Pemberhentian massal ini tentu akan berdampak pada layanan kesehatan di Zimbabwe.
CB,
ZIMBABWE -- Pemerintah Zimbabwe memecat lebih dari 10 ribu perawat yang
melakukan aksi mogok kerja pada Senin (16/4) lalu. Aksi mogok para
perawat ini dilatarbelakangi oleh rendahnya upah yang diterima para
perawat di Zimbabwe.
Wakil Presiden Zimbabwe Constantino Chiwenga mengatakan, para perawat
tersebut menolak untuk kembali bekerja meski pemerintah telah
menggelontorkan sekitar 17 juta dolar Amerika atau sekitar Rp 234 miliar
untuk menaikkan upah para perawat. Chiwenga bahkan mengejek, jika para
perawat tersebut sudah kehilangan minat untuk menyelamatkan nyawa
manusia.
"Pemerintah telah memutuskan, demi para pasien dan
upaya menyelamatkan nyawa, untuk memberhentikan semua perawat yang
mogok kerja dengan segera," papar Chiwenga seperti dilansir
BBC.
Pemberhentian
massal ini tentu akan berdampak pada layanan kesehatan di Zimbabwe.
Untuk menggantikan para perawat yang diberhentikan, pemerintah Zimbabwe
akan merekrut para perawat yang belum bekerja maupun perawat yang sudah
pensiun.
Terkait putusan ini, Asosiasi Perawat Zimbabwe
turut angkat bicara. Dalam pernyataan resminya, Asosiasi Perawat
Zimbabwe menyatakan bahwa para perawat akan tetap melakukan mogok kerja.
Terlepas
dari masalah upah, aksi mogok kerja ini juga dilatarbelakangi oleh
tekanan yang cukup tinggi terkait pekerjaan perawat. Hal ini diungkapkan
oleh salah satu perawat di Zimbabwe yang tak ingin disebutkan namanya.
Perawat
ini mengatakan, pada mulanya ia merasa sangat senang terhadap pekerjaan
yang dia lakukan sebagai perawat. Dia bahkan terus belajar dan berhasil
menjadi bidan dengan harapan dapat berperan lebih banyak untuk membantu
pasien.
Setiap hari, perawat tersebut menangani proses
kelahiran para perempuan Zimbabwe. Namun keterbatasan layanan kesehatan
di sana membuat perawat ini harus menghadapi kenyataan pahit. Ia tak
jarang harus merawat ibu yang baru melahirkan tanpa alas tidur sama
sekali.
"Seorang perempuan melahirkan bayinya dan ia
tertidur di atas lantai yang dingin bersama bayi yang baru ia lahirkan,"
kata perawat tersebut.
Beberapa hari menunggu dan tidur di
atas lantai, bayi yang dilahirkan perempuan tersebut akhirnya tewas
karena terkena bronkitis. Perawat tersebut merasa turut berperan dalam
kematian bayi tersebut karena tak bisa berbuat banyak. "Itu sangat
membuat frustasi, itu terasa menyakitkan," papar perawat tersebut.
Di
sisi lain, sebagai perawat ia tak bisa menceritakan apa yang terjadi
pada orang lain. Perawat tersebut mengatakan pemerintah melakukan
pemecatan massal karena mengira para perawat sedang mempolitisasi
situasi. Padahal, para perawat ini hanya sedang menyoroti masalah yang
perlu mendapat perhatian.
Perawat tersebut mencontohkan,
situasi yang terjadi di salah satu rumah sakit terbesar Zimbabwe, Harare
Central Hospital, cukup menyedihkan. Para perawat terpaksa memberikan
layanan di bawah standar demi membuat semuanya tampak baik-baik saja.
"Anda
akhirnya akan memberikan perawatan di bawah standar hanya karena kita
perlu menampilkan kesan bahwa semuanya baik-baik saja," ungkap perawat
tersebut.