Rabu, 11 April 2018

PM Australia Bantah Kabar Pangkalan Militer China di Vanuatu


PM Australia Bantah Kabar Pangkalan Militer China di Vanuatu
Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull menyatakan Australia akan sangat prihatin jika ada pangkalan militer asing dibangun di Pasifik Selatan. (AFP Photo/Peter Parks)



Jakarta, CB -- Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull menyatakan Australia akan sangat prihatin jika ada pangkalan militer asing dibangun di Pasifik Selatan. Pernyataan itu disampaikan Turnbull menanggapi kabar bahwa Beijing sedang membahas pembangunan pangkalan militer di Vanuatu.

Meski begitu, Turnbull menyatakan dirinya diyakinkan oleh Komisaris Tinggi/Duta Besar Vanuatu bahwa tidak ada permintaan China untuk membangun pangkalan militer seperti dimaksud.

"Memelihara perdamaian dan stabilitas di Pasifik adalah hal yang terpenting bagi kami," kata dia kepada wartawan seperti dilansir CNN, Selasa (10/4).


Vanuatu, negara di pulau kecil berpenduduk 282.000 orang tersebut terletak di Pasifik Selatan, dekat Australia, Selandia Baru dan Papua Nugini. Letaknya hanya 2.500 kilometer dari pantai Australia.

Negeri itu telah lama menjadi penerima bantuan terbesar Australia. Namun dalam beberapa tahun terakhir, juga menerima ratusan juta dolar hibah maupun pinjaman dari pemerintah China.

Kabar soal rencana pembangunan pangkalan militer China di Vanuatu dilaporkan pertama kali oleh media Australia, Fairfax Media, Selasa. Kabar itu langsung dibatah oleh para pejabat Vanuatu dan Australia.

Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop juga turut berusaha meredam kabar itu dengan menyatakan bahwa Vanuatu masih berada dalam pengaruh Canberra.
"Saya tetap yakin bahwa Australia masih menjadi pilihan Vanuatu sebagai mitra strategis," kata Bishop kepada ABC Australia.

Namun stasiun televisi Australia, Nine News mengutip pejabat kementerian pertahanan mengklaim bahwa pemerintah China tertarik untuk meningkatkan kehadiran di Vanuatu.



Pemerintah Vanuatu telah membantah kabar itu dan menepis anggapan adanya pembicaraan kedua negara terkait pembangunan pangkalan militer China tersebut.

"Kami adalah negara non-blok. Kami tidak tertarik dengan militerisasi, kami tidak tertarik dengan pangkalan militer apapun di negara kami," kata Menteri Luar Negeri Vanuatu Ralph Regenvanu seperti dilansir ABC.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang menyatakan kabar rencana pembangunan pangkalan militer di Vanuatu itu sebagai 'berita palsu'.

Meresahkan Amerika Serikat
Jika benar, pembangunan pangkalan militer di Vanuatu juga bakal meresahkan Amerika Serikat. Euan Graham, Direktur Program Keamanan Internasional di Sydney Lowy Institute mengatakan bahwa mereka yang memandang ke seluruh Pasifik melihat titik geostrategis akan peduli jika benar China akan meningkatkan kehadiran di Pasifik Selatan.

Meski tidak melihat Vanuatu bakal menyepakati pembangunan pangkalan militer yang permanen, Graham berpendapat bahwa hal yang mungkin adalah pembangunan fasilitas yang dapat dipakai bersama, yang bisa memberikan akses bagi kapal-kapal Angkatan Laut China ke negeri itu.

China memiliki hubungan diplomatik dengan beberapa negara Pasifik, dan menjadi sponsor utama beragam proyek pembangunan dan bantuan di Vanuatu, Tonga, Papua Nugini dan Fiji.




Berdasarkan makalah Profesor Yu Chang Sen dari Pusat Studi Oseania, Universitas Sun Yat-sen, Guangzhou,China, antara tahun 2000 dan 2012, China menawarkan sekitar 30 proyek besar ke negara-negara Kepulauan Pasifik, termasuk pembangunan gedung-gedung dan infrastuktur rsmi pemerintah, seperti jalan raya, jembatan dan stasiun pembangkit listrik tenaga air.

Secara khusus di Vanuatu, China memberikan pinjaman dan hibah senilai US$243 juta sejak 200 hingga Juni 2016, berdasarkan data Lowy Institute Sydney. Meski jumlahnya besar, angka itu jauh di bawah yang diberikan Australia selama 10 tahun yakni US$400 juta.

Bantuan keuangan China di Vanuatu terutama pada sektor pembangunan infrastruktur utama. sEperti Luganville International Wharf di Pulau Espiritu Santo. Fasilitas dermaga yang dapat menampung dua kapal angkut ukuran menengah, atau satu kapal pesiar.


Dermaga yang dibangun oleh Shanghai Construction Group, digambarkan Duta Besar China untuk Vanuatu sebagai tonggak baru kerja sama kedua negara di bidang pembangunan infrastruktur.

Ambisi Militer China
Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing melebarkan pengaruh maritimnya di luar Asia Timur.

China secara resmi mendirikan pangkalan militer internasional pertamanya di Djibouti pada Juli tahun lalu, lokasi yang strategis di Tanduk Afrika. Hal ini diikuti beberapa bulan kemudian dengan akuisisi Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka yang kontroversial.

Malcolm Davis, pengamat senior di Australian Strategis Policy Institute, Sydney menggambarkan bahwa kesepakatan Hambantota, dimana Sri Lanka menyewakan pelabuhan itu selama 99 tahun kepada China untuk menebus hutang miliaran dolar kepada Beijing, sebagai bagian dari 'sebuah gambaran yang lebih besar'.

"Semakin banyak Anda berinvestasi dalam inisiatif Belt and Road, semakin banyak China memaksa negara Anda untuk menyelaraskan politik dalam hal kebijakan," kata Davis seperti dilansir CNN tahun lalu, mengacu pada strategi pembangunan internasional China, China One Belt One Road (OBOR).

"Jadi, Anda menjadi bergantung pada investasi dan kemurahan hati mereka, dan Anda cenderung tidak mengkritik mereka dan Anda lebih mungkin untuk mengakomodasi kepentingan mereka secara strategis."



Di bawah Presiden Xi Jinping, kepentingan-kepentingan strategis itu telah bergeser, dengan Angkatan Laut China khususnya telah menjalani transformasi yang signifikan, sejalan dengan kebangkitan China sebagai kekuatan global.

Adapun Angkatan Laut China, yang sebelumnya defensif dan terbatas di perairannya, kini menyatakan telah memiliki kemampuan perairan biru, artinya mereka dapat beroperasi di mana saja demi kepentingan China.




Credit  cnnindonesia.com