"Sebaiknya Trump membatalkan niat ini, kalau mau membawa perdamaian antara Palestina dan Israel," kata dia kepada Republika.co.id, Senin (4/12).
Dia mengatakan, dalam setiap proses perdamaian dari berbagi macam putaran, isu Yerussalem yang paling dihindari karena memang sangat sensitif. Maka kalau tiba-tiba Trump hendak mengumumkan pengakuan ini, jelas akan menyulut konflik baru. Bahkan tidal hanya konflik, tetapi juga perang dengan dunia Arab dan Islam.
Menurutnya, pengakuan itu bisa membahayakan dan makin memperparah ketidakstabilan politik global, karena ini meyangkut tempat suci umat Islam. "Saya kira kita tunggu saja, telah muncul protes dari berbagai pihak, bahkan yang ada di Amerika," ujarnya.
Sebelumnya Trump dikabarkan akan mengumumkan pengakuan tersebut pada Rabu (6/12) mendatang. Dalam pidato di sebuah lembaga pada Ahad kemarin, Jared Kushner, penasihat utama sekaligus menantu Trump menyatakan keleluasaan presiden untuk mengumumkan niatannya pada waktu yang tepat.
Credit REPUBLIKA.CO.ID
Turki: Pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel Akan Sebabkan Bencana
ANKARA
- Turki menuturkan, jika Amerika Serikat (AS) akhirnya mengakui
Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, maka hal ini akan menimbulkan bencana
di kawasan. Menurut Ankara, konflik baru akan muncul di kawasan yang
sudah subur akan konflik tersebut.
Wakil Perdana Menteri Turki, Bekir Bozdag menyatakan, status Yerusalem telah ditentukan oleh kesepakatan internasional, dan bahwa pelestarian akan hal itu penting untuk perdamaian di wilayah tersebut.
"Status Yerusalem dan Bukit Bait Suci telah ditentukan oleh kesepakatan internasional. Penting untuk mempertahankan status Yerusalem demi melindungi perdamaian di wilayah ini," kata Bozdag.
"Jika langkah lain diambil, dan kesepakatan ini dicabut, maka hal tersebut akan menjadi malapetaka besar," sambungnya dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Reuters pada Senin (4/12).
Sebelumnya, Yordania telah menyatakan hal serupa. Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi kepada Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, saat keduanya berbicara melalui telepon menegaskan bahwa sangat penting untuk mempertahankan status Yerusalem untuk menghindari terjadinya ketegangan lebih lanjut.
Safadi kemudian memperingatkan konsekuensi serius dari keputusan apapun untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, mengingat status khusus keagamaan, sejarah, dan nasional kota ini, tidak hanya penting bagi orang Yordania dan Palestina, tapi juga di seluruh dunia Arab dan Muslim.
Langkah tersebut, lanjut Safadi juga akan merusak upaya Amerika untuk menghidupkan kembali perundingan perdamaian antara Israel dan Palestina, dengan memperingatkan bahwa hal itu akan mengobarkan kekerasan.
Wakil Perdana Menteri Turki, Bekir Bozdag menyatakan, status Yerusalem telah ditentukan oleh kesepakatan internasional, dan bahwa pelestarian akan hal itu penting untuk perdamaian di wilayah tersebut.
"Status Yerusalem dan Bukit Bait Suci telah ditentukan oleh kesepakatan internasional. Penting untuk mempertahankan status Yerusalem demi melindungi perdamaian di wilayah ini," kata Bozdag.
"Jika langkah lain diambil, dan kesepakatan ini dicabut, maka hal tersebut akan menjadi malapetaka besar," sambungnya dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Reuters pada Senin (4/12).
Sebelumnya, Yordania telah menyatakan hal serupa. Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi kepada Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, saat keduanya berbicara melalui telepon menegaskan bahwa sangat penting untuk mempertahankan status Yerusalem untuk menghindari terjadinya ketegangan lebih lanjut.
Safadi kemudian memperingatkan konsekuensi serius dari keputusan apapun untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, mengingat status khusus keagamaan, sejarah, dan nasional kota ini, tidak hanya penting bagi orang Yordania dan Palestina, tapi juga di seluruh dunia Arab dan Muslim.
Langkah tersebut, lanjut Safadi juga akan merusak upaya Amerika untuk menghidupkan kembali perundingan perdamaian antara Israel dan Palestina, dengan memperingatkan bahwa hal itu akan mengobarkan kekerasan.
Credit sindonews.com
Palestina peringatkan AS agar tak pindahkan kedutaan besar ke Jerusalem
Ramallah, Palestina (CB) - Seorang pejabat senior Palestina
pada Senin (4/12) menyeru Amerika Serikat (AS) agar menghindari setiap
tindakan yang akan mempengaruhi status quo atas Jerusalem.
Memindahkan Kedutaan Besar AS ke Jerusalem dan pengakuan AS atas Jerusalem sebagai Ibu Kota Israel takkan diterima dan akan membawa resiko, kata Wakil Perdana Menteri Palestina Ziad Bu Amr selama pertemuannya dengan Konsul Jenderal AS di Jerusalem.
Tindakan itu akan "menjadi pelanggaran dan bertolak-belakang dengan peran Pemerintah AS sebagai penengah dan penjaga proses perdamaian", kata pejabat Palestina tersebut.
"Itu akan membatalkan Amerika Serikat dari memainkan peran dalam proses perdamaian dan akan menutup semua pintu bagi perundingan serius, serta akan mendorong seluruh wilayah ini ke dalam ketidak-stabilan dan ketegangan lebih besar," ia menambahkan.
Pemimpin Palestina akan terpaksa menghancurkan setiap kesepahaman yang telah dicapainya dengan Amerika Serikat, kalau Pemerintah AS memutuskan untuk mengubah pendiriannya mengenai Jerusalem, demikian peringatan Amr, sebagaimana dilaporkan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa pagi.
Pemerintah AS juga akan dianggap bertanggung-jawab bagi setiap konsekuensi yang muncul akibat tindakannya mengenai Jerusalem, katanya.
Ia juga mendesak Amerika Serikat agar mempertimbangkan kembali posisinya dan memelihara "sisa peluang" untuk mewujudkan perdamaian antara Palestina dan Israel.
Media AS menyatakan Presiden AS Donald Trump sedang mempertimbangkan untuk mengakui Jerusalem sebagai Ibu Kota Isrel dan mungkin mengumumkannya pada Rabu.
Penasehat Trump, Jared Kushner, pada Ahad mengatakan presiden AS tersebut belum membuat keputusan mengenai pengakuan itu.
Trump pada Juni mengeluarkan keputusan untuk mempertahankan Kedutaan Besar AS di Tel Aviv, tapi tidak jelas apakah ia akan mengulangi keputusannya atau tidak.
Memindahkan Kedutaan Besar ke Jerusalem dipandang oleh Palestina sebagai provokasi dan penghancuran proses perdamaian.
Pembicaraan perdamaian antara Palestina dan Israel telah macet sejak April 2014. Pembicaraan yang ditaja AS tersebut yang berlangsung selama sembilan bulan saat itu tak memberi hasil nyata.
Memindahkan Kedutaan Besar AS ke Jerusalem dan pengakuan AS atas Jerusalem sebagai Ibu Kota Israel takkan diterima dan akan membawa resiko, kata Wakil Perdana Menteri Palestina Ziad Bu Amr selama pertemuannya dengan Konsul Jenderal AS di Jerusalem.
Tindakan itu akan "menjadi pelanggaran dan bertolak-belakang dengan peran Pemerintah AS sebagai penengah dan penjaga proses perdamaian", kata pejabat Palestina tersebut.
"Itu akan membatalkan Amerika Serikat dari memainkan peran dalam proses perdamaian dan akan menutup semua pintu bagi perundingan serius, serta akan mendorong seluruh wilayah ini ke dalam ketidak-stabilan dan ketegangan lebih besar," ia menambahkan.
Pemimpin Palestina akan terpaksa menghancurkan setiap kesepahaman yang telah dicapainya dengan Amerika Serikat, kalau Pemerintah AS memutuskan untuk mengubah pendiriannya mengenai Jerusalem, demikian peringatan Amr, sebagaimana dilaporkan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa pagi.
Pemerintah AS juga akan dianggap bertanggung-jawab bagi setiap konsekuensi yang muncul akibat tindakannya mengenai Jerusalem, katanya.
Ia juga mendesak Amerika Serikat agar mempertimbangkan kembali posisinya dan memelihara "sisa peluang" untuk mewujudkan perdamaian antara Palestina dan Israel.
Media AS menyatakan Presiden AS Donald Trump sedang mempertimbangkan untuk mengakui Jerusalem sebagai Ibu Kota Isrel dan mungkin mengumumkannya pada Rabu.
Penasehat Trump, Jared Kushner, pada Ahad mengatakan presiden AS tersebut belum membuat keputusan mengenai pengakuan itu.
Trump pada Juni mengeluarkan keputusan untuk mempertahankan Kedutaan Besar AS di Tel Aviv, tapi tidak jelas apakah ia akan mengulangi keputusannya atau tidak.
Memindahkan Kedutaan Besar ke Jerusalem dipandang oleh Palestina sebagai provokasi dan penghancuran proses perdamaian.
Pembicaraan perdamaian antara Palestina dan Israel telah macet sejak April 2014. Pembicaraan yang ditaja AS tersebut yang berlangsung selama sembilan bulan saat itu tak memberi hasil nyata.
Credit antaranews.com
Yordania Wanti-wanti AS Soal Pengakuan Yerusalem Ibu Kota Israel
AMMAN
- Yordania mewanti-wanti Amerika Serikat (AS) mengenai rencana
pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Menurut Amman, pengakuan
tersebut akan menimbulkan konsekuensi yang amat serius.
Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi kepada Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, saat keduanya berbicara melalui telepon menegaskan bahwa sangat penting untuk mempertahankan status Yerusalem untuk menghindari terjadinya ketegangan lebih lanjut.
"Perlu untuk menjaga status historis dan legal Yerusalem dan menahan diri dari keputusan apapun yang bertujuan untuk mengubah status tersebut," kata Safadi kepada Tillerson, seperti dilansir Channel News Asia pada Senin (4/12).
Safadi kemudian memperingatkan konsekuensi serius dari keputusan apapun untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, mengingat status khusus keagamaan, sejarah, dan nasional kota ini, tidak hanya penting bagi orang Yordania dan Palestina, tapi juga di seluruh dunia Arab dan Muslim.
Langkah tersebut, lanjut Safadi juga akan merusak upaya Amerika untuk menghidupkan kembali perundingan perdamaian antara Israel dan Palestina, dengan memperingatkan bahwa hal itu akan mengobarkan kekerasan.
Sementara itu, Liga Arab dikabarkan akan menggelar pertemuan luar biasa untuk membahas rencana AS tersebut. Asisten Sekretaris Jenderal Liga Arab, Hossam Zaki, mengatakan bahwa perwakilan Liga Arab akan segera mengadakan pertemuan mengenai Yerusalem pada hari Selasa. Pertemuan ini digelar berdasarkan permintaan Palestina.
Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi kepada Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, saat keduanya berbicara melalui telepon menegaskan bahwa sangat penting untuk mempertahankan status Yerusalem untuk menghindari terjadinya ketegangan lebih lanjut.
"Perlu untuk menjaga status historis dan legal Yerusalem dan menahan diri dari keputusan apapun yang bertujuan untuk mengubah status tersebut," kata Safadi kepada Tillerson, seperti dilansir Channel News Asia pada Senin (4/12).
Safadi kemudian memperingatkan konsekuensi serius dari keputusan apapun untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, mengingat status khusus keagamaan, sejarah, dan nasional kota ini, tidak hanya penting bagi orang Yordania dan Palestina, tapi juga di seluruh dunia Arab dan Muslim.
Langkah tersebut, lanjut Safadi juga akan merusak upaya Amerika untuk menghidupkan kembali perundingan perdamaian antara Israel dan Palestina, dengan memperingatkan bahwa hal itu akan mengobarkan kekerasan.
Sementara itu, Liga Arab dikabarkan akan menggelar pertemuan luar biasa untuk membahas rencana AS tersebut. Asisten Sekretaris Jenderal Liga Arab, Hossam Zaki, mengatakan bahwa perwakilan Liga Arab akan segera mengadakan pertemuan mengenai Yerusalem pada hari Selasa. Pertemuan ini digelar berdasarkan permintaan Palestina.
Credit sindonews.com
Akui Yerusalem Milik Israel, AS akan Picu Kemarahan Besar
"Keputusan semacam itu akan memicu kemarahan di dunia Arab, menjadi bahan bakar ketegangan dan membahayakan usahaperdamaian," kata Safadi di Twitter seperti dikutip BBC, Senin (4/12).
Tidak ada tanggapan langsung dari Departemen Luar Negeri AS. Spekulasi Presiden AS Donald Trump akan memenuhi janji kampanyenya untuk mengakui Yerusalem milik Israel itu semakin menguat. Namun menantu Trump, Jared Kushner,mengatakan tidak ada keputusan yang dibuat.
Selama kampanye pemilihannya, Trump berjanji akan memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Sementara Presiden Palestina Mahmoud Abbas sedang menggalang dukungan internasional untuk meyakinkan Trump agar tidak membuat pengumumanseperti itu.
Otoritas Palestina mengungkapkan bahwa Abbas menelepon para pemimpin dunia pada Ahad (3/12), termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
"Dia ingin menjelaskan bahaya dari keputusan apapun untuk memindahkan kedutaan AS ke Yerusalematau menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel," kata penasihat Abbas, Majdial-Khalidi.
Sebelumnya para pemimpin Palestina telah memperingatkan langkah tersebut akan mengancam solusi dua negara. Israel telah menduduki Yerusalem Timur sejak perang TimurTengah pada 1967.
Israel mencaplok area tersebut pada 1980. Di bawah hukum internasional, daerah ni dianggap sebagai wilayah yang diduduki. Israel juga menetapkan bahwa Yerusalem adalah ibu kota abadi dan tak dapat dibagi. Tapi Palestina ingin Yerusalem Timur menjadi ibu kota negara di masa depan.
Credit REPUBLIKA.CO.ID