ICC lakukan pemeriksaan dugaan pembunuhan dalam pemberantasan narkotika di Filipina.
CB,MANILA
-- Presiden Filipina Rodrigo Duterte meminta negara-negara yang menjadi
anggota Pengadilan Pidana Internasional (ICC) untuk keluar. Ia
mengatakan bahwa pengadilan itu telah bertindak sewenang-wenang dan
tidak sopan.
Filipina menjadi salah satu negara yang meratifikasi Statuta Roma,
dasar perjanjian yang membentuk ICC. Karena itu, negara ini dapat
diadili atas kejahatan-kejatan yang termasuk pidana internasional.
Karena
itu, Duterte disebut dapat menghadapi kemungkinan untuk diadili di ICC
atas tuduhan ribuan pembunuhan selama masa jabatannya. Namun, dalam
sebuah pernyataan, pria berusia 72 tahun itu mengatakan Filipina tidak
pernah menjadi pihak dalam perjanjian tersebut, dengan alasan hal itu
tidak pernah dipublikasikan secara resmi kepada warga negaranya, sesuai
dengan ketentuan undang-undang.
Setelah resmi dilantik
sebagai presiden pada 30 Juni 2016, Duterte menggalakkan kampanye keras
melawan narkotika. Dalam kebijakan yang ia keluarkan, polisi dan aparat
keamanan negara diizinkan untuk melakukan tindakan keras terhadap
orang-orang terkait kejahatan obat terlarang itu.
Hingga
saat ini, lebih dari 9.000 orang yang terkait dengan narkotika
diperkirakan tewas. Banyak pemimpin negara dan kelompok aktivis HAM yang
menyebut mantan wali kota Davao itu justru telah melakukan pembunuhan
sewenang-wenang. Hal itu karena banyak diantara mereka yang kehilangan
nyawa belum terbukti secara hukum sepenuhnya bersalah.
Bulan
lalu, seorang jaksa ICC mengumumkan pemeriksaan pendahuluan atas dugaan
pembunuhan di luar hukum dalam operasi pemberantasan narkotika di
Filipina tengah dilakukan. Ada kemungkinan bahwa Duterte telah melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sebelumnya, Kepolisian
Filipina juga telah berada di bawah pengawasan ketat media atas kampanye
anti-narkotika yang membuat ribuan orang terbunuh itu. Sebelumnya,
kepolisian negara itu mengatakan bahwa personel mereka tak pernah
melakukan tindakan menghilangkan nyawa dalam operasi pemberantasan obat
terlarang itu. Bahkan, aparat disebut memiliki kewajiban untuk
menyelamatkan nyawa seseorang, sekalipun sedang menghadapi perlawanan.