Sabtu, 17 Maret 2018

Stephen Hawking, Fisikawan Ateis Kini Menghadap Tuhan


Stephen Hawking

Stephen Hawking
Foto: EPA/Ramon De la Rocha
Stephen Hawking dikenal sebagai ateis atau tidak percaya Tuhan.


"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS al-Anbiya: 30).
Berabad-abad setelah ayat tersebut diterima Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam 14 abad silam, tafsir para mufasir soal ayat tersebut sedikit saja berubah. Ibnu Katsir dan Imam Suyuti menyepakati ayat itu menerangkan langit dan bumi mulanya lapisan-lapisan yang menumpuk dan kemudian dipisahkan dan disusul turunnya hujan yang menghijaukan dan menghidupkan bumi.
Belakangan, sejak pertengahan abad ke-20, ayat itu punya konotasi lain. Tak sedikit ulama dan ilmuwan Muslim yang meyakini ayat itu mengindikasikan soal peristiwa Big Bang. Teori yang kini diakui secara meluas oleh mayoritas ilmuwan fisika itu menerangkan soal awal terciptanya alam semesta dari setitik noktah tunggal yang meledak dengan akbar miliaran tahun lampau dan terus mengembang menjadi galaksi-galaksi, bintang-gemintang di dalamnya, serta planet-planet yang mengitari bintang-bintang tersebut.
Saat kemunculannya pada 1920-an, teori tersebut sempat tak dianggap di kalangan ilmuwan yang kebanyakan memercayai teori keadaan tetap alam semesta tanpa awal dan tanpa akhir. Namun, pada 1959 terjadi titik balik. Semuanya bermula saat seorang mahasiswa Universitas Oxford, Inggris, bernama Stephen Hawking menyadari ia terkena penyakit saraf motorik amyotrophic lateral sclerosis (ALS) yang mengancam melumpuhkan tubuhnya.
photo
Stephen Hawking
Dibayangi penyakit tersebut, Hawking mencurahkan pikiran pada bidang fisika teoritis, terutama terkait kosmologi. Seperti dilansir BBC, ia kemudian mengambil PhD di Universitas Cambridge dan mempelajari dengan tekun soal teori spekulatif tentang lubang hitam alias black hole, sebuah keadaan saat bintang tertentu mati dan menjadi objek dengan daya tarik gravitasi dahsyat yang menyedot segala materi, bahkan cahaya.
Dari telaahannya terhadap teori tersebut, Hawking menyimpulkan Big Bang adalah semacam kebalikan lubang hitam. Pada 1970, di tengah penyakitnya yang kian parah dan mulai membuat lumpuh, Hawking bersama fisikawan matematis Roger Penrose kemudian menerbitkan teori yang menyimpulkan alam semesta pasti bermula dari sebuah keadaan yang disebut singularitas.
Keadaan saat ruang dan waktu sedemikian padat sehingga tak mematuhi hukum-hukum fisika konvensional. Dari keadaan itulah kemudian alam semesta meledak dan terus mengembang.
Teori singularitas tersebut, meski belakangan dikoreksi Hawking, kemudian dianggap para fisikawan meneguhkan keberadaan lubang hitam dan kebermulaan alam semesta melalui peristiwa Big Bang. Saat ini, teori Big Bang sedemikian kuat mengakar di komunitas ilmiah sampai-sampai dipakai menafsirkan ayat ke-30 surah al-Anbiya di atas.



Stephen Hawking



Stephen Hawking yang juga Profesor Matematik Lucasian menyampaikan kuliah umum
Foto:
Stephen Hawking dikenal sebagai ateis atau tidak percaya Tuhan.
 
 
Hawking meninggal dunia pada usia 76 tahun pada Rabu (14/3) kemarin. "Kami sangat sedih karena ayah tercinta kami meninggal dunia hari ini," tulis anak-anak Hawking dalam pernyataan resmi, kemarin. Keluarga tak memerinci sebab musabab meninggalnya Hawking.
Stephen William Hawking lahir di Oxford pada 8 Januari 1942. Ayahnya merupakan seorang ahli biologi. Dilansir dari BBC, Hawking tumbuh besar di London dan Saint Alban. Saat dia bersiap menikahi istri pertamanya, Jane, pada 1964, para dokter memperkirakan usianya tidak lebih dari dua atau tiga tahun lagi.
Penyakitnya ternyata berkembang lebih lambat dari yang diperkirakan. Pasangan itu memiliki tiga anak. Di tengah penyakit yang menderanya, serta melalui teori-teori selanjutnya, terutama terkait mekanika kuantum, Hawking justru memperoleh posisi semacam selebritas di kalangan ilmuwan.
Pada 1988, meski Hawking hanya bisa berbicara dengan synthesizer suara setelah menjalani trakeostomi, dia menyelesaikan karyanya, A Brief History of Time, alias Sejarah Singkat Waktu, yang merupakan sebuah panduan awam untuk kosmologi.
photoStephen Hawking melayang dalam fase gravitasi nol di atas penerbangan Boeing 727 milik Zero-Gravity Corporation di Cape Canaveral, Amerika, (26/4/2007).
Buku yang mulanya disangka tak bakal laris di pasaran itu terjual lebih dari 10 juta eksemplar. Kepopuleran buku yang hanya berisi satu persamaan fisika tersebut membawa Hawking keluar dari komunitas ilmuwan ke rengkuhan masyarakat awam.
Selain A Brief History of Time (1988), Hawking juga terkenal dengan buku The Grand Design (2010). Isinya secara umum membahas hukum-hukum fisika dan fenomena alam semesta, tetapi kemudian dikaitkan dengan eksistensi Tuhan menurut cara pandang pribadi. Kesimpulannya: tidak ada Tuhan. Sebagian orang menafsirkan dari dua buku tersebut bahwa Hawking telah berubah dalam memahami terbentuknya alam semesta.
Berangkat dari teorinya tentang penciptaan alam semesta, Hawking memiliki pemikiran sendiri tentang Tuhan. "Saat orang bertanya apakah Tuhan menciptakan alam semesta, saya mengatakan bahwa pertanyaan itu tak masuk akal. Waktu tak eksis sebelum Big Bang, jadi tak ada waktu bagi Tuhan untuk menciptakan semesta," katanya.
Selama ini Hawking dikenal sebagai ateis atau tidak percaya Tuhan. Hal inilah yang mendasarinya menuliskan pendapatnya tentang Tuhan dan alam semesta pada bukunya yang berjudul The Grand Design pada 2010. "Tidak perlu meminta Tuhan bertindak dan mengatur alam semesta," tulisnya.
Menurut Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof Thomas Djamaluddin, inti pesan dari dua buku itu tidak ada perbedaan. Peran Tuhan tampaknya digambarkan sesuai dengan definisi keyakinan Hawking sehingga keberadaan hukum alam itu dianggap ada dengan sendirinya.
Kalau mau ditelusuri lagi logikanya, ungkap Thomas, ada pertanyaan belum terjawab soal dari mana hukum alam itu berasal. "Logika orang beriman segera mengarahkan bahwa pasti ada Tuhan Sang Pencipta yang menciptakan hukum-hukum di alam," papar Thomas.
Dalam bahasa Islam, kata Thomas yang lulusan Astronomi ITB, hukum alam diistilahkan sebagai sunatullah. Perintah-Nya ketika menciptakan alam, "kunfayakun, jadilah maka jadilah", bisa dipahami dalam bahasa sains bahwa Allah menciptakan alam dengan menciptakan hukum-hukum-Nya sehingga alam berproses sesuai hukum Allah (sunatullah) tersebut.
Dosen Program Studi Fisika ITB Prof Bobby Eka Gunara menambahkan, yang kontroversial dari Hawking adalah pandangannya mengenai Tuhan dalam pembentukan alam semesta. Terlepas dari hal itu, Bobby menyoroti kiprah Hawking yang banyak berkontribusi pada  perkembangan model kosmologi dan pengetahuan tentang termodinamika lubang hitam.


Peneliti astrofisika Lapan Emanuel Sungging Mumpuni berpendapat senada. Hawking berperan besar pada pengembangan pemahaman tentang lubang hitam dan mekanika kuantum. Sebut misalkan adanya Radiasi Hawking yang terpancar dari lubang hitam terkait efek kuantum pada lubang hitam.
Dua buku Hawking tentang teori terbentuknya alam semesta tersebut, menurut Sungging, merupakan cara dia memasyarakatkan pengetahuan dengan bahasa awam. "Kita tak hanya kehilangan seorang ilmuwan penting yang meletakkan pijakan pada kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi juga figur ilmuwan yang bisa memopulerkan pemahaman kepada masyarakat awam," katanya.
Yang menarik, menurut Sungging, adalah pandangan Hawking tentang alien atau makhluk angkasa tak dikenal. Hawking berpendapat, bisa jadi alien itu ada.
"Hawking seorang visioner, memiliki pandangan pada kehadiran makhluk planet lain, kolonisasi antariksa. Juga seorang yang peduli lingkungan sebagai pendukung pentingnya isu 'pemahaman global' demi keberlangsungan generasi mendatang," ungkap Sungging.
Pakar komputasi dan informasi kuantum dari Universitas Binus, Agung Trisetyarso, mengungkapkan, Hawking pada akhir hayatnya meyakini bumi sudah tidak bisa menampung umat manusia lagi. Ia menekankan, umat manusia harus pindah secepatnya ke planet lain agar bisa lestari.
Bagaimanapun, kehidupan Hawking adalah juga kisah soal persistensi menghadapi kondisi yang tak menguntungkan serta pencarian tak henti soal asal mula alam semesta. Cobalah memahami yang engkau lihat dan selalu bertanya-tanya apa yang menyebabkan keberadaan alam semesta.
"Sesukar apa pun hidup, selalu ada sesuatu yang bisa kau lakukan dengan baik. Ini hanya persoalan tak mudah menyerah," ujarnya.
photo Stephen Hawking menyampaikan presentasi saat peluncuran award komunikasi yang menggunakan namanya “Stephen Hawking Medal of Science Communicatioan di Inggris (16/12/2015).

Berstatus sebagai seorang ilmuwan, tidak menghilangkan sisi kemanusiaan Hawking. Saat masih hidup, Hawking menyatakan dukungannya untuk kebebasan anak-anak Palestina dalam menutut ilmu. Ia pun sempat melakukan aksi boikot untuk Israel dan menggalang dana untuk anak-anak Palestina.
Dukungan dengan wujud nyata dilakukan Hawking saat menolak menghadiri undangan konferensi di Israel pada 8 Mei 2013. Dilansir BBC, sikap Hawking pun dikecam ketua panitia konferensi, Israel Maimon.
Tak hanya aksi boikot, Hawking juga menyumbang dana untuk para penuntut ilmu di Palestina. "Saya mendukung hak-hak ilmuwan di mana-mana untuk kebebasan gerakan, publikasi, dan kolaborasi. Dalam semangat ini, saya ingin membawa proyek penggalangan dana yang bertujuan untuk menggalang dana untuk membuat sekolah fisika tingkat lanjut Palestina kedua. Harap pertimbangkan untuk membuat sumbangan hari ini untuk mendukung ilmu di Palestina," tulis Hawking dalam akun Facebook yang terverifikasi pada 13 Februari 2017.


Credit   republika.co.id