Rabu, 11 April 2018

Bunuh 10 Rohingya, Tujuh Tentara Myanmar Dihukum Bui 10 Tahun


Bunuh 10 Rohingya, Tujuh Tentara Myanmar Dihukum Bui 10 Tahun
Tujuh tentara Myanmar divonis hukuman penjara dan kerja paksa selama 10 tahun atas kasus pembantaian 10 pria Rohingya tahun lalu. (Handout via REUTERS)




Jakarta, CB -- Tujuh tentara Myanmar divonis hukuman penjara dengan kerja paksa selama 10 tahun atas kasus pembunuhan 10 pria Rohingya tahun lalu.

Insiden berdarah di Desa Inn Din pada 2 September adalah satu-satunya kekejaman terhadap Rohingya yang diakui militer selama penindasan di wilayah utara Negara Bagian Rakhine, yang meyebabkan 700 ribu Rohingya mengungsi di perbatasan di Bangladesh sejak Agustus tahun lalu.

Dua wartawan Reuters, berkewarganegaraan Myanmar, Wa Lone, 31 tahun, dan Kyaw Soe Oo, 27 tahun sedang menyelidik kasus pembunuhan tersebut saat ditangkap di pinggiran Yangon, Desember lalu. Keduanya ditangkap saat bertemu polisi yang memberikan mereka dokumen rahasia. Jika terbukti bersalah, mereka bakal dihukum 14 tahun penjara.


Sebulan setelah penahanan kedua wartawan, militer mengeluarkan pernyataan yang tak pernah terjadi sebelumnya, yakni mengakui bahwa bahwa beberapa anggotanya telah melakukan kesalahan dan berjanji untuk menindak mereka yang bertanggung jawab.

Meski begitu, militer Myanmar mengklaim bahwa pria Rohingya yang terbunuh adalah 'teroris', tapi tidak memberikan bukti atas tuduhan tersebut.


"Empat perwira telah dicopot (dari ketentaraan) dan divonis 10 tahun penjara dengan kerja paksa. Tiga tentara lagi dicopot dan divonis 10 tahun penjara dengan krja paksa di penjara kriminal," tulis Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing lewat akun resmi Facebook-nya.

Pengadilan berlangsung tertutup, mengabaikan seruan internasional agar kasus pembunuhan Rohingya itu diselidiki secara independen.

Kalangan internasional juga menyerukan agar dua wartawan Reuters dibebaskan. Laporan mereka, yang telah dipublikasikan, berdasarkan kesaksian penduduk desa yang beragama Buddha, aparat keamanan dan keluarga dari para pria Rohingyan yang dibunuh. Laporan itu menggambarkan bagaimana tentara Myanmar dan warga Buddha mengeksekusi kesepuluh pria Rohingya sebelum membuang mayat-mayatnya di kuburan massal.

Laporan itu dilengkapi dengan foto-foto para pria Rohingya yang menjadi korban pembunuhan di Desa Inn Dinn, Myanmar itu. Tangan mereka tampak terikat. Semuanya berlutut sebelum akhirnya ditembak. Ada pula foto berisi gambar mayat-mayat yang bergelimpangan di satu lubang.

Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi menyambut pengakuan militer itu sebagai sebuah langkah positif.


Militer memiliki catatan buruk pelanggaran hak-hak asasi manusia selama 50 tahun memerintah Myanmar.

Banyak yang berharap pemerintahan demokratis Suu Kyi bakal memupus kesewenang-wenangan militer, namun kekerasan terhadap Rohingya di Rakhine, memupus harapan itu.

Amnesty Internasional menyebut pembunuhan di Inn Din hanyalah 'puncak gunung es' dari kekejaman yang terjadi sejak Agustus. Kelompok aktivis HAM internasional itu berulang kali menyerukan penyelidikan yang lebih luas dan tidak berpihak.

Perserikatan Bangsa-bangsa menuding tentara Myanmar melakukan pembersihan etnis. PBB bahkan menyatakan ada tanda-tanda telah terjadi genosida setelah mendengarkan kesaksian para pengungsi soal pembunuhan, perkosaan dan pembakaran yang menimpa mereka.


Aktivis kemanusiaan Dokter Tanpa Batas (Medecins Sans Frontier/MSF) memperkirakan sedikitnya 6.700 etnis Rohingya tewas selama bulan pertama operasi militer, yang disebut-sebut untuk menumpas teroris.

Myanmar membantah segala tuduhan dan menyatakan operasi militer di Rakhine sebagai respons terhadap serangan milisi Rohingya ke pos-pos keamanan di sana. Myanmar juga menuduh media internasional serta lembaga bantuan kemanusiaan telah menyebarkan informasi palsu dari sumber bias yang pro-Rohingya.



Credit  cnnindonesia.com