Latihan:
Tank dan kendaraan lapis baja Pasukan Bela Diri Jepang melaju di bawah
tirai api selama latihan yang diadakan di Lahan Pelatihan Higashi-Fuji
di Gotemba pada Agustus 2014. [AFP]
CB - Tatkala Jepang semakin mendekati putusan akhir tahun yang
diperkirakan mengenai reinterpretasi unsur signifikan dari
Konstitusinya, warga dan sekutu Jepang mengamatinya secara intens.
Perdana Menteri Shinzo Abe dan Kabinetnya mengumumkan pada tanggal 1
Juli, tujuan mereka untuk membuat modifikasi besar-besaran pada apa yang
secara umum dirujuk sebagai
Pasal 9 – “klausul perdamaian” Konstitusi Jepang.
Bagian itu – yang dikonsep setelah Perang Dunia II dan diberlakukan
pada tahun 1947 – melarang bentuk pemerintah kemiliteran Jepang, yang
dulunya ekstrem, untuk terlibat lagi dalam perang, dan menyatakan bahwa
Jepang tidak akan mempertahankan segala bentuk angkatan bersenjata
militer dalam arti yang sesungguhnya
Pasal 9 menyatakan:
“Bercita-cita tulus untuk perdamaian internasional berdasarkan
keadilan dan ketertiban, rakyat Jepang selamanya meninggalkan perang
sebagai hak kedaulatan bangsa dan pengancaman atau penggunaan kekerasan
sebagai cara menyelesaikan perselisihan internasional.
“Untuk mencapai tujuan paragraf di atas, angkatan darat, laut, dan
udara, serta potensi perang lainnya, tidak akan dipertahankan. Hak
negara untuk menyatakan perang tidak akan diakui.”
Abe dan Kabinet Jepang tidak serta-merta ingin mengubah kata-kata
klausul itu. Sebaliknya, mereka ingin mengubah bagaimana makna itu
ditafsirkan, suatu gerakan yang dirujuk di Jepang sebagai
"reinterpretasi" Konstitusi.
Pertimbangan hak terlebih dahulu
Dikaitkan dengan reinterpretasi adalah yaitu hak terlebih dahulu,
yang meleluasakan Jepang untuk melakukan serangan awal terhadap lawan
yang memusuhi. Hak terlebih dahulu sudah dikemukakan berkali-kali selama
12 tahun terakhir, yang dimulai pada masa yang berpotensi krisis nuklir
pada tahun 2002 dengan Korea Utara.
Hak terlebih dahulu sudah sesuai menyusul perselisihan dengan
Tiongkok,
khususnya apabila menyangkut soal kendali atas Kepulauan Senkaku yang
dipegang oleh Jepang di Laut Tiongkok Timur. Tiongkok juga mengklaim
kepemilikan kepulauan dan merujuknya dengan nama Diaoyu.
Jepang menyadari tentang jangkauan dan perluasan Tiongkok yang sedang
berjalan di perbatasan maritimnya di Laut Tiongkok Timur dan Selatan.
Abe menyerukan bahwa Jepang adalah bangsa yang mencintai perdamaian,
tetapi menurut Kepentingan Nasional, juga mengakui bahwa "perdamaian
yang kami nikmati hari ini tidak diberikan kepada kami oleh pihak lain.
Satu-satunya cara untuk memperolehnya, adalah mewujudkannya dengan
tangan kita sendiri.”
Abe bertujuan untuk melakukan reinterpretasi yang resmi mengenai
Pasal 9, dan kemungkinan besar tanpa perubahan bahasa, agar siap pada
tahun baru. Para analis memperkirakan bahwa keputusan Abe akan
meleluasakan Jepang untuk terlibat perang, tetapi hanya untuk membela
diri, bukan penyerbuan.
Dengan kata lain, angkatan militer Jepang – yang dikenal sebagai
Pasukan Bela Diri Jepang – akan dapat menyerang bangsa lain tanpa
peringatan di muka.
Reinterpretasi juga akan meleluasakan pasukan Jepang menawarkan
pertolongan dan bantuan kepada negara sekutu jika mereka diserang,
bahkan seandainya Jepang bukan merupakan sasaran langsung.
Demikian pula dengan pasukan militer – yang secara teknis sudah
dihapus oleh Pasal 9 – akan dapat melanjutkan operasi berdasarkan
penafsiran konstitusi saat ini yang lebih merupakan sebagai pasukan
keselamatan dan keamanan, bukannya pasukan militer dalam arti yang
sesungguhnya.
Reinterpretasi dikaitkan untuk memperbarui panduan kerja sama
Reinterpretasi diperkirakan akan bertepatan dengan upaya bilateral bersama Amerika Serikat untuk memperbarui panduan kerja sama pertahanan,
suatu perjanjian yang sudah berusia 17 tahun, yang menyatakan bahwa
kedua bangsa akan saling menolong jika salah satunya mengalami serangan
militer oleh negara lain. Bangsa-bangsa ini akan menunda tindakannya
sampai enam bulan pertama tahun 2015 setelah pemilihan kembali Abe di
awal bulan ini.
Abe bukan satu-satunya yang mendesak untuk melakukan reinterpretasi.
“Keputusan ini dapat dilihat sebagai puncak upaya yang sudah berjalan
puluhan tahun oleh Amerika Serikat untuk menghentikan Jepang dari konstitusi pasifis
dan kebijakan luar negeri pasca PD II, serta menetapkannya kembali pada
jalur yang benar, yang kembali lagi menjadi kekuatan militer, namun,
kali ini bertindak secara koordinasi dengan kebutuhan kebijakan luar
negeri A.S.," menurut Foreign Policy Journal.
Meskipun A.S. mendukung visi Abe untuk reinterpretasi, namun tidak
begitu halnya dengan sebagian besar pihak di dalam negerinya. Abe
menghadapi oposisi yang cukup tangguh dari para ahli sejarah, kaum
pasifis, dan mereka yang berpendapat bahwa Jepang sebaiknya jangan
membuat perubahan apa pun, termasuk reinterpretasi, tanpa mengubah
bahasa artikel tersebut.
Selain itu, segmen masyarakat Jepang tidak ingin negara mereka
menjadi kekuatan militer seperti negara sekutu dan tetangga mereka.
Pada pertengahan Juni 2014 diadakan jajak pendapat, hanya dua minggu
sebelum Abe mengumumkan rencananya untuk reinterpretasi, dan tercatat
sebesar 56 persen penduduk Jepang menolak prakarsa peningkatan bela
diri, dan hanya 28 persen yang mendukungnya, menurut The National
Interest.
Namun, dalam jajak pendapat yang lain, 84 persen responden menjawab
bahwa mereka akan mendukung pasukan bela diri jika Abe bisa lebih
komunikatif dan lebih jelas mengenai tujuan dan visi reinterpretasinya
mengenai Pasal 9.
“Pokoknya, apa yang dimiliki Perdana Menteri Abe di sini adalah
kegagalan komunikasi,” The National Interest mengatakan. “Kalau ia bisa
menjelaskan dengan lebih baik, mengapa reinterpretasi ini akan
meninggikan, bukannya merongrong maksud yang mendasari Pasal 9,
kemungkinan isu ini akan memberikan daya tarik politis.”
Pembuat undang-undang mendukung Abe
Abe mendapatkan dukungan berlimpah dari Diet, Majelis Rendah Perlemen
Jepang. Jajak pendapat pasca pemilu yang dilakukan oleh Asahi Shimbun
menemukan bahwa 69 persen dari para anggota yang baru dipilih menyetujui
siasat Abe untuk menafsirkan ulang Konstitusi yang akan menghapus
larangan hak bangsa untuk membela diri. Hampir semua pembuat
undang-undang – 462 dari 475 – berpartisipasi dalam jajak pendapat.
Shigeru Ishiba, sekretaris jenderal Partai Demokratis Liberal yang
dipimpin Abe, mengemukakan dengan jelas tujuannya untuk menafsirkan
ulang Pasal 9 selama kunjungan ke Washington, D.C. awal tahun ini.
Sekurangnya ada dua negara yang tidak mendukung reinterpretasi Pasal 9, demikian menurut blog Lawfare.
“Sebagian kekuatan regional mengecam apa yang mereka anggap sebagai
remilitarisasi Jepang. Khususnya, Tiongkok yang sangat vokal: negara ini
menggambarkan reinterpretasi sebagai pukulan terhadap tatanan
internasional pasca-Perang Dunia II. Korban lain dari agresi Jepang
selama Perang Dunia II, Korea Selatan, juga mengungkapkan kekhawatirannya, meskipun pada tingkat yang lebih rendah,” menurut blog Lawfare.
Kekuatan lain telah menyuarakan dukungan mereka, termasuk A.S. dan
beberapa sekutu Jepang, termasuk Australia, Filipina, India, Indonesia,
Malaysia, Myanmar, Thailand dan Vietnam.
Credit
APDForum