Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi
menandatangani Undang-undang soal kontrol pemerintah Mesir atas Internet
untuk memberantas ekstremisme. (REUTERS/Carlo Allegri)
Jakarta, CB -- Presiden Mesir, Abdel Fattah El-Sisi menandatangani undang-undang baru mengenai kontrol pemerintah terhadap Internet, Sabtu (18/8).
Undang-Undang
Anti Cyber dan Kejahatan Teknologi Informasi dikatakan bertujuan untuk
memerangi ekstremisme dan memungkinkan pihak berwenang untuk memblokir
situs web yang dianggap oleh para hakim sebagai ancaman terhadap
keamanan nasional.
Dilansir surat kabar Al-Ahram, aturan
ini juga melarang penyebaran informasi tentang pergerakan pasukan
keamanan dan menerapkan hukuman yang ketat jika meretas sistem informasi
pemerintah.
Laporan
Al-Ahram menambahkan orang-orang yang dinyatakan bersalah akan dikenakan denda lebih dari US$10.000 dan dua tahun penjara.
Undang-undang ini awalnya disetujui oleh Parlemen Mesir pada Mei lalu.
Sejak mengambil alih pemerintahan pada 2014, pemerintahan yang
dipimpin Sisi telah dikritik karena memblokir kebebasan berpendapat di
media, dan menghapus konten digital.
Menurut Asosiasi Kebebasan Berpikir Dan Ekspresi yang berbasis di Kairo, sekitar 500 situs web sudah diblokir sejak Mei 2017.
Parlemen
Negara juga telah mengeluarkan undang-undang yang memperkuat kemampuan
pemerintah untuk menargetkan media sosial agar menindak tegas perbedaan
pendapat.
Hal ini termasuk mengkategorikan akun sosial media
yang jumlah pengikutnya lebih dari 5.000 sebagai situs web publik dan
layak untuk pengawasan.
Najia Bounaim, Direktur Amnesty
International Urusan Kampanye di Afrika Utara mengatakan bahwa mereka
menerima laporan dari orang-orang di seluruh lapisan masyarakat di Mesir
yang telah dianiaya karena postingannya di Facebook, Twitter, karya
seni, dan bahkan pribadi.
"Tulisan yang tidak diterbitkan sudah jatuh ke tangan pihak berwenang Mesir," tulis dia dalam sebuah pernyataan pada Juli lalu.
Berdasarkan
laporan dari Mada, sebuah organisasi pengawas jurnalisme dan media yang
berbasis di Kairo, bahwa peraturan itu juga mewajibkan penyedia layanan
internet untuk menyimpan dan memberikan informasi pribadi ke layanan
keamanan.
Pada bulan lalu, Human Rights Watch memperingatkan bahwa Mesir semakin membatasi pidato online karena alasan melawan terorisme.
Direktur
terorisme dan kontraterorisme di Human Rights Watch, Nadim Houry
mengatakan bahwa saat Mesir sedang menghadapi ancaman, pemerintahan
Presiden Abdel Fattah Al-Sisi telah mengeksploitasi ancaman itu sebagai
penutup untuk mengadili para pengritik.
"Mesir menggabungkan hukum yang buruk dengan pengadilan yang tidak adil dan hasilnya menjadi bencana," kata dia.
Credit
cnnindonesia.com