Senin, 30 April 2018

Bertemu Utusan DK PBB, Pengungsi Rohingya Menangis


Bertemu Utusan DK PBB, Pengungsi Rohingya Menangis
Dubes Inggris untuk PBB Karen Pierce, berusaha menenangkan seorang anak perempuan, pengungsi Rohingya berusia 12 tahun yang menangis saat menceritakan penderitaanya di Cox’s Bazar, Bangladesh, April 29, 2018. (REUTERS/Michelle Nichols)


Jakarta, CB - Para pengungsi Rohingya di kamp pengungsi Cox's Bazar, Bangladesh mencurahkan segala keluh kesahnya saat dikunjungi delegasi utusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB), Minggu (29/4). Mereka minta bantuan agar dapat pulang ke kampung halamannya dengan selamat di Myanmar.

Beberapa wanita dan anak perempuan menangis dan memeluk Duta Besar Inggris untuk PBB, Karen Pierce, saat bercerita apa yang terjadi pada mereka. Para pengungsi tersebut minta keadilan atas pembunuhan, pemerkosaan dan pembakaran yang menyebabkan mereka terpaksa mengungsi dari kampung halamannya di negara bagian Rakhine, Myanmar.

"Hal ini menunjukkan besarnya tantangan, saat kita sebagai DK PBB mencari jalan bagaimana mereka bisa pulang," kata Pierce. "Hal yang menyedihkan adalah tidak ada yang bisa kita lakukan saat ini yang mengurangi penderitaan mereka."


Para utusan DK PBB yang akan bertemu pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, Senin (30/4), mampir ke kamp pengungsi Kutupalong, Cox's Bazar, Minggu (29/4). Kamp pengungsi yang gersang, kering, dan berdebu tersebut menampung 700 ribu warga Rohingya yang menyelamatkan diri dari Rakhine Utara, Myanmar.

"Sangat mengharukan, saya belum pernah menyaksikan kamp pengungsi seperti ini. Bencana bakal terjadi jika hujan mengguyur," kata Deputi Duta Besar AS untuk PBB, Kelley Currie.

Beberapa pejabat PBB dan relawan kemanusiaan telah menyerukan kekhawatiran akan datangnya musim hujan yang memperburuk situasi di penampungan pengungsi itu. Ratusan ribu pengungsi tinggal di gubuk-gubuk yang terbuat dari bambu, plastik dan terpal yang dibangun ala kadarnya. Banyak yang berada di area perbukitan yang curam atau sebaliknya, dataran rendah yang rawan dilanda banjir.

Menteri Kesejahteraan Sosial Myanmar Win Myat Aye, yang mengunjungi kamp pengungsi tersebut awal bulan ini juga mengaku prihatin atas kondisi yang sangat buruk tersebut.

Ratusan ribu pengungsi Rohingya mengalir dari Rakhine Utara, Myanmar, ke perbatasan Bangladesh sejak Agustus lalu. Saat militer Myanmar menggelar operasi untuk mencari para penyerang pos-pos keamanannya. AS, Inggris dan PBB menggambarkan operasi tersebut sebagai pembersihan etnis minoritas. Myanmar membantah tuduhan tersebut.



Kamp Pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh.
Foto: REUTERS/Adnan Abidi
Kamp Pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh.
Ratusan pengungsi menyambut para utusan DK PBB dengan berbaris membawa spanduk bertuliskan "kami menuntut keadilan." "Kami berdiri di sini untuk menuntut keadilan karena mereka (militer Myanmar) telah memburuh para pria kami dan menyiksa perempuan, kami mendesak untuk mencari keadilan atas pelanggaran itu," kata seorang pengungsi, Sajida Begum, seperti dilaporkan Reuters.

Kepada para utusan DK PBB, beberapa pengungsi perempuan mengaku pasukan Myanmar memperkosa mereka, menyerang anak-anak mereka, dan membunuh suami mereka. Myanmar menyatakan operasi militer di Rakhine adalah tindakan sah untuk merespons serangan dari gerilyawan Rohingya.

"Ini masalah yang sangat rumit. Berkaitan dengan sejarha, etnis dan agama," kata Deputi Duta besar China Wu Haitao kepada wartawan menjawab pertanyaan soal apakah China dan Rusia akan menghalangi DK PBB meloloskan resolusi tentang Myanmar. "Tidak ada penyelesaian yang mudah, tapi jika kita semua bekerja sama menurut saya kita akan menemuka caranya," kata dia.

"Kita tidak punya solusi ajaib di DK PBB," kata Wakil Duta Besar Rusia, Dmitry Polyanskiy kepada wartawan. "Kami masih mengedepankan cara bilateral untuk menyelesaikan masalah ini. Kami mendorong kedua pemerintah (Bangladesh dan Myannmar) melakukan negosiasi konstruktif," kata dia.



DK PBB mengadopsi sebuah pernyataan resmi pada November lalu, yang mendesak Myanmar untuk memastikan tidak ada penggunaan kekuatan militer yang berlebihan dan memungkinkan kebebsan bergerak, akses yang setara ke layanan dasar serta kewarganegaraan bagi semua rakyatnya. Selama ini Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai warganya. Karena itu dan menyebut mereka sebagai Bengali, atau orang-orang yang datang dari Teluk Bengal.





Credit  cnnindonesia.com