TEL AVIV
- Novichok, racun saraf terhebat yang pernah dimiliki Rusia di era
Soviet pernah membuat Israel ketakutan karena jenderal yang
mengembangkannya ingin menjual racun itu kepada Suriah.
Racun saraf itu kini sedang jadi sorotan dunia karena diduga digunakan untuk menyerang mantan agen ganda Rusia; Sergei Skripal, di Inggris yang kini memicu perseteruan kedua negara.
Jenderal Anatoly Kuntsevich adalah jenderal di balik pengembangan racun saraf ganas tersebut. Namun, jenderal Soviet—kini bernama Rusia—ini tewas misterius tahun 1990-an.
Dia sebelumnya diincar Mossad—badan intelijen Israel—karena dianggap berusaha menjual racun Novichok ke Suriah. Damaskus saat itu menjadi salah satu musuh Tel Aviv.
Kematian misterius Jenderal Kuntsevich memicu spekulasi bahwa Mossad sebagai pelakunya.
Di tengah-tengah runtuhnya Uni Soviet, Kuntsevich mulai aktif mencoba menjual pengetahuannya kepada orang-orang Suriah. Gerak-geriknya ditulis wartawan dan penulis Israel Ronen Bergman. Laporan tentang kisah jenderal Rusia ini muncul dalam artikel berjudul "Rise and Kill First: The Secret History of Israel’s Targeted Assassinations" yang diterbitkan awal tahun ini.
"Tampaknya bisnisnya dengan orang-orang Suriah bukanlah inisiatif pemerintah (Rusia) melainkan sebuah usaha untuk menjaga kepentingannya sendiri," tulis Bergman yang dia sebut menerima sejumlah besar uang.
Israel berulang kali memperingatkan Moskow, terkai sepak terjang jenderalnya itu namun sia-sia. "Dipercaya bahwa (Presiden Rusia Boris) Yeltsin tidak dapat, atau tidak mau untuk campur tangan," lanjut laporan Bergman, yang dilansir Ynet, Jumat (16/3/2018) malam.
Bergman mengutip buku "The Volunteer", yang diterbitkan di Kanada oleh Michael Ross, di mana dia mengaku sebagai agen Mossad dan mengatakan bahwa dia berulang kali dikirim untuk memperingatkan pejabat senior Rusia tentang kegiatan Kuntsevich. Sekali lagi, usaha agen intelijen Israel itu tanpa hasil apapun.
"Israel sangat marah. Pada tanggal 29 April 2002, dalam keadaan yang tidak diketahui, Kuntsevich meninggal dalam penerbangan dari Aleppo ke Moskow," tulis Bergman.
"Orang-orang Suriah tampaknya yakin bahwa intelijen Israel telah berhasil mencapai dan meracuni jenderal tersebut," lanjut Bergman.
Suriah setuju untuk menyerahkan persenjataan kimia pada tahun 2013 ketika Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengancam akan menyerang Damaskus sebagai pembalasan atas serangan senjata kimia di daerah yang dikuasai pemberontak di pinggiran Damaskus selama perang sipil. Serangan tersebut diyakini telah menewaskan lebih dari 1.000 orang. Obama membatalkan niatnya untuk menyerang Suriah setelah Presiden Bashar al-Assad setuju untuk menyerahkan senjata tersebut.
Namun, Suriah telah berulang kali dituduh menggunakan gas klorin dalam serangan lain.
Racun saraf itu kini sedang jadi sorotan dunia karena diduga digunakan untuk menyerang mantan agen ganda Rusia; Sergei Skripal, di Inggris yang kini memicu perseteruan kedua negara.
Jenderal Anatoly Kuntsevich adalah jenderal di balik pengembangan racun saraf ganas tersebut. Namun, jenderal Soviet—kini bernama Rusia—ini tewas misterius tahun 1990-an.
Dia sebelumnya diincar Mossad—badan intelijen Israel—karena dianggap berusaha menjual racun Novichok ke Suriah. Damaskus saat itu menjadi salah satu musuh Tel Aviv.
Kematian misterius Jenderal Kuntsevich memicu spekulasi bahwa Mossad sebagai pelakunya.
Di tengah-tengah runtuhnya Uni Soviet, Kuntsevich mulai aktif mencoba menjual pengetahuannya kepada orang-orang Suriah. Gerak-geriknya ditulis wartawan dan penulis Israel Ronen Bergman. Laporan tentang kisah jenderal Rusia ini muncul dalam artikel berjudul "Rise and Kill First: The Secret History of Israel’s Targeted Assassinations" yang diterbitkan awal tahun ini.
"Tampaknya bisnisnya dengan orang-orang Suriah bukanlah inisiatif pemerintah (Rusia) melainkan sebuah usaha untuk menjaga kepentingannya sendiri," tulis Bergman yang dia sebut menerima sejumlah besar uang.
Israel berulang kali memperingatkan Moskow, terkai sepak terjang jenderalnya itu namun sia-sia. "Dipercaya bahwa (Presiden Rusia Boris) Yeltsin tidak dapat, atau tidak mau untuk campur tangan," lanjut laporan Bergman, yang dilansir Ynet, Jumat (16/3/2018) malam.
Bergman mengutip buku "The Volunteer", yang diterbitkan di Kanada oleh Michael Ross, di mana dia mengaku sebagai agen Mossad dan mengatakan bahwa dia berulang kali dikirim untuk memperingatkan pejabat senior Rusia tentang kegiatan Kuntsevich. Sekali lagi, usaha agen intelijen Israel itu tanpa hasil apapun.
"Israel sangat marah. Pada tanggal 29 April 2002, dalam keadaan yang tidak diketahui, Kuntsevich meninggal dalam penerbangan dari Aleppo ke Moskow," tulis Bergman.
"Orang-orang Suriah tampaknya yakin bahwa intelijen Israel telah berhasil mencapai dan meracuni jenderal tersebut," lanjut Bergman.
Suriah setuju untuk menyerahkan persenjataan kimia pada tahun 2013 ketika Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengancam akan menyerang Damaskus sebagai pembalasan atas serangan senjata kimia di daerah yang dikuasai pemberontak di pinggiran Damaskus selama perang sipil. Serangan tersebut diyakini telah menewaskan lebih dari 1.000 orang. Obama membatalkan niatnya untuk menyerang Suriah setelah Presiden Bashar al-Assad setuju untuk menyerahkan senjata tersebut.
Namun, Suriah telah berulang kali dituduh menggunakan gas klorin dalam serangan lain.
Setelah sekian tahun jejak racun Novichok misterius, pada 4 Maret lalu, mantan agen intelijen Rusia, Sergei Skripal, bersama dengan putrinya, Yulia Skripal, dan seorang perwira polisi Inggris, ditemukan tak sadarkan diri di Salisbury, Inggris selatan. Mereka diduga diserang racun Novichok.
Inggris dan Amerika Serikat (AS) menuduh Rusia sebagai dalang serangan terhadap mantan agen intelijen yang telah berkhianat pada Moskow itu. Namun, Kremlin membantah dan menuntut bukti atas tuduhan itu.
Rusia bersikukuh bahwa tidak ada motif untuk menargetkan Skripal dengan apa yang dikatakan Inggris sebagai serangan pertama di Eropa sejak Perang Dunia II.
Wakil Menteri Luar Negeri Sergei RyabkoV membantah bahwa Rusia bahkan memiliki program untuk mengembangkan agen saraf Novichok.
"Saya ingin menyatakan dengan pasti kemungkinan bahwa Uni Soviet atau Rusia tidak memiliki program untuk mengembangkan agen racun yang disebut Novichok," katanya kepada kantor berita Interfax.
Dia mengecam orang menyebarkan informasi bahwa program tersebut diduga nyata setelah ahli kimia Soviet Vil Mirzayanov pertama kali mengungkapkan adanya agen saraf ultra-kuat tersebut.
Mirzayanov, yang sekarang tinggal di Amerika Serikat, mengatakan Moskow menemukan agen saraf yang sangat beracun selama Perang Dingin dan menggunakannya di sebuah institut yang berbasis di Moskow di mana dia bekerja sampai awal 1990-an.
"Kami mengakhiri semua penelitian di bidang agen beracun militer setelah bergabung dengan Konvensi Senjata Kimia, dan tahun lalu semua persediaan agen beracun hancur," kata Ryabkov.
Sebaliknya, kata dia, Amerika Serikat telah gagal melakukan hal yang sama.
"Saya berharap bahwa perdebatan seputar tragedi di Salisbury tidak akan menjadi dalih baru bagi AS untuk meninggalkan apa yang harus mereka lakukan dalam kerangka kewajiban mereka sendiri," imbuh dia.
Dalam sebuah pernyataan bersama yang langka, Presiden AS Donald Trump, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Angela Merkel, dan Perdana Menteri Inggris Theresa May kompak menuding Rusia bertanggung jawab atas apa yang terjadi di Salisbury. Mereka mengatakan penggunaan senjata kimia adalah serangan terhadap kedaulatan Inggris dan pelanggaran hukum internasional.
Credit sindonews.com