Selasa, 27 Maret 2018

Jelang Pemilu, Malaysia Ajukan RUU Anti-Hoaks


Jelang Pemilu, Malaysia Ajukan RUU Anti-Hoaks
Perdana Menteri Malaysia Najib Razak mengajukan rancangan undang-undang (RUU) anti-hoaks menjelang pemilihan umum. (REUTERS/Olivia Harris)


Jakarta, CB -- Perdana Menteri Malaysia Najib Razak mengajukan beleid yang bakal menghukum mereka yang menyebarkan fake news atau berita palsu, dengan denda berat dan hukuman 10 tahun di penjara.

Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut diajukan menjelang pemilihan umum yang sedianya bakal digelar beberapa pekan mendatang, di tengah menyebarnya kritik atas skandal dana 1Malaysia Development Berhad (1MDB).

Di bawah RUU Anti-Berita Palsu 2018, siapa saja yang terbukti mempublikasikan hoaks dapat dikenakan denda 500 ribu ringgit (Rp1,76 miliar), 10 tahun penjara, atau dua-duanya.


"Beleid yang diusulkan bertujuan untuk melindungi masyarakat dari menyebarnya berita palsu, dan memastikan hak-hak kebebasan berbicara dan berekspresi yang dihormati di bawah Konstitusi Federal," kata pemerintah Malaysia terkait RUU tersebut.


Pemerintah Malaysia mendefinisikan berita palsu sebagai "kabar, informasi, data dan laporan yang sebagian atau seluruhnya salah," termasuk feature, visual dan rekaman audio.

RUU yang mencakup publikasi digital, dan sosial media, akan berlaku untuk para pelanggar di luar Malaysia, termasuk warga asing, jika hal itu mempengaruhi Malaysia atau warga Malaysia.

Dalam RUU itu, pemerintah menyatakan bahwa masyarakat diharapkan lebih bertanggung jawab dan berhati-hati dalam berbagi berita dan informasi.

Kalangan oposisi di parlemen mempertanyakan urgensi dari RUU tersebut. Mereka beralasan pemerintah sudah memiliki kekuasaan yang luas atas kebebasan berbicara dan media.

"Ini adalah serangan terhadap pers dan upaya untuk menanamkan rasa takut di kalangan rakyat sebelum GE14," kata politisi oposisi Ong Kian Ming di akun Twitter-nya, tak lama setelah RUU itu diajukan. GE14 adalah istilah Malaysia untuk pemilihan umum tahun ini.



Parlemen, di mana pemerintah menguasai mayoritas, diperkirakan bakal menggelar pemungutan suara atas RUU tersebut minggu ini.

Presiden AS Donald Trump mempopulerkan istlah 'berita palsu' atau 'fake news', yang dia gunakan untuk menggambarkan laporan media dan organisasi yang kritik terhadap dia.

Istilah tersebut dengan cepat menjadi bagian dari ujaran standar para pemimpin di negara-negara otoriter seperti Venezuela dan Myanmar.

Beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Singapura dan Filipina juga telah mengusulkan beleid yang mencegah penyebaran 'berita palsu'. Rencana tersebut menuai kekhawatiran dari para aktivis kebebasan media.

Asosiasi Pers Malaysia memperingatkan beleid itu dapat melumpuhkan media karena akan memberi kekuasaan penuh bagi pemerintah untuk menghapus artikel yang dianggap merugikan ketertiban umum atau keamanan nasional.

"Memungkinkan satu pihak memiliki kekuatan yang tak perlu dipertanyakan lagi, untuk menghapus artikel yang tidak disukai dengan mudah," kata Serikat Jurnalis Nasional dalam sebuah pernyataan yang dilansir Reuters, Senin (26/3).


Jelang Pemilu, Malaysia Ajukan RUU Anti-Hoaks
Foto: REUTERS/Olivia Harris


Skandal 1MDB yang diekspos media asing dan blog-blog berita pada 2015, tak mereda pemberitaan mereka meski PM Najib secara konsisten menyangkal kesalahan dan cengkeraman pemerintah atas media arus utama Malaysia.

Transaksi terkait 1MDB sedang diselidiki di enam negara, termasuk Amerika Serikat, di mana Departemen Kehakiman telah meluncurkan kasus perdata guna memulihkan aset-aset terkait dana tersebut, di bawah penyelidikan anti-kleptokrasi.

Pemerintah Malaysia menindak keras pemberitaan media terkait 1MDB. Menangguhkan satu surat kabar, The Edge pada 2015 dan memblokir situs web yang mempublikasikan berita yang kritis terhadap peran Najib dalam skandal tersebut.

Seorang deputi menteri, dikutip media Malaysia, pekan lalu menyatakan berita apapun tentang 1MDB yang tidak diverifikasi pemerintah adalah 'berita palsu'.





Credit  cnnindonesia.com