Kamis, 19 April 2018

Mogok Kerja, Zimbabwe Pecat 10 Ribu Perawat


Panglima Pasukan Pertahanan Zimbabwe Jenderal Constantino Chiwenga.
Panglima Pasukan Pertahanan Zimbabwe Jenderal Constantino Chiwenga.
Foto: AP/Tsvangirayi Mukwazhi


Pemberhentian massal ini tentu akan berdampak pada layanan kesehatan di Zimbabwe.



CB, ZIMBABWE -- Pemerintah Zimbabwe memecat lebih dari 10 ribu perawat yang melakukan aksi mogok kerja pada Senin (16/4) lalu. Aksi mogok para perawat ini dilatarbelakangi oleh rendahnya upah yang diterima para perawat di Zimbabwe.

Wakil Presiden Zimbabwe Constantino Chiwenga mengatakan, para perawat tersebut menolak untuk kembali bekerja meski pemerintah telah menggelontorkan sekitar 17 juta dolar Amerika atau sekitar Rp 234 miliar untuk menaikkan upah para perawat. Chiwenga bahkan mengejek, jika para perawat tersebut sudah kehilangan minat untuk menyelamatkan nyawa manusia.

"Pemerintah telah memutuskan, demi para pasien dan upaya menyelamatkan nyawa, untuk memberhentikan semua perawat yang mogok kerja dengan segera," papar Chiwenga seperti dilansir BBC.

Pemberhentian massal ini tentu akan berdampak pada layanan kesehatan di Zimbabwe. Untuk menggantikan para perawat yang diberhentikan, pemerintah Zimbabwe akan merekrut para perawat yang belum bekerja maupun perawat yang sudah pensiun.

Terkait putusan ini, Asosiasi Perawat Zimbabwe turut angkat bicara. Dalam pernyataan resminya, Asosiasi Perawat Zimbabwe menyatakan bahwa para perawat akan tetap melakukan mogok kerja.

Terlepas dari masalah upah, aksi mogok kerja ini juga dilatarbelakangi oleh tekanan yang cukup tinggi terkait pekerjaan perawat. Hal ini diungkapkan oleh salah satu perawat di Zimbabwe yang tak ingin disebutkan namanya.

Perawat ini mengatakan, pada mulanya ia merasa sangat senang terhadap pekerjaan yang dia lakukan sebagai perawat. Dia bahkan terus belajar dan berhasil menjadi bidan dengan harapan dapat berperan lebih banyak untuk membantu pasien.

Setiap hari, perawat tersebut menangani proses kelahiran para perempuan Zimbabwe. Namun keterbatasan layanan kesehatan di sana membuat perawat ini harus menghadapi kenyataan pahit. Ia tak jarang harus merawat ibu yang baru melahirkan tanpa alas tidur sama sekali.

"Seorang perempuan melahirkan bayinya dan ia tertidur di atas lantai yang dingin bersama bayi yang baru ia lahirkan," kata perawat tersebut.

Beberapa hari menunggu dan tidur di atas lantai, bayi yang dilahirkan perempuan tersebut akhirnya tewas karena terkena bronkitis. Perawat tersebut merasa turut berperan dalam kematian bayi tersebut karena tak bisa berbuat banyak. "Itu sangat membuat frustasi, itu terasa menyakitkan," papar perawat tersebut.

Di sisi lain, sebagai perawat ia tak bisa menceritakan apa yang terjadi pada orang lain. Perawat tersebut mengatakan pemerintah melakukan pemecatan massal karena mengira para perawat sedang mempolitisasi situasi. Padahal, para perawat ini hanya sedang menyoroti masalah yang perlu mendapat perhatian.

Perawat tersebut mencontohkan, situasi yang terjadi di salah satu rumah sakit terbesar Zimbabwe, Harare Central Hospital, cukup menyedihkan. Para perawat terpaksa memberikan layanan di bawah standar demi membuat semuanya tampak baik-baik saja.

"Anda akhirnya akan memberikan perawatan di bawah standar hanya karena kita perlu menampilkan kesan bahwa semuanya baik-baik saja," ungkap perawat tersebut. 






Credit  republika.co.id