Senin, 30 April 2018

Tolak Damai dengan Korut, Pedemo Korsel Desak Moon Mundur


Tolak Damai dengan Korut, Pedemo Korsel Desak Moon Mundur
Pertemuan Kim Jong-un dan Moon Jae-in. (Foto: Korea Summit Press Pool/Pool via Reuters



Jakarta, CB -- Ratusan warga di Seoul menggelar protes di dekat balai kota sebagai bentuk penolakan terhadap upaya rekonsiliasi antara Korea Selatan dan Korea Utara, Minggu (28/4).

Demo itu berlangsung dua hari setelah Presiden Moon Jae-in dan Kim Jong-un bertemu dan mengeluarkan pernyataan bersama Deklarasi Panmunjom.

Sebagian pemrotes berteriak "Moon harus pergi" sambil berjalan mengelilingi taman di sekitar balai kota. Sejumlah pedemo lainya bahkan turun ke jalan sambil membawa bendera Amerika Serikat, sekutu terdekat Korsel, sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan Moon yang ingin menjaga jarak dengan Washington.


Kepada Sputnik, seorang wanita yang turut serta dalam demo mengatakan deklarasi damai yang disepakati kedua pemimpin Korea pada Jumat (27/4) lalu adalah "perdamaian palsu".


Seorang pedemo lainnya menganggap bahwa "Korut hanya membutuhkan uang".

Sejumlah pengunjuk rasa lainnya meneriaki para petugas polisi yang berupaya menertibkan mereka. Lalu lintas di pusat kota sempat terhambat karena demonstrasi tersebut.

Sebagian besar pemrotes dilaporkan merupakan warga lanjut usia yang masih mengingat jelas kelamnya Perang Korea 1950-1953 lalu.

Banyak pula luka lama yang masih tersimpan di sebagian benak veteran dan generasi tua Korsel terkait perang saudara itu.

Tolak Damai dengan Korut, Pedemo Korsel Desak Moon Mundur
Pertemuan Kim Jong-un dan Moon Jae-in.  (Foto: Korea Summit Press Pool/Pool via Reuters)
Perang yang menewaskan hingga 2 juta warga sipil itu berakhir bukan dengan kesepakatan damai, tapi dengan perjanjian gencatan senjata antara Amerika Serikat dan militer Korut di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Korsel menolak menandatangani kesepakatan gencatan senjata tersebut.

Dunia internasional menyambut baik pertemuan Moon dan Kim kemarin yang dinilai sebagai babak baru perdamaian di Semenanjung Korea. Pertemuan keduanya bahkan dianggap membuka jalan kedua Korea untuk kembali membicarakan reunifikasi setelah hampir tujuh dekade terpisah.

Namun, tak seluruh warga Korsel ternyata menginginkan penyatuannegara itu terjadi. Dikutip Time, survey yang dilakukan Korea Institute for National Unification menemukan bahwa 71,2 persen warga Korsel berusia sekitar 20 tahun menolak reunifikasi kedua negara.


Dari seluruh kelompok usia, dukungan generasi muda Korsel terkait wacana reunifikasi juga terus menurun dari 70 persen menjadi 57,8 persen selama empat tahun terakhir.

"Bagi generasi muda, Korea Utara tidak lagi penting," ujar seorang mahasiswa Korsel jurusan Ekonomi, Somin Yoon.






Credit  cnnindonesia.com