis hukuman penjara dan kerja paksa selama 10 tahun atas kasus pembantaian 10 pria Rohingya tahun lalu. (Handout via REUTERS)




Jakarta, CB -- Tujuh tentara Myanmar divonis hukuman penjara dengan kerja paksa selama 10 tahun atas kasus pembunuhan 10 pria Rohingya tahun lalu.

Insiden berdarah di Desa Inn Din pada 2 September adalah satu-satunya kekejaman terhadap Rohingya yang diakui militer selama penindasan di wilayah utara Negara Bagian Rakhine, yang meyebabkan 700 ribu Rohingya mengungsi di perbatasan di Bangladesh sejak Agustus tahun lalu.

Dua wartawan Reuters, berkewarganegaraan Myanmar, Wa Lone, 31 tahun, dan Kyaw Soe Oo, 27 tahun sedang menyelidik kasus pembunuhan tersebut saat ditangkap di pinggiran Yangon, Desember lalu. Keduanya ditangkap saat bertemu polisi yang memberikan mereka dokumen rahasia. Jika terbukti bersalah, mereka bakal dihukum 14 tahun penjara.


Sebulan setelah penahanan kedua wartawan, militer mengeluarkan pernyataan yang tak pernah terjadi sebelumnya, yakni mengakui bahwa bahwa beberapa anggotanya telah melakukan kesalahan dan berjanji untuk menindak mereka yang bertanggung jawab.

Meski begitu, militer Myanmar mengklaim bahwa pria Rohingya yang terbunuh adalah 'teroris', tapi tidak memberikan bukti atas tuduhan tersebut.


"Empat perwira telah dicopot (dari ketentaraan) dan divonis 10 tahun penjara dengan kerja paksa. Tiga tentara lagi dicopot dan divonis 10 tahun penjara dengan krja paksa di penjara kriminal," tulis Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing lewat akun resmi Facebook-nya.

Pengadilan berlangsung tertutup, mengabaikan seruan internasional agar kasus pembunuhan Rohingya itu diselidiki secara independen.

Kalangan internasional juga menyerukan agar dua wartawan Reuters dibebaskan. Laporan mereka, yang telah dipublikasikan, berdasarkan kesaksian penduduk desa yang beragama Buddha, aparat keamanan dan keluarga dari para pria Rohingyan yang dibunuh. Laporan itu menggambarkan bagaimana tentara Myanmar dan warga Buddha mengeksekusi kesepuluh pria Rohingya sebelum membuang mayat-mayatnya di kuburan massal.

Laporan itu dilengkapi dengan foto-foto para pria Rohingya yang menjadi korban pembunuhan di Desa Inn Dinn, Myanmar itu. Tangan mereka tampak terikat. Semuanya berlutut sebelum akhirnya ditembak. Ada pula foto berisi gambar mayat-mayat yang bergelimpangan di satu lubang.

Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi menyambut pengakuan militer itu sebagai sebuah langkah positif.


Militer memiliki catatan buruk pelanggaran hak-hak asasi manusia selama 50 tahun memerintah Myanmar.

Banyak yang berharap pemerintahan demokratis Suu Kyi bakal memupus kesewenang-wenangan militer, namun kekerasan terhadap Rohingya di Rakhine, memupus harapan itu.

Amnesty Internasional menyebut pembunuhan di Inn Din hanyalah 'puncak gunung es' dari kekejaman yang terjadi sejak Agustus. Kelompok aktivis HAM internasional itu berulang kali menyerukan penyelidikan yang lebih luas dan tidak berpihak.

Perserikatan Bangsa-bangsa menuding tentara Myanmar melakukan pembersihan etnis. PBB bahkan menyatakan ada tanda-tanda telah terjadi genosida setelah mendengarkan kesaksian para pengungsi soal pembunuhan, perkosaan dan pembakaran yang menimpa mereka.


Aktivis kemanusiaan Dokter Tanpa Batas (Medecins Sans Frontier/MSF) memperkirakan sedikitnya 6.700 etnis Rohingya tewas selama bulan pertama operasi militer, yang disebut-sebut untuk menumpas teroris.

Myanmar membantah segala tuduhan dan menyatakan operasi militer di Rakhine sebagai respons terhadap serangan milisi Rohingya ke pos-pos keamanan di sana. Myanmar juga menuduh media internasional serta lembaga bantuan kemanusiaan telah menyebarkan informasi palsu dari sumber bias yang pro-Rohingya.



Credit  cnnindonesia.com





PM Australia Bantah Kabar Pangkalan Militer China di Vanuatu


PM Australia Bantah Kabar Pangkalan Militer China di Vanuatu
Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull menyatakan Australia akan sangat prihatin jika ada pangkalan militer asing dibangun di Pasifik Selatan. (AFP Photo/Peter Parks)



Jakarta, CB -- Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull menyatakan Australia akan sangat prihatin jika ada pangkalan militer asing dibangun di Pasifik Selatan. Pernyataan itu disampaikan Turnbull menanggapi kabar bahwa Beijing sedang membahas pembangunan pangkalan militer di Vanuatu.

Meski begitu, Turnbull menyatakan dirinya diyakinkan oleh Komisaris Tinggi/Duta Besar Vanuatu bahwa tidak ada permintaan China untuk membangun pangkalan militer seperti dimaksud.

"Memelihara perdamaian dan stabilitas di Pasifik adalah hal yang terpenting bagi kami," kata dia kepada wartawan seperti dilansir CNN, Selasa (10/4).


Vanuatu, negara di pulau kecil berpenduduk 282.000 orang tersebut terletak di Pasifik Selatan, dekat Australia, Selandia Baru dan Papua Nugini. Letaknya hanya 2.500 kilometer dari pantai Australia.

Negeri itu telah lama menjadi penerima bantuan terbesar Australia. Namun dalam beberapa tahun terakhir, juga menerima ratusan juta dolar hibah maupun pinjaman dari pemerintah China.

Kabar soal rencana pembangunan pangkalan militer China di Vanuatu dilaporkan pertama kali oleh media Australia, Fairfax Media, Selasa. Kabar itu langsung dibatah oleh para pejabat Vanuatu dan Australia.

Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop juga turut berusaha meredam kabar itu dengan menyatakan bahwa Vanuatu masih berada dalam pengaruh Canberra.
"Saya tetap yakin bahwa Australia masih menjadi pilihan Vanuatu sebagai mitra strategis," kata Bishop kepada ABC Australia.

Namun stasiun televisi Australia, Nine News mengutip pejabat kementerian pertahanan mengklaim bahwa pemerintah China tertarik untuk meningkatkan kehadiran di Vanuatu.



Pemerintah Vanuatu telah membantah kabar itu dan menepis anggapan adanya pembicaraan kedua negara terkait pembangunan pangkalan militer China tersebut.

"Kami adalah negara non-blok. Kami tidak tertarik dengan militerisasi, kami tidak tertarik dengan pangkalan militer apapun di negara kami," kata Menteri Luar Negeri Vanuatu Ralph Regenvanu seperti dilansir ABC.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang menyatakan kabar rencana pembangunan pangkalan militer di Vanuatu itu sebagai 'berita palsu'.

Meresahkan Amerika Serikat
Jika benar, pembangunan pangkalan militer di Vanuatu juga bakal meresahkan Amerika Serikat. Euan Graham, Direktur Program Keamanan Internasional di Sydney Lowy Institute mengatakan bahwa mereka yang memandang ke seluruh Pasifik melihat titik geostrategis akan peduli jika benar China akan meningkatkan kehadiran di Pasifik Selatan.

Meski tidak melihat Vanuatu bakal menyepakati pembangunan pangkalan militer yang permanen, Graham berpendapat bahwa hal yang mungkin adalah pembangunan fasilitas yang dapat dipakai bersama, yang bisa memberikan akses bagi kapal-kapal Angkatan Laut China ke negeri itu.

China memiliki hubungan diplomatik dengan beberapa negara Pasifik, dan menjadi sponsor utama beragam proyek pembangunan dan bantuan di Vanuatu, Tonga, Papua Nugini dan Fiji.




Berdasarkan makalah Profesor Yu Chang Sen dari Pusat Studi Oseania, Universitas Sun Yat-sen, Guangzhou,China, antara tahun 2000 dan 2012, China menawarkan sekitar 30 proyek besar ke negara-negara Kepulauan Pasifik, termasuk pembangunan gedung-gedung dan infrastuktur rsmi pemerintah, seperti jalan raya, jembatan dan stasiun pembangkit listrik tenaga air.

Secara khusus di Vanuatu, China memberikan pinjaman dan hibah senilai US$243 juta sejak 200 hingga Juni 2016, berdasarkan data Lowy Institute Sydney. Meski jumlahnya besar, angka itu jauh di bawah yang diberikan Australia selama 10 tahun yakni US$400 juta.

Bantuan keuangan China di Vanuatu terutama pada sektor pembangunan infrastruktur utama. sEperti Luganville International Wharf di Pulau Espiritu Santo. Fasilitas dermaga yang dapat menampung dua kapal angkut ukuran menengah, atau satu kapal pesiar.


Dermaga yang dibangun oleh Shanghai Construction Group, digambarkan Duta Besar China untuk Vanuatu sebagai tonggak baru kerja sama kedua negara di bidang pembangunan infrastruktur.

Ambisi Militer China
Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing melebarkan pengaruh maritimnya di luar Asia Timur.

China secara resmi mendirikan pangkalan militer internasional pertamanya di Djibouti pada Juli tahun lalu, lokasi yang strategis di Tanduk Afrika. Hal ini diikuti beberapa bulan kemudian dengan akuisisi Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka yang kontroversial.

Malcolm Davis, pengamat senior di Australian Strategis Policy Institute, Sydney menggambarkan bahwa kesepakatan Hambantota, dimana Sri Lanka menyewakan pelabuhan itu selama 99 tahun kepada China untuk menebus hutang miliaran dolar kepada Beijing, sebagai bagian dari 'sebuah gambaran yang lebih besar'.

"Semakin banyak Anda berinvestasi dalam inisiatif Belt and Road, semakin banyak China memaksa negara Anda untuk menyelaraskan politik dalam hal kebijakan," kata Davis seperti dilansir CNN tahun lalu, mengacu pada strategi pembangunan internasional China, China One Belt One Road (OBOR).

"Jadi, Anda menjadi bergantung pada investasi dan kemurahan hati mereka, dan Anda cenderung tidak mengkritik mereka dan Anda lebih mungkin untuk mengakomodasi kepentingan mereka secara strategis."



Di bawah Presiden Xi Jinping, kepentingan-kepentingan strategis itu telah bergeser, dengan Angkatan Laut China khususnya telah menjalani transformasi yang signifikan, sejalan dengan kebangkitan China sebagai kekuatan global.

Adapun Angkatan Laut China, yang sebelumnya defensif dan terbatas di perairannya, kini menyatakan telah memiliki kemampuan perairan biru, artinya mereka dapat beroperasi di mana saja demi kepentingan China.




Credit  cnnindonesia.com




Waswas Digempur AS, Pasukan Suriah Siaga Tinggi


Waswas Digempur AS, Pasukan Suriah Siaga Tinggi
Pesawat-pesawat jet tempur Rusia yang beroperasi di pangkalan udara Khmeimim, Suriah. Foto/REUTERS/Russian Ministry of Defence


DAMASKUS - Pemerintah Suriah telah menempatkan pasukannya dalam kondisi siaga tinggi di tengah ancaman serangan militer Amerika Serikat (AS). Washington mengancam akan menggempur rezim Suriah atas tuduhan melakukan serangan senjata kimia di Douma pada Sabtu pekan lalu.

Kantor berita pro-pemerintah Presiden Bashar al-Assad, Al Masdar, melaporkan bahwa armada Laut Hitam Angkatan Laut Rusia juga telah ditempatkan pada siaga tinggi setelah kapal perang AS dilaporkan meninggalkan Siprus menuju perairan Suriah.

Sedangkan kantor berita Jerman, DPA, melaporkan pada hari Selasa bahwa tentara Suriah telah menempatkan semua posisi militer dalam kondisi siaga, termasuk di bandara dan semua pangkalan militer, selama 72 jam.


Status siaga tinggi juga diberlakukan bagi pasukan rezim Suriah di provinsi selatan Sweida, Provinsi Aleppo, Latakia dan Provinsi Deir Ez-Zor.

Sejauh ini belum ada tanggapan resmi dari Rusia tentang status siaga pasukan dari sekutunya itu.

Vladimir Shamanov, mantan panglima tertinggi Pasukan Angkatan Udara Rusia, bersumpah bahwa Moskow akan mengambil semua langkah pembalasan politik, diplomatik dan militer jika AS nekat melakukan serangan di Suriah.

"Politik standar ganda telah mencapai titik terendah. Dan di sini, Rusia secara sadar menyatakan bahwa semua langkah politik, diplomatik dan militer jika perlu akan diambil," kata Shamanov dalam rapat pleno Duma Negara, seperti dikutip Al Jazeera, Rabu (11/4/2018).

Kementerian Luar Negeri Rusia juga membuat peringatan terhadap AS soal konsekuensi bahaya yang akan dirasakan jika melakukan intervensi militer dengan dalih yang dibuat-buat.


Seperti diberitakan sebelumnya, AS sedang mengerahkan kapal induk USS Harry S. Truman lengkap dengan tujuh kapal perang untuk sebuah misi ke Timur Tengah dan Eropa. Armada kapal induk tersebut mulai bergerak ke perairan Timur Tengah hari Rabu (11/4/2018).

Pengerahan kapal induk itu diumumkan Angkatan Laut AS. Langkah militer Washington ini hanya berselang sehari setelah Presiden Donald Trump mengancam akan bertindak terhadap rezim Suriah termasuk dengan opsi militer.

Kapal induk USS Harry S Truman dengan tujuh kapal perang membawa sekitar 6.500 pelaut. Mengutip laporan Military.com, armada kapal induk tersebut melakukan pelayaran bersama kapal frigat Jerman, FGS Hessen. 







Credit  sindonews.com





Resolusi Rusia untuk Kirim OPCW ke Suriah Ditolak DK PBB


Resolusi Rusia untuk Kirim OPCW ke Suriah Ditolak DK PBB
Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia di forum DK PBB. Foto/REUTERS/Brendan McDermid


NEW YORK - Rancangan resolusi Rusia untuk mendukung misi penyelidikan Organisasi Larangan Senjata Kimia (OPCW) ke Suriah ditolak Dewan Keamanan (DK) PBB. Moskow telah mengusulkan organisasi itu menyelidiki area di Douma yang diduga jadi lokasi serangan senjata kimia pada Sabtu pekan lalu.

Moskow mengajukan rancangan resolusi itu karena merasa sekutunya, rezim Suriah, disudutkan. Negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS) menyalahkan rezim Presiden Bashar al-Assad sebagai pelaku serangan kimia di Douma yang dilaporkan menewaskan puluhan orang.

Rezim Assad membantah melakukan serangan. Damaskus dan Moskow menyatakan serangan itu dibuat LSM White Helmets dan kelompok Jaish al-Islam yang didukung Barat untuk memfitnah Assad. Tujuannya, agar negara-negara Barat menyerang Damaskus.

Dalam pemungutan suara, mayoritas negara anggota DK PBB memilih menentang rancangan resolusi Rusia.

"Rancangan resolusi belum diadopsi, setelah gagal mendapatkan jumlah suara yang diperlukan," kata Presiden DK PBB Gustavo Meza-Cuadra, seperti dikutip Reuters, Rabu (11/4/2018).

Rusia, China, Bolivia, Kazakhstan dan Ethiopia mendukung resolusi tersebut. Sedangkan, Prancis, Amerika Serikat, Inggris dan Polandia menentangnya. Sebanyak 15 negara lain anggota DK PBB memilih abstain.

Sebelumnya pada hari Selasa, dua rancangan resolusi yang diajukan untuk merekonstruksi mekanisme DK PBB guna menyelidiki dugaan penyebaran senjata kimia juga gagal diadopsi atau ditolak DK PBB. AS menyusun salah satu resolusi, sementara Rusia menyusun yang resolusi lain.

Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia telah meyakinkan forum bahwa pasukan Moskow akan menjamin keselamatan para ahli OPCW untuk melakukan penyelidikan di Douma, Suriah. Namun, upaya Moskow belum membuahkan hasil.

Duta Besar AS untuk PBB yang jauh hari menyerukan serangan militer terhadap rezim Suriah mengatakan para diplomat di Markas Besar PBB di New York merasa frustrasi dengan apa yang terjadi di Suriah.

Namun, Dubes Nebenzia mendesak Amerika Serikat untuk menahan diri. "Ancaman yang Anda ajukan ... vis-a-vis Suriah seharusnya membuat kita benar-benar khawatir, kita semua, karena kita bisa menemukan diri kita di ambang beberapa peristiwa yang sangat menyedihkan dan serius," katanya kepada Haley.

"Sekali lagi saya akan meminta Anda, sekali lagi memohon Anda, untuk menahan diri dari rencana yang sedang Anda kembangkan untuk Suriah," imbuh diplomat Moskow ini  setelah pemungutan suara. 




Credit  sindonews.com





Petinggi Militer Rusia dan Nato Sepakat Bertemu Bahas Suriah



Militer Israel merilis foto udara markas T-4 pangkalan udara Suriah pasca penyerangan Februari 2018. IDF Spokesperson's Unit
Militer Israel merilis foto udara markas T-4 pangkalan udara Suriah pasca penyerangan Februari 2018. IDF Spokesperson's Unit

CB, Jakarta - Pejabat tinggi Rusia dan NATO merencanakan pertemuan bersejarah pada pekan depan di tengah meningkatnya ketegangan konflik Suriah. Pertemuan itu  menjadi yang pertama sejak 2013 antara kedua belah pihak, yang kerap bersitegang akhir-akhir ini.
Rusia akan diwakili Kepala Staf Umum, Deputi Pertama Menteri Pertahanan, Valery Gerasimov. Sementara NATO mengutus Komandan Sekutu Tertinggi di Eropa, Curtis Scaparrotti. Pertemuan itu akan menjadi yang pertama sejak NATO memutus kontak militer tingkat tinggi dengan Rusia menyusul aneksasi Crimea oleh Rusia dari Ukraina pada Maret 2014.

Ads by Kiosked
"Pertemuan itu dilakukan setelah Gerasimov dan Scaparrotti berbicara untuk pertama kalinya melalui telepon pada 14 September tahun lalu," begitu dilansir media Russia Today, Selasa, 10 April 2018.

Anak-anak menerima perawatan medis setelah pasukan rezim Assad diduga melakukan serangan gas beracun ke kota Duma, Ghouta Timur, Damaskus, Suriah, 7 April 2018. Media pemerintah Suriah membantah jika militer telah meluncurkan serangan kimia. Fadi Abdullah/Anadolu
Pembicaraan itu berlanjut pada 21 Maret 2018, dimana keduanya akhirnya sepakat untuk bertemu lagi pada paruh kedua bulan April.

Seperti dilansir Reuters, ketegangan meningkat dalam beberapa pekan terakhir di Suriah terkait peningkatan eskalasi serangan di Ghouta Timur. Dan yang terbaru adalah dugaan serangan senjata kimia di Kota Douma, markas pemberontak Suriah di Ghouta Timur, oleh pasukan Suriah.
Barat menuding Presiden Suriah Bashar Al Assad atas serangan itu, meskipun kurang bukti untuk mendukung klaim itu. Damaskus membantah menggunakan senjata kimia.

Presiden Suriah, Bashar al-Assad, bertemu dengan tentara Suriah saat mengunjungi Ghouta, Suriah, 18 Maret 2018. SANA/Handout via REUTERS
Seperti dilansir Rusia Today pada 10 April 2018, sejauh ini, belum ada informasi tentang di mana pertemuan itu bakal berlangsung.
Di luar konflik di Suriah, hubungan Rusia-NATO baru-baru ini mencapai titik terendah setelah pada 27 Maret, Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg, mengumumkan pengusiran 7 staf Rusia yang merupakan bagian dari misi Moskow di aliansi militer Barat itu.
Langkah itu diambil sebagai tanggapan atas insiden racun terhadap bekas mata-mata Rusia, Sergei Skripal, dan putrinya Yulia di Inggris. PM Inggris Theres May menuding Rusia sebagai pelaku serangan. Presiden Rusia, Vladimir Putin membantah tudingan ini dan meminta bukti dan akses untuk penyelidikan soal ini. Konflik di Suriah membuat Rusia dan Barat kembali bersetegang.





Credit  TEMPO.CO






Serangan Senjata Kimia, Amerika dan Rusia Saling Tuding



Nikki Haley. huffpost.com
Nikki Haley. huffpost.com

CB, Jakarta - Amerika Serikat akan tidak akan tinggal diam atas serangan senjata kimia terhadap warga sipil Suriah. Amerika Serikat mengancam akan ada harga mahal yang harus dibayar atas serangan tersebut.
Dalam pertemuan khusus Dewan Keamanan PBB untuk membahas serangan senjata kimia di Douma, Suriah, Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Nikki Haley mengatakan Rusia harus membayar atas tindakan mereka di Suriah.Dia pun menyayangkan penggunaan senjata kimia yang lagi-lagi digunakan untuk menyerang rakyat Suriah.
Serangan senjata kimia di Douma, Suriah pada 8 April 2018, telah menewaskan 49 orang dan puluhan orang luka-luka. Douma adalah wilayah yang dikuasai oleh kelompok-kelompok pemberontak di Suriah.
“Monster yang harus bertanggung jawab atas serangan-serangan ini tidak memiliki hati nurani yang bisa terkejut oleh foto-foto kematian anak-anak Suriah. Rezim Rusia yang telah mengotori tangan mereka dengan darah anak-anak Suriah tidak bisa dipermalukan dengan gambar korban-korban,” kata Haley, dikutip dari CNN.com pada Selasa, 10 April 2018.  


Dubes As untuk PBB, Nikki Haley. REUTERS/Brendan McDermid

Menjawab serangan Haley itu, Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, balas menuding. Dia mengatakan Amerika Serikat berencana melawan Moskow dan Suriah, mengancam keamanan internasional, memicu ketegangan global dan melakukan hal-hal di luar hukum internasional.
Nebenzia mengatakan serangan dengan zat sarin dan chlorine sampai sekarang belum terkonfirmasi, untuk itu Amerika serikat bersama Inggris dan Prancis bertindak tanpa justifikasi dan tanpa mempertimbangkan konsekuensi atas kebijakan konfrontatif mereka terhadap Rusia dan Suriah.



Credit  TEMPO.CO




Dihukum AS, 50 Miliarder Rusia Rugi Rp 165 Triliun dalam 3 Hari


Ilustrasi bursa efek Amerika dan nilai mata uang dollar Amerika. Getty Images
Ilustrasi bursa efek Amerika dan nilai mata uang dollar Amerika. Getty Images

CB, Jakarta - Sebanyak 50 miliarder Rusia alami kerugian hampir US $ 12 miliar atau Rp 165 triliun dalam 3 hari setelah Amerika Serikat, AS, merilis sanksi baru terhadap Rusia.
Sanksi AS  itu sebagai jawaban atas campur tangan Moskow pada pemilihan presiden AS 2016. Sanksi ini dinilai sebagai  tindakan paling agresif Washington untuk menghukum Moskow atas berbagai tuduhan.

Ads by Kiosked
Kementerian Keuangan AS pada Jumat pekan lalu mengeluarkan sanksi baru terhadap  24 individu dan 14 entitas terhadap warga Rusia yang terkait dengan Kremlin.
Warga Rusia yang paling parah terdampak sanksi itu adalah taipan logam Vladimir Potanto. Menurut Moscow Times yang mengutip laporan Forbes menyebutkan, Potanto mengalami kerugian mencapai US $ 1,5 miliar. Menyusul  taipan baja Oleg Deripaska yang memiliki saham di delapan dari 15 entitas yang terkena sanksi. Dia kehilangan US $ 1,3 miliar dari nilai kekayaannya yang diperkirakan mencapai US $ 6,7 miliar.

Anggota Federasi Rusia, Suleiman Kerimov, masuk 3 besar yang terkena sanksi dengan kerugian sekitar $ 1,2 miliar. Pengusaha terkaya nomor 9 di Rusia, Viktor Vekselberg, juga dalam daftar sanksi AS, rugi kurang dari $ 1 miliar.
Menanggapi laporan kerugian itu, Kremlin  mengatakan pihaknya ingin mendukung perusahaan-perusahaan Rusia yang terkena sanksi.
"Kami sangat peduli dengan perusahaan-perusahaan terkemuka kami. Dalam situasi saat ini, karena posisi mereka menjadi lebih sulit, kami akan menawarkan dukungan ini kepada mereka," kata Wakil perdana menteri Rusia, Arkady Dvorkovich



Credit  TEMPO.CO







TKI Parinah yang Hilang 18 Tahun di Inggris Akhirnya Pulang


Tenaga kerja wanita Parinah berdiri di depan kantor Kedubes RI di London, Inggris, Jumat, 6 April 2018. Twitter KBRI London
Tenaga kerja wanita Parinah berdiri di depan kantor Kedubes RI di London, Inggris, Jumat, 6 April 2018. Twitter KBRI London

CB, Jakarta - Setelah 18 tahun hilang kontak, TKI asal Banyumas, Parinah, 49 tahun, akhirnya menginjakkan kakinya di Indonesia. Gulfan Afero, pejabat Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI London kepada Tempo pada Selasa 10 April 2018, mengkonfirmasi kepulangan Parinah ke tanah air.
Parinah akan terbang ke Indonesia pada Selasa, 10 April 2018 waktu Inggris dari Bandara Hearhrow menggunakan maskapai Garuda Indonesia. Diperkirakan dia akan tiba di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta pada Rabu malam, 11 April 2018.


Parinah, TKI asal Banyumas sedang melakukan proses pendataaan di kantor KBRI London, setelah dijemput dari kantor polisi. Sumber : KBRI

Sementara itu, Gulfan menjelaskan kondisi kesehatan Parinah dalam keadaan baik. Parinah dibebaskan pada 5 April 2018, dari rumah majikannya. Saat ini total sudah 4 orang ditahan, yakni majikan Parinah, istri majikannya dan dua orang anaknya. Mereka ditahan atas tuduhan perbudakan modern dengan ancaman hukuman maksimum, yaitu penjara seumur hidup.
“Majikan Parinah dan keluarga majikannya sudah ditahan di Kepolisian Kota Brighton, Sussex,” kata Gulfan.
Majikan Parinah adalah seorang dokter yang sebelumnya merupakan warga negara Mesir, namun kini sudah menjadi warga negara Inggris. Identitas majikan Parinah sampai Selasa, 10 April 2018, belum dipublikasi ke publik.
Parinah bekerja pada majikan yang sama saat dia bekerja di Arab Saudi sebagai asisten rumah tangga. Pada 2001 saat majikannya pindah ke Inggris, Parinah pun mengikuti majikannya pindah. Sayang, sejak tinggal di Inggris, komunikasi Parinah dengan keluarga terputus.
Parinah tidak mengalami kekerasan fisik, namun jam kerjanya tidak jelas dan sering 'dipinjamkan' tenaganya pada anggota keluarga yang lain. Selama 18 tahun bekerja sebagai TKI di Inggris, Parinah tidak pernah diperbolehkan pulang kampung dan tidak boleh berkomunikasi dengan keluarganya. Gajinya pun tidak dibayarkan.



Credit  TEMPO.CO



Parinah, TKI di Inggris Dieksploitasi dan Ditipu Majikan


Tenaga kerja wanita Parinah berdiri di depan kantor Kedubes RI di London, Inggris, Jumat, 6 April 2018. Twitter KBRI London
Tenaga kerja wanita Parinah berdiri di depan kantor Kedubes RI di London, Inggris, Jumat, 6 April 2018. Twitter KBRI London

CB, Jakarta - Nasib Parinah, TKI, berubah 180 derajat saat memutuskan mengikuti majikannya di Arab Saudi untuk pindah ke Inggris. Majikan Parinah adalah seorang dokter warga negara Mesir, yang sudah menjadi warga negara Inggris.
“Iya, Parinah bekerja dengan majikan yang sama pada saat dia bekerja di Arab Saudi,” kata Gulfan Afero, pejabat Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI London kepada Tempo, Senin, 9 April 2018.


Parinah, TKI asal Banyumas sedang menjalani BAP dengan otoritas berwenang Inggris. Parinah ditahan oleh majikannya di Inggris selama 18 tahun dan tak pernah di gaji. Sumber : KBRI London, 9 April 2018

Gulfan menceritakan selama bekerja 18 tahun di Inggris dengan majikan, yang identitasnya belum dipublikasi ini, Parinah tidak mendapat kekerasan fisik. Hanya saja, sebagai asisten rumah tangga Parinah bekerja dengan jam kerja yang tidak jelas. Bukan hanya itu, Parinah pun sering ‘dipinjamkan’ kepada anggota keluarga majikannya yang lainnya.
Pengakuan Parinah kepada KBRI London, majikannya baik. Namun yang menjadi masalah, setiap kali Parinah ingin minta pulang selalu dialihkan perhatiannya dan dibelikan hadiah-hadiah kecil.
Hal sama juga terjadi setiap kali Parinah meminta uang gajinya. Dia selalu diiming-imingi bahwa gajinya disimpan di bank dan jika sudah banyak, dia bisa membawa pulang uang banyak. Akan tetapi, Perinah mengaku tidak pernah melihat buku tabungan dan tidak pernah mengetahui berapa jumlah uangnya.
Selama 18 tahun bekerja dengan majikan yang sama di Inggris, Parinah hanya sekali menerima gaji untuk dikirimkan ke keluarga yaitu sebesar 1000 pounds. Gaji itu diberikan pada awal dia bekerja di Inggris dan setelah itu, dia tidak pernah lagi menerima gaji sampai dibebaskan oleh aparat kepolisian setempat pada Maret 2018.
Parinah saat ini berada di KBRI London. Proses hukum terhadap majikannya sudah ditangani otoritas berwenang Inggris. Rencananya TKI asal Banyumas itu akan terbang ke Indonesia pada Selasa, 10 April 2018 waktu Inggris dengan Garuda Indonesia dan diperkirakan akan tiba di Jakarta pada Rabu malam, 11 April 2018. 




Credit  TEMPO.CO




Arab Saudi-Prancis Kembangkan Proyek Al-Ula



Arab Saudi-Prancis Kembangkan Proyek Al-Ula
Arab Saudi-Prancis Kembangkan Proyek Al-Ula. (Reuters).


PARIS - Arab Saudi dan Prancis segera menyepakati pembangunan awal proyek pariwisata Al-Ula yang menampilkan sejarah Saudi. Kesepakatan itu bagian dari upaya Saudi mengembangkan industri baru untuk mengalihkan ketergantungan pada ekspor minyak. Kesepakatan itu akan ditandatangani pada Selasa (10/4) saat kunjungan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman ke Prancis.

Meski Pangeran Mohammed tidak akan menandatangani kontrak besar selama lawatan tiga hari, proyek Al-Ula bertujuan memberi peluang Prancis menggunakan kepakarannya di bidang pariwisata untuk membangun basis di proyek yang akan bernilai miliaran dolar untuk dikembangkan.

Al-Ula merupakan kawasan seukuran Belgia, terbentang sekitar 22.500 km persegi, sekitar 1.000 km barat ibu kota Riyadh. Kawasan itu dikenal untuk situs bersejarah seperti Mada’in Saleh, kota Nabatean berumur 2.000 tahun. Kota itu diukir di bebatuan di gurun utara. Di lokasi itu para arkeolog Prancis telah melakukan penggalian untuk penelitian selama lebih 15 tahun.

Wilayah itu juga mmeiliki kamp-kamp Roma, ukiran batu, situs warisan Islam dan sisa awal abad 20 jalan raya Hijaz Ottoman yang terbentang dari Damaskus ke Medinah. “Al-Ula berdiri sebagai kanvas udara terbuka dan ini tergantung pada kita untuk menggambar sesuatu menggunakan kepakaran Prancis,” papar Amr al-Madani, chief executive officer (CEO) Komisi Kerajaan untuk Al-Ula, pada para jurnalis di Paris, kemarin, dikutip kantor berita Reuters.

Kontrak antarpemerintah yang diperbarui kembali dalam 10 tahun itu meliputi pembentukan badan yang dikelola Prancis dan didanai Arab Saudi yang akan bekerja untuk penggalian arkeologi, pengembangan konsep museum dan rencana pembangunan sejumlah infrastruktur dan hotel.

Prancis telah memiliki kesepakatan lebih kecil dengan Abu Dhabi yang membuat Uni Emirat Arab (UEA) membayar museum Louvre sebesar 1 miliar euro untuk menggunakan brand mereka selama 30 tahun.

Madani menolak memberikan rincian keuangan dalam proyek tersebut meski demikian, berbagai tujuannya untuk menarik sekitar 1,5 juta hingga 2,5 juta turis per tahun. Rencana Saudi untuk menarik lebih banyak turis dari luar negeri telah dibahas selama beberapa tahun tapi dihalangi oleh pendapat yang konservatif dan birokrasi yang lama.

Saat ini, pemerintah Saudi tempaknya berupaya mendorong perubahan, terutama karena tekanan keuangan akibat turunnya harga minyak global. Saudi berharap dapat menghasilkan miliaran dolar untuk menutupi defisit anggaran negara akibat jatuhnya harga minyak.

Reformasi ekonomi itu bertujuan meningkatkan belanja pariwisata di Saudi, baik oleh warga lokal atau warga asing menjadi USD46,6 miliar pada 2020 dari USD27,9 miliar pada 2015. “Misi yang saya berikan ialah memastikan pengetahuan terbarik Prancis digunakan dalam proyek ini,” ujar Gerard Mestrallet, mantan CEO perusahaan energi Engie yang ditunjuk Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk mendorong proyek itu.

Sementara itu, Pangeran Mohammed membatalkan rancana kunjungan ke kampus untuk startup teknologi di Paris. Kunjungan itu seharusnya dapat menegaskan hubungan teknologi antara Prancis dan Saudi yang semakin kuat.

Kunjungan Pangeran Mohammed ke Prancis itu dilakukan saat hubungan antara kedua negara semakin rumit, termasuk tentang cara mengatasi peran regional Iran. “Telah diputuskan untuk tetap mengerjakan sejumlah proyek entrepreneurship Prancis-Saudi sebelum kunjungan tingkat tinggi,” papar sumber pemerintah Prancis.

Pangeran Mohammed, 32, dan Presiden Macron telah menggambarkan diri mereka sebagai tokoh muda dengan pesan modernisasi yang dengan kuat ditangkap oleh para pemuda Saudi dan Prancis.

Pembatalan kunjungan Pangeran Mohammed ke Stasion F tampaknya membuat kecewa Macron, terutama setelah putra mahkota mengunjungi Silicon Valley di Amerika Serikat (AS) pekan lalu. Station F merupakan inkubator startup terbesar Eropa yang didirikan miliarder Xavier Neil. 


Station F dipimpin oleh warga keturunan Iran-Amerika Roxanne Varza yang sebelumnya bekerja di TechCrunch France dan Microsoft Ventures. Pangeran bertemu menteri luar negeri dan menteri pertahanan Prancis serta menghadiri acara di Institute of the Arab World pada malam kemarin.



Credit  sindonews.com


Iran Sebut Saudi Tolak Proposal Teheran untuk Hentikan Perang Yaman



Iran Sebut Saudi Tolak Proposal Teheran untuk Hentikan Perang Yaman
Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif menyatakan, Arab Suadi telah menolak proposal yang dia sampaikan mengenai penghentian konflik di Yaman. Foto/Istimewa


TEHERAN - Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif menyatakan, Arab Suadi telah menolak proposal yang dia sampaikan mengenai penghentian konflik di Yaman. Zarif menyebut proposal itu dia sampaikan pada tahun 2013 lalu, tidak lama setelah perang di Yaman pecah.

“Pada awal krisis di Yaman pada tahun 2013, saya menulis surat kepada mantan Menteri Luar Negeri Saudi Saud Al Faysal dengan tujuan mengakhiri krisis dengan bantuan Iran dan Arab Saudi," kata Zarif dalam sebuah pernyataan.

"Namun mereka menolak, dan mengatakan bahwa urusan dunia Arab tidak menyangkut Teheran," sambungnya, seperti dilansir Sputnik pada Selasa (10/4).

Dia mengatakan bahwa negosiasi dan dialog antara faksi-faksi yang bertikai di Yaman memegang kunci untuk solusi jangka panjang terhadap krisis dan bahwa. "Teheran siap membantu mewujudkan hal ini," ungkapnya.

Menurut Kementerian Hak Asasi Manusia Yaman, sekitar 600 ribu warga sipil telah tewas atau terluka sejak dimulainya operasi militer yang dipimpin Saudi pada Maret 2015 untuk menghancurkan pemberontakan Houthi.

Houthi sendiri saat ini semakin tertekan di Yaman, dengan semakin banyaknya wilayah yang dikuasai oleh tentara Yaman. Pemberontak Yaman itu kemudia mulai mengubah strategi, yakni dengan melakukan serangan langsung ke Saudi, dimana dalam sebulan terakhir Houthi sudah beberapa kali menembakan rudal balistik ke wilayah Saudi. 





Credit  sindonews.com




Selain Ancam Qatar Jadi Pulau, Kanal Saudi Juga untuk Limbah Nuklir


Selain Ancam Qatar Jadi Pulau, Kanal Saudi Juga untuk Limbah Nuklir
Desain proyek kanal Salwa yang akan dibangun Arab Saudi di perbatasan Qatar. Foto/Al Arabiya


RIYADH - Pemerintah Riyadh sedang merencanakan membangun kanal Salwa di perbatasan Arab Saudi dan Qatar. Kanal itu tak hanya mengancam wilayah Qatar menjadi pulau tapi juga akan difungsikan sebagai tempat pembuangan limbah nuklir.

Negara yang dipimpin Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud ini bahkan berencana membangun pangkalan militer di zona kanal Salwa. Rencana dari proyek senilai 2,8 miliar riyal Saudi ini diulas surat kabar Al Riyadh.

Sebelumnya, surat kabar online Sabq merinci rencana pembangunan kanal Salwa yang panjangnya akan mencapai 60 kilometer (37,5 mil), lebar 200 meter dan kedalaman hingga 20 meter.

Jika terealisasi, kanal ini akan berdiri di panjang wilayah perbatasan Saudi dengan Qatar. Artinya, negara kecil yang kaya di Teluk itu praktis terisolasi oleh kanal Salwa.

Menurut laporan Al Riyadh dengan sumber yang mengetahui tentang rencana proyek kanal Salwa, sebagian dari zona kanal akan difungsikan untuk pangkalan militer dan fasilitas untuk pembuangan limbah nuklir dari reaktor nuklir yang sedang direncanakan dibangun oleh Amerika Serikat (AS).

Pusat Komunikasi Internasional Pemerintah Saudi tidak segera menanggapi permintaan untuk berkomentar. Uni Emirat Arab (UEA) yang jadi sekutu Riyadh justru muncul untuk mengonfirmasi proyek kanal tersebut. Menteri Negara untuk Urusan Luar Negeri UEA Anwar Gargash melalui Twitter menulis; "Keheningan Qatar pada proyek kanal adalah bukti ketakutan dan kebingungan mereka."


Pembangunan kanal Salwa akan memperdalam keretakan hubungan antara Qatar dan kuartet Arab, yakni Arab Saudi, UEA, Bahrain dan Mesir. Empat negara itu telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Doha sejak Juni tahun lalu atas tuduhan Qatar mendukung terorisme, yang telah berulang kali dibantah oleh Doha.

Proyek kanal ini sedang sedang menunggu perizinan. Pembangunannya diperkirakan akan selesai dalam waktu 12 bulan. Al Riyadh melaporkan bahwa pos perbatasan Saudi-Qatar telah dibersihkan oleh petugas bea cukai dan imigrasi, sehingga penjaga perbatasan dapat mengambil alih pengelolaan wilayah tersebut.

Proyek ini akan dibiayai oleh investor swasta Saudi dan Emirat. Sedangkan perusahaan Mesir akan menjadi penggali kanal.

Secara terpisah, pihak berwenang Emirat juga berencana untuk membangun pembuangan limbah nuklir di titik perbatasan Qatar dan Uni Emirat Arab.

"(Kanal) akan memutus semua perbatasan darat, dan itu akan menjadi wilayah Saudi secara murni untuk panjang 1 km dari perbatasan resmi dengan negara Qatar. Ini akan membuat wilayah terestrial yang berdekatan dengan Qatar menjadi zona militer untuk perlindungan dan pemantauan," tulis Saudi Gazette, dalam laporannya, yang dikutip Selasa (10/4/2018). 





Credit  sindonews.com






Hamas: Demonstrasi Berakhir saat Yerusalem Kembali ke Pelukan Palestina


Hamas: Demonstrasi Berakhir saat Yerusalem Kembali ke Pelukan Palestina
Hamas menegaskan, aksi demonstrasi yang sedang berlangsung di Jalur Gaza akan terus berlanjut sampai akhirnya masyarakat Palestina dapat mendiami tanah mereka. Foto/Reuters


GAZA - Hamas menegaskan, aksi demonstrasi yang sedang berlangsung di Jalur Gaza akan terus berlanjut sampai akhirnya masyarakat Palestina dapat mendiami tanah mereka, termasuk di dalamnya Yerusalem.

"Palestina dan Yerusalem milik kami. Kami akan menghancurkan dinding blokade, menghapus entitas pendudukan dan kembali ke seluruh Palestina," kata pemimpin Hamas, Ismael Haniyeh dalam sebuah pernyataan.

Haniyeh dalam pernyataanya kemudian menyerukan kepada seluruh demonstran untuk melakukan aksi protes tersebut secara damai. Dia juga menyebut bahwa aksi ini kembali menyedot perhatian dunia akan isu Palestina.

"Rakyat kami berhak untuk bermimpi, dan hak untuk kembali akan terpenuhi. Kami akan kembali ke Yerusalem dan desa-desa kami. Semua orang kami akan kembali ke tanah yang diberkati ini," ungkapnya.

Demonstrasi di perbatasan Gaza dan Israel berlangsung sejak akhir Maret lalu. Aksi demonstrasi yang beberapa kali berujung bentrokan itu telah menewaskan setidaknya 30 orang demonstran. Mereka yang tewas dikarenakan ditembak oleh para penempak jitu Israel yang ditempatkan di perbatasan.

Serangan langsung Israel terhadap demonstran Palestina ini mendapat kecaman secara luas dari dunia internasional, khususnya dari negara-negara Islam. Turki, Mesir, Indonesia, adalah beberapa negara yang mengecam keras tindakan Israel tersebut. 




Credit  sindonews.com





China ajukan pembangunan pangkalan militer di Pasifik selatan


China ajukan pembangunan pangkalan militer di Pasifik selatan
Profil tentara Angkatan Bersenjata Pembebasan Rakyat China (PLA) berjaga di depan potret mendiang Pemimpin China Mao Zedong di Tiananmen, Beijing, China, MInggu (4/3/2018). (REUTERS/Damir Sagolj)

... pemerintah Vanuatu mengatakan bahwa tidak ada proposal itu, tapi adalah fakta bahwa China memang sedang gencar-gencarnya melakukan kegiatan investasi infrastruktur di seluruh dunia...



Sydney (CB) - Pemerintah China telah melakukan pendekatan kepada pemerintah Vanuatu untuk membangun pangkalan militer secara permanen di negara kecil di kawasan Pasifik itu, demikian dilaporkan media Australia Fairfax Media, Selasa.

Rencana China itu dikhawatirkan akan meningkatkan ketegangan di kawasan Pasifik.

Fairfax Media yang mengutip sumber anonim, mengatakan bahwa pengajuan secara resmi memang belum disampaikan, tapi pembicaraan awal sudah dilakukan mengenai rencana membangun pangkalan militer di Vanuatu.

Rencana China untuk membangun pangkalan yang berdekatan dengan Australia itu menjadi pembicaraan pada pejabat tingkat tinggi di Canberra dan Washington.

Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, Selasa, mengatakan, ia telah diberi tahu pejabat Vanuatu bahwa belum ada proposal secara resmi yang disampaikan Beijing.

"Adapun pemerintah Vanuatu mengatakan bahwa tidak ada proposal itu, tapi adalah fakta bahwa China memang sedang gencar-gencarnya melakukan kegiatan investasi infrastruktur di seluruh dunia," kata Bishop seperti yang dikutip radio Australia Broadcasting Corporation (ABC).

"Saya tetap berkeyakinan bahwa Australia adalah pilihan partner yang strategis bagi Vanuatu," katanya.

Juru bicara Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai, tidak bisa segera dihubungi untuk diminta komentar melalui surat elektronik yang dikirim kepadanya, sementara panggilan telpon kepada Komisi Tinggi Vanuatu di Canberra tidak dijawab, demikian juga dengan Kedutaan China di Canberra.

Menurut laporan Fairfax Media, pembicaraan awal hanya berupa persetujuan untuk pemberian akses bagi kapal angkatan laut China yang akan naik dok untuk diperbaiki, mengisi bahan bakar dan menambah persediaan.

Kemudian pembicaraan pun berkembang kepada rencana untuk membangun pangkalan militer China secara penuh di Vanuatu.

Rencana tersebut akan menjadi pertanda bagi ekspansi militer China diluar kawasan Asia yang kontroversi, terutama di Laut China Selatan, dimana mereka sudah membangun pangkalan militer di pulau buatan.

Beberapa negara menuduh China berusaha untuk membeli pengaruh melalui bantuan internasional di kawasan Pasifik Selatan, menimbulkan kekhatiran bahwa secara perlahan akan membuat pengaruh Australia makin lama makin terkikis.

Pemerintah China membangun pangkalan militer pertama di luar negeri pada Agustus 2017 di Djibouti, Afrika. Itulah pangkapan pertama Angkatan Laut China di luar negeri, tetapi Beijing beralasan pangkalan itu sebagai fasilitas logistik.

Posisi Djibouti yang berada di sisi Samudera India menimbulkan kekhawatiran India karena pangkalan tersebut bisa menjadi "rangkaian mutiara" aliansi militer dan aset yang mengelilingi India, Bangladesh, Myanmar dan Sri Lanka.

China telah meningkatkan kekuatan angkatan laut mereka dalam beberapa tahun terakhir ini untuk mengimbangi dominasi AS serta memainkan peranan lebih besar di seluruh dunia.





Credit  antaranews.com





Dukung Hubungan Korut-AS, Rusia Kirim Menlu ke Pyongyang


Dukung Hubungan Korut-AS, Rusia Kirim Menlu ke Pyongyang
Menlu Rusia Sergei Lavrov menyatakan pihaknya mendukung hubungan antara Korut dan Amerika Serikat. (REUTERS/Maxim Shipenkov)



Jakarta, CB -- Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menggelar pertemuan dengan Menlu Korea Utara Ri Yong-ho, Selasa (10/4). Usai itu, dia mengatakan Moskow mendukung hubungan Korut dan Amerika Serikat.

Kepada wartawan, Lavrov mengatakan dirinya juga menerima undangan untuk berkunjung ke Pyongyang. Dengan Ri, dia berdiskusi soal situasi seputar program nuklir dan peluru kendali Korut serta ketegangan negara terisolasi itu dengan AS.

"Kami menyambut normalisasi situasi bertahap dan penghentian silih balas ancaman, dan kesiapan hubungan antara Korea Utara dan Ameirka Serikat," kata Lavrov sebagaimana dikutip Reuters.


Ri tidak tampil di hadapan wartawan usai pertemuan, tapi sempat mengatakan pihaknya dan Rusia mesti memperkuat kerja sama untuk menghadapi situasi politik internasional, termasuk di Semenanjung Korea.

Dia menyatakan berharap kedua negara bisa mencari cara menciptakan "capaian baru" dalam hubungannya tahun ini.

Sejumlah pejabat tinggi Korut terlibat dalam serangkaian diplomasi internasional dalam beberapa pekan belakangan, jelang rencana pertemuan pemimpin Korut Kim Jong-un dan Presiden AS Donald Trump.

Kim secara tiba-tiba berkunjung ke China pada bulan lalu untuk bertemu dengan Presiden Xi Jinping. Peristiwa itu sekaligus menandakan kunjungan pertamanya ke luar negeri setelah menjabat kepala negara pada 2011.

Ri tiba di Moskow pada Senin dan menggelar pertemuan dengan Sekretaris Dewan Keamanan Rusia Nikolai Patrushev soal opsi dialog antara Pyongyang dan Seoul, kata laporan TASS yang dikutip Reuters.

Lavrov mengatakan belum ada keputusan yang diambil soal pertemuan Kim dan Presiden Rusia Vladimir Putin usai bertemu dengan Ri.





Credit  cnnindonesia.com







Ribuan WNI Dilaporkan Minta Suaka ke Jepang


Ribuan WNI Dilaporkan Minta Suaka ke Jepang
Kementerian Luar Negeri Indonesia menuturkan bahwa ada ribuan warga negara Indonesia (WNI) yang mengajukan suaka ke Jepang. Foto/Istimewa


JAKARTA - Kementerian Luar Negeri Indonesia menuturkan bahwa ada ribuan warga negara Indonesia (WNI) yang mengajukan suaka ke Jepang. Para WNI ini mengajukan suaka ke Jepang semata-mata untuk mendapatkan izin kerja di negara tersebut.

"Jadi ini sebenarnya mereka yang berangkat ke sana dengan menggunakan visa wisata biasa, memanfaatkan bebas visa untuk visa elektronik, dan di sana mereka memohon suaka hanya untuk sekedar mendapatkan pekerjaan," ucap Direktur Perlindungan Warga Negara dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kemlu RI, Lalu Muhammad Iqbal.

"Jumlah pencari suaka pada tahun 2015 sebanyak 969 orang, pada tahun 2016 itu 1.829 orang, dan sampai akhir 2017 itu 1.342 orang. Jadi kalau kita lihat totalnya hampir 4.000-an yang berstatus pemohon suaka. Kalau kita lihat suaka itu kan ingin melepaskan kewarganegaraan dan meminta kewarganegaraan Jepang, jadi mereka statusnya tidak jelas, apakah dia masih WNI atau bukan, karena mereka meminta suaka," sambungnya pada Senin (9/4).

Iqbal menuturkan, pihaknya tidak bisa mendapatkan data orang yang sudah mengajukan suaka di Jepang dan menyebut bahwa angka yang mereka miliki saat ini didapat dari pengadilan di Jepang.

"Karena undang-undang di Jepang sangat ketat sekali untuk dapat mengakses data pribadi orang yang mengajukan suaka. Yang bisa kita lakukan adalah membangun rasa saling mengerti dengan pemerintah Jepang untuk mencegah terjadinya pemberikan suaka itu. Karena kalau mereka memberikan suaka, jangan salahkan kita kalau akan banyak orang menempuh modus yang sama untuk mencari suaka di Jepang," ucapnya.

Ketika ditanya mengenai status WNI yang mengajukan suaka, dia menuturkan bahwa status mereka abu-abu. Dia lalu menyebut, di Indonesia belum ada perturan yang menyatakan bahwa apakah orang yang mengajukan suaka di negara lain masih masuk dalam subjek perlindungan atau tidak.

"Kita belum ada konsensus nasional, orang yang seperti itu masih masuk dalam subjek perlindungan negara atau tidak," tukasnya.




Credit  sindonews.com








Pakar senjata kimia internasional akan periksa lokasi di Suriah


Pakar senjata kimia internasional akan periksa lokasi di Suriah
Arsip - Penduduk sipil menolong seorang pria dari sebuah tempat berlindung di Kota Douma yang terkepung di Ghouta Timur, Damaskus, Suriah, Kamis (22/2/2018). (REUTERS/BASSAM KHABIEH)



Beirut (CB) - Para pakar senjata kimia internasional akan berangkat ke kota Douma di Suriah untuk menyelidiki dugaan serangan gas beracun, kata organisasi mereka, Selasa.

Sementara itu, Amerika Serikat dan sejumlah negara kuat Barat sedang mempertimbangkan untuk melakukan tindakan militer atas insiden itu.

Presiden AS Donald Trump, yang sebelumnya dijadwalkan berkunjung ke Peru pada Jumat, telah membatalkan lawatannya ke Amerika Latin untuk memusatkan perhatian pada tanggapan menyangkut insiden Suriah, kata Gedung Putih.

Prancis dan Inggris juga telah melakukan pembahasan dengan pemerintahan Trump soal cara menanggapi kejadian itu. Kedua negara tersebut menekankan bahwa pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya insiden perlu dipastikan.

Setidaknya 60 orang tewas dan lebih dari 1.000 lainnya cedera dalam dugaan serangan pada Sabtu di Douma, yang saat itu masih diduduki oleh pasukan gerilyawan, menurut kelompok bantuan Suriah.

Pemerintah Presiden Suriah Bashar al-Assad dan sekutunya, Rusia, mengatakan tidak ada bukti penggunaan gas dan menganggap pernyataan seperti itu merupakan kebohongan.

Insiden tersebut telah membawa konflik Suriah, yang telah berlangsung tujuh tahun, kembali ke garis depan kekhawatiran internasional serta membuat Washington dan Moskow kembali bersaing satu sama lain.

Rusia dan Amerika Serikat berhadap-hadapan di Perserikatan Bangsa-bangsa soal cara untuk menanggapi serangan Douma.


Sekutu lain Bashar, Iran, mengancam akan bertindak atas serangan darat ke sebuah markas militer Suriah pada Senin, yang dikatakan Teheran, Damaskus dan Moskow dilakukan oleh Israel.

Organisasi untuk Pelarangan Senjata Kimia (OPCW), yang berpusat di Den Haag, mengatakan bahwa Suriah telah diminta untuk membuat pengaturan bagi kedatangan tim penyelidik.

"Tim sedang bersiap-siap untuk segera dikirim ke sana," kata OPCW dalam pernyataan.

Tim tersebut akan membawa misi untuk menentukan apakah penggunaan senjata-senjata terlarang telah terjadi, tapi tidak akan menentukan siapa pelakunya.

Sejumlah dokter dan saksi mata mengatakan para korban memperlihatkan gejala keracunan, kemungkinan akibat zat syaraf, serta melaporkan bahwa mereka mencium gas klorin.

Baik pemerintahan Bashar maupun Rusia telah meminta OPCW untuk menyelidiki dugaan penggunaan senjata kimia di Douma.

Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Mikhail Bogdanov mengatakan situasi di Suriah tidak mengarah pada kemungkinan bentrokan antara militer Rusia dan Amerika Serikat.

Kantor berita TASS mengutip Bogdanov yang mengatakan dirinya percaya bahwa akal sehat akan tetap dipertahankan, demikian dikutip dari Reuters.






Credit  antaranews.com







Rusia Gagal Usulkan Resolusi Terkait Suriah


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terdiri dari 51 negara mengadakan Majelis Umum pertama di Westminster Central Hall London, Inggris, 10 Januari 1946.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terdiri dari 51 negara mengadakan Majelis Umum pertama di Westminster Central Hall London, Inggris, 10 Januari 1946.
Foto: twitter

Rancangan resolusi Rusia hanya mendapat dukungan enam negara anggota.



CB, NEW YORK -- Pemerintah Rusia mengusulkan rancangan resolusi kepada Dewan Keamanan PBB terkait penyelidikan terbaru atas serangan senjata kimia di Suriah. Namun, usulan itu gagal karena hanya mendapat dukungan dari enam negara anggota.

Sementara, tujuh negara anggota Dewan Keamanan PBB memilih untuk menentang usulan tersebut dan dua lainnya abstain. Seperti diketahui, sebuah resolusi membutuhkan setidaknya suara dari sembilan negara anggota.


Namun, hak veto dari lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu Amerika Serikat (AS), Rusia, Cina, Inggris, dan Prancis dapat membatalkan sebuah resolusi yang hendak dikeluarkan

Sebelumnya, Rusia juga mengeluarkan hak veto untuk menentang resolusi yang diusulkan AS untuk melakukan penyelidikan baru dan memastikan siapa yang dapat disalahkan atas terjadinya serangan senjata kimia di Suriah. Pemerintah di negara Timur Tengah itu, yang dikenal menjadi sekutu Suriah diyakini berada di balik serangan tersebut.

Serangan senjata kimia di Suriah yang kali ini kembali terjadi tepatnya di Douma, kota terakhir yang dikuasai pemberontak telah membuat sedikitnya 60 orang tewas dan 1.000 lainnya terluka. Pemerintah Suriah yang dipimpin oleh Presiden Bashar Al Assad tetap diyakini berada di balik insiden ini.

Pemerintah Suriah dan Rusia telah membantah tegas keterlibatan dalam serangkaian serangan senjata kimia tersebut. Kali ini, kedua negara mengusulkan agar dilakukan inspeksi internasional untuk mengusut kasus ini.



Credit  republika.co.id

Rusia Tentukan Dua Resolusi Soal Suriah



Foto diambil 4 April 2017, ketika petugas medis Turki memeriksa korban serangan senjata kimia di kota Idlib, Suriah, di rumah sakit di Reyhanli, Hatay, Turki.
Foto diambil 4 April 2017, ketika petugas medis Turki memeriksa korban serangan senjata kimia di kota Idlib, Suriah, di rumah sakit di Reyhanli, Hatay, Turki.
Foto: AP


Rusia tidak setuju dengan rancangan resolusi Amerika Serikat.



CB, PERSERIKATAN BANGSA BANGSA -- Rusia mengatakan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa pihaknya akan mengajukan dua rancangan resolusi tentang Suriah untuk dibawa ke pemungutan suara pada Selasa (10/4).


Langkah itu ditempuh karena Rusia tidak setuju dengan rancangan resolusi Amerika Serikat tentang pembentukan penyelidikan baru untuk mencari pihak yang harus dipersalahkan atas dugaan serangan senjata kimia di Suriah, kata diplomat.

Dewan Keamanan, yang beranggotakan 15 negara, dijadwalkan melakukan pemungutan suara terhadap rancangan resolusi buatan AS itu pada Selasa sore.

Rusia meminta Dewan untuk juga melakukan pemungutan suara terhadap rancangan resolusi yang disusunnya. Resolusi buatan Rusia itu berisi desakan soal pembentukan penyelidikan baru terhadap serangan senjata kimia di Suriah, kata diplomat.

Rusia mengatakan pihaknya kemudian akan mengajukan sebuah rancangan resolusi lainnya untuk dilakukan pemungutan suara terhadapnya.

Rancangan resolusi kedua itu akan secara rinci mendukung pengiriman penyelidik dari badan pengawas senjata kimia dunia ke tempat terjadi kemungkinan serangan maut pada Sabtu itu.




Credit  republika.co.id







Inggris Pertimbangkan Intervensi Militer di Suriah


Tim evakuasi bantuan dari Turki membawa korban serangan senjata kimia yang terjadi di kota Idllib, Suriah
Tim evakuasi bantuan dari Turki membawa korban serangan senjata kimia yang terjadi di kota Idllib, Suriah
Foto: AP


Langkah ini menyusul laporan serangan senjata kimia di Suriah.



CB, LONDON -- Pemerintah Inggris saat ini dilaporkan tengah mendiskusikan opsi intervensi militer yang hendak dilakukan di Suriah. Langkah ini dipertimbangkan menyusul serangan senjata kimia yang kembali terjadi di negara Timur Tengah itu.

"Ini adalah sebuah masalah hidup dan mati, di mana kami akan mendiskusikan langkah yang tepat untuk mengatasinya dengan mitra internasional kami," ujar Menteri Pembangunan Internasional Inggris Penny Mordaunt, Selasa (10/4).

Mordaunt mengatakan kekejaman yang kembali terjadi di Suriah tidak pernah dapat diterima. Ia menegaskan bahwa Pemerintah Inggris akan mencari segala cara untuk melindungi warga sipil tak berdosa mulai dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak di Suriah.

Serangan senjata kimia di Suriah yang kali ini kembali terjadi tepatnya di Douma, kota terakhir yang dikuasai pemberontak telah membuat sedikitnya 60 orang tewas dan 1.000 lainnya terluka. Pemerintah Suriah yang dipimpin oleh Presiden Bashar Al Assad tetap diyakini berada di balik insiden tersebut.

Sebelumnya, Perdana Menteri Inggris Theresa May mengatakan bahwa ia akan berbicara dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengenai serangan senjata kimia di Suriah kali ini. Kedua negara yang merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB nampaknya hendak mempertimbangkan langkah lebih keras terhadap rezim Pemerintah Suriah atas insiden tersebut.

Sebelumnya, tepatnya pada 2017, insiden serupa juga terjadi di salah satu kota yang dikuasai oposisi Suriah, yaitu Khan Sheikhoun, Provinsi Idlib. Dalam peristiwa itu setidaknya lebih dari 80 orang tewas.

Dari laporan yang ada, korban kesulitan bernapas dan beberapa mengeluarkan busa dari mulut, sebagai dampak dari serangan racun kimia, yang diyakini sebagai gas sarin. AS kemudian merespon serangan ini dengan meluncurkan serangan yang disebut sebagai tindakan balasan dengan meluncurkan bom di pangkalan udara Pemerintah Suriah.

Pemerintah Suriah dan Rusia telah membantah tegas keterlibatan dalam serangkaian serangan senjata kimia tersebut. Kali ini, kedua negara mengusulkan agar dilakukan inspeksi internasional untuk mengusut kasus ini.




Credit  republika.co.id





Putra mahkota: Saudi mungkin bergabung dalam tindakan militer di Suriah


Putra mahkota: Saudi mungkin bergabung dalam tindakan militer di Suriah
Putra Mahkota baru Arab Saudi Muhammed bin Salman. (Handout via REUTERS)




Paris (CB) - Arab Saudi mungkin akan mengambil bagian dalam aksi militer di Suriah setelah terjadinya serangan yang diduga menggunakan senjata kimia, kata Putra Mahkota Mohammed bin Salman, Selasa.

Serangan itu menewaskan setidaknya 60 orang di wilayah Ghouta Timur pada akhir pekan lalu.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Senin menjanjikan tindakan cepat dan keras sebagai tanggapan atas serangan tersebut. Ia tampaknya akan mengambil langkah militer sebagai tanggapan.

"Kalau persekutuan dengan mitra-mitra kami membutuhkannya, kami akan ikut (bergabung dalam tanggapan militer, red)," kata Pangeran Mohammed dalam acara jumpa pers bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron pada akhir lawatan tiga harinya di Paris.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir mengatakan kepada para wartawan bahwa sejumlah negara sedang melakukan pembahasan soal langkah yang akan ditempuh untuk menanggapi serangan senjata kimia di Suriah. Ia mendesak agar pihak yang bersalah dalam serangan itu diadili.

"Sikap kami adalah bahwa mereka yang bertanggung jawab harus diadili dan dibawa ke pengadilan," katanya seperti dikutip Reuters.

Serangan pada Sabtu malam itu menewaskan setidaknya 60 orang dan mencederai lebih dari 1.000 lainnya di beberapa lokasi di Douma, kota di dekat ibu kota negara Suriah, Damaskus, menurut Persatuan Organisasi Layanan Medis.

Ketika ditanya apakah Arab Saudi akan mengambil bagian dalam tanggapan seperti itu, al-Jubeir menolak berkomentar.

"Saya tidak ingin berandai-andai soal apa yang akan terjadi dan tidak terjadi. Yang bisa saya katakan hanyalah bahwa pembahasan sedang berlangsung menyangkut pilihan-pilihan yang ada untuk menangani masalah ini," katanya.




Credit  antaranews.com





Eurocontrol: Dalam 72 Jam Mungkin Ada Serangan Rudal ke Suriah


Eurocontrol: Dalam 72 Jam Mungkin Ada Serangan Rudal ke Suriah
Penerbang militer Amerika Serikat (AS) berada di kapal induk USS Harry S Truman yang dikirim ke perairan Timur Tengah. Foto/REUTERS


BRUSSELS - Eurocontrol, sebuah badan Uni Eropa untuk urusan lalu lintas udara di Eropa mengeluarkan peringatan bahwa kemungkinan ada serangan rudal ke Suriah dalam waktu 72 jam terhitung sejak hari Senin. Badan itu mengeluarkan Rapid Alert Notification agar operator penerbangan di Mediterania timur berhati-hati.

Menurut badan tersebut, potensi serangan rudal kemungkinan berasal dari negara-negara NATO.

"Karena kemungkinan peluncuran serangan udara ke Suriah dengan rudal air-to-ground dan/atau rudal jelajah dalam 72 jam ke depan, dan kemungkinan ada gangguan intermiten peralatan navigasi radio, pertimbangan waspada harus diambil ketika merencanakan operasi penerbangan di daerah FIR (flight information region)  Mediterania Timur/Nicosia," bunyi peringatan Eurocontrol yang dilansir Russia Today, semalam (10/4/2018).

Dalam peringatan tersebut pilot diminta untuk siap untuk NOTAM (Pemberitahuan untuk Penerbang) mengenai risiko penerbangan dan hambatan yang mungkin timbul.


Peringatan tersebut muncul beberapa jam setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam akan mengambil tindakan terhadap rezim Suriah, termasuk dengan opsi militer. Ancaman Trump itu sebagai respons atas dugaan serangan senjata kimia di Douma, di mana rezim Presiden Bashar al-Assad sebagai pihak yang disalahkan.

Trump telah melakukan pertemuan dengan tim keamanan nasionalnya untuk merespons rezim Suriah. Kepada wartawan, presiden Amerika itu mengatakan bahwa "keputusan besar" akan dia ambil dalam 24-48 jam setelah pertemuan tersebut.

Tak lama setelah ancaman Trump keluar, pangkalan udara T-4 Suriah di dekat Homs diserang rudal oleh dua jet tempur. Rezim Assad sempat menduga AS sebagai pelakunya. Namun, serangan itu ternyata dilakukan oleh dua jet tempur F-15 Israel dengan korban tewas sekitar 14 orang.

Meski demikian, Washington tak main-main dengan ancamannya. Armada kapal induk USS Harry S Truman telah dikerahkan untuk menuju Timur Tengah. 





Credit  sindonews.com





AS Kerahkan Kapal Induk dan 7 Kapal Perang ke Timur Tengah


AS Kerahkan Kapal Induk dan 7 Kapal Perang ke Timur Tengah
Kapal induk Amerika Serikat, USS Harry S Truman dan armada tempurnya dikerahkan ke perairan Timur Tengah dan Eropa. Foto/US Navy/Scott Swofford


WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) sedang mengerahkan kapal induk USS Harry S. Truman lengkap dengan tujuh kapal perang untuk sebuah misi ke Timur Tengah dan Eropa. Armada kapal induk tersebut mulai bergerak ke perairan Timur Tengah hari Rabu (11/4/2018).

Pengerahan kapal induk itu diumumkan Angkatan Laut AS. Langkah militer Washington ini hanya berselang sehari setelah Presiden Donald Trump mengancam akan bertindak terhadap rezim Suriah termasuk dengan opsi militer.

Ancaman Trump sebagai respons atas dugaan serangan senjata kimia di Douma, di mana rezim Suriah pimpinan Presiden Bashar al-Assad sebagai pihak yang disalahkan. Dugaan serangan senjata kimia jenis gas klorin itu dilaporkan menewaskan puluhan warga sipil.



Kapal induk USS Harry S Truman dengan tujuh kapal perang membawa sekitar 6.500 pelaut. Mengutip laporan Military.com, armada kapal induk tersebut melakukan pelayaran bersama kapal frigat Jerman, FGS Hessen.

Armada USS Harry S Truman rencananya akan menggantikan armada kapal induk USS Theodore Roosevelt yang baru saja menyelesaikan misi empat bulannya di Timur Tengah.

Sekadara diketahui, USS Harry Truman berlayar dari Norfolk bersama dengan tujuh kapal perang yang masing-masing dipersenjatai puluhan rudal jelajah. Kapal induk Truman pernah meluncurkan jet-jet tempur untuk menyerang ISIS dari Mediterania pada tahun 2016.



Sebelumnya, kapal perang USS Donald Cook telah meninggalkan Siprus dan bergerak ke Mediterania timur. Kapal perang Arleigh Burke-class ini membawa 60 rudal jelajah Tomahawk.

Belum jelas apakah armada kapal induk Truman akan menyerang Suriah atau tidak. Namun, Presiden Donald Trump telah membuat ancaman militer terhadap rezim Suriah. "Kami memiliki banyak opsi militer, dan kami akan segera memberi tahu Anda," kata Trump kepada wartawan, hari Senin lalu.

Suriah dan sekutunya, Rusia, membantah bahwa rezim Assad melakukan serangan senjata kimia di Douma. Pasukan kedua negara itu bahkan telah memeriksa area Douma dan tidak menemukan jejak racun kimia.

Militer Rusia menuduh serangan kimia dibuat oleh LSM White Helmets dan kelompok Jaish al-Islam yang didukung Barat. Tujuannya untuk memfitnah rezim Assad sebagai dalih agar rezim tersebut diserang negara-negara Barat. 




Credit  sindonews.com






Kapal Perang AS Dilaporkan Menuju Suriah usai Ancaman Trump





Kapal Perang AS Dilaporkan Menuju Suriah usai Ancaman Trump
Kapal perang Amerika Serikat, USS Donald Cook. Kapal itu saat ini sudah siaga di Laut Mediterania. Foto/Sputnik


WASHINGTON - Sebuah kapal perang Amerika Serikat (AS) dilaporkan sedang menuju ke lepas pantai Suriah di Laut Mediterania. Laporan ini muncul setelah Presiden Donald Trump mengancam rezim Suriah, termasuk dengan opsi militer atas tuduhan melakukan serangan kimia di Douma.

The Wall Street Journal pada Selasa (10/4/2018) mengutip sumber Pentagon melaporkan, dalam beberapa hari ke depan kapal perang kedua Angkatan Laut AS mungkin sudah memasuki Laut Mediterania.

AS saat ini sudah menempatkan satu kapal perang jenis perusak, USS Donald Cook, di Mediterania timur. Menurut pejabat pertahanan AS, kapal itu setiap saat bisa meluncurkan serangan peluru kendali (rudal) terhadap Suriah.

Kapal perang kedua yang sedang menuju lepas pantai Suriah adalah USS Porter.

Surat kabar Turki, Hurriyet, menulis bahwa pesawat tempur Rusia mendengung di atas kapal USS Donald Cook setidaknya empat kali. Namun, laporan itu ditepis Pentagon.


Presiden Trump dan tim keamanan nasionalnya telah mendiskusikan berbagai opsi termasuk opsi militer terhadap rezim Suriah pimpinan Presiden Bashar al-Assad. Trump merasa AS harus bertindak setelah rezim Assad dilaporkan melakukan serangan kimia terhadap warga sipil di Douma pada Sabtu pekan lalu dengan korban tewas puluhan orang.

Trump mengatakan, dia kemungkinan akan membuat keputusan cepat dan tidak mengesampikan opsi serangan militer setelah melihat gambar-gambar perempuan dan anak-anak tewas berjatuhan di rumah mereka di Douma.

"Itu akan dipenuhi, dan itu akan dipenuhi dengan paksa, kapan? saya tidak akan mengatakannya," kata Trump, pada Senin malam sebelum bertemu dengan para pemimpin militer AS.

Seorang pejabat Gedung Putih mengatakan, selama pertemuan dengan tim keamanan nasionalnya, Trump marah melihat gambar anak-anak Suriah tewas dan terluka.

"Kami tidak dapat membiarkan kekejaman seperti itu," kata Trump. "Kami akan membuat beberapa keputusan besar selama 24 hingga 48 jam berikutnya," lanjut Trump.


Dewan Keamanan PBB telah mengadakan pertemuan darurat soal Suriah, namun tidak menghasilkan konsensus untuk tanggapan internasional. Washington sendiri mengancam akan bertindak melawan rezim Suriah dengan atau tanpa mandat DK PBB. 


Trump untuk pertama kalinya berani menyebut Presiden Rusia Vladimir Putin untuk bertanggung jawab atas yang dilakukan Bashar al-Assad sebagai sekutu Rusia.

"Semua orang akan membayar mahal," kata Trump. "Dia (Putin) akan (membayar), semuanya akan (membayar)," imbuh Trump.

Rezim Suriah dan Rusia menolak tuduhan bahwa Damaskus melakukan serangan kimia di Douma. Menurut Moskow, serangan itu dibuat oleh LSM White Helmets dan kelompok Jaish al-Islam yang didukung Barat. Tujuannya untuk memfitnah rezim Assad agar diserang negara-negara Barat.

Militer Rusia dan Suriah mengklaim sudah memeriksa area di Douma dan tidak menemukan jejak racun kimia. Rumah sakit di sekitar Douma juga tidak ada pasien korban serangan kimia.

Moskow dan Damaskus bahkan meminta Organisasi untuk Larangan Senjata Kimia (OPCW) melakukan penyelidikan di Douma. Rezim Suriah menjamin keselamatan para ahli OPCW selama melakukan penyelidikan.


Credit  sindonews.com




AS: Tangan Rusia Bersimbah Darah Anak-Anak Suriah


AS: Tangan Rusia Bersimbah Darah Anak-Anak Suriah
Dubes AS untuk PBB Nikki Haley menuding Rusia bertanggung jawab atas serangan kimia di Suriah. (REUTERS/Stephanie Keith)



Jakarta, CB -- Duta Besar Amerika Serikat untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Nikki Haley mengatakan pihaknya akan merespons serangan kimia yang diduga dilakukan pemerintahan Bashar al-Assad. Di saat yang sama, dia juga mengkritik Rusia, menyebut 'tangan' negara tersebut "bersimbah darah anak-anak Suriah."

"Senjata kimia sekali lagi digunakan terhadap warga Suriah, termasuk perempuan dan anak-anak," kata Haley dalam rapat khusus Dewan Keamanan PBB terkait dugaan serangan kimia di Douma, kota terakhir yang masih dikuasai pemberontak Suriah. Tindakan itu menewaskan 49 orang dan melukai puluhann lainnya.

"Sejarah akan mencatat ini sebagai momen apakah Dewan Keamanan melaksanakan kewajibannya atau menunjukkan kegagalannya melindung warga Suriah," kata Haley sebagaimana dikutip CNN. "Yang manapun yang terjadi, Amerika Serikat akan merespons."


Sejumlah gambar anak-anak yang kesulitan bernapas mengejutkan dunia dan memicu respons Presiden AS Donald Trump yang mengecam serangan itu sebagai tindakan "gila." Dia juga mengkritik Presiden Rusia Vladimir Putin dan Iran karena mendukung Assad.

Trump mengancam akan "ada harga mahal yang harus dibayar" atas serangan tersebut.

Pada Senin, Haley menegaskan bahwa Rusia pun mesti "membayar," sementara ketegangan antara Washington dan Moskow tampak jelas di Dewan Keamanan. Duta Besar Rusia menuding AS berniat buruk terhadap Moskow dan Suriah, mengancam keamanan internasional, memicu ketegangan global dan beroperasi di luas hukum internasional.

Haley menggambarkan secara merinci gambar bayi Suriah dengan tubuh membiru yang terbaring tanpa nyawa di lengan orang tuanya setelah dugaan serangan kimia itu. Dia menegaskan AS menilai Moskow bertanggung jawab dan menyiratkan bahwa Rusia adalah negara yang tak beradab.

"Monster yang bertanggung jawab atas serangan ini tidak punya hati nurani untuk merasa terkejut melihat gambar anak-anak tak bernyawa," kata Haley, yang juga mengatakan tak akan menunjukkan foto-foto korban sebagaimana ia lakukan setelah serangan kimia pemicu serangan AS April 2017 lalu.

"Rezim Rusia, yang tangannya bersimbah darah anak-anak Suriah, tidak bisa dipermalukan dengan foto korban-korbannya," kata Haley. "Kami sudah mencoba itu sebelumnya."

"Rusia bisa menghentikan pembantaian kejam ini, jika mereka mau," ujarnya. "Tapi mereka mendukung rezim Assad dan mendukungnya tanpa rasa ragu. Buat apa mencoba mempermalukan orang semacam itu? Lagi pula, tidak ada pemerintahan beradab yang mau mendukung rezim pembunuh pimpinan Assad."
Korban serangan kimia di Suriah 2017 lalu.
Korban serangan kimia di Suriah 2017 lalu. (AFP Photo/Mohamed al-Bakour)
"Sikap Rusia yang menghalang-halangi tidak akan lagi menyandera kami ketika kami dihadapkan dengan serangan seperti ini."

Di sisi lain, Rusia merespons keras. "Tidak ada yang memberikan Anda kewenangan untuk bertindak sebagai polisi dunia ... kami meminta Anda kembali ke ranah hukum," kata Dubes Vassily Nebenzia. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov mengatakan tak ada bukti penggunaan senjata kimia, dan hal itu ditegaskan oleh Nebenzia.

"Penggunaan sarin dan klorin tidak terkonfirmasi," kata Nebenzia dalam rapat tersebut. Dia kemudian mengatakan AS, bersama Inggris dan Perancis, bertindak "tanpa pembenaran, dan tanpa menilai konsekuensi, terlibat dalam kebijakan konfrontasional terhadap Rusia dan Suriah.



Credit  cnnindonesia.com