Masih belum jelas apakah KTT di Kuwait itu akan berefek positif
terhadap krisis yang sedang berlangsung antara Qatar dan sejumlah negara
Teluk lainnya.
GCC, aliansi politik dan ekonomi negara-negara di Jazirah Arab, didirikan pada 1981 untuk mendorong kerja sama sosial ekonomi, keamanan, dan budaya. Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan UEA berkumpul setiap tahun untuk membahas kerja sama dan urusan regional.
Menjelang KTT tahun ini, Sekretaris Jenderal GCC Abdullatif bin Rashid Al-Zayani telah tiba di Kuwait. Ia bertemu dengan Emir Kuwait Sheikh Sabah Al Ahmed Al Sabah untuk membahas persiapan KTT.
Menurut sebuah sumber diplomatik, menteri luar negeri dari keenam negara anggota GCC akan bertemu pada Senin (4/12) di Kuwait City untuk melakukan pertemuan pendahuluan. Agenda pertemuan KTT tahun ini belum diumumkan, namun ada harapan krisis akan menjadi bahasan utama dalam diskusi.
"Ada kekhawatiran serius tentang kelangsungan krisis dan dampaknya bahkan terhadap negara-negara yang memblokir," kata Mahjoob Zweiri, profesor bidang politik Teluk di Universitas Qatar.
Zweiri mengatakan keinginan untuk menemukan solusi muncul karena adanya kenyataan bahwa tidak ada yang bisa dicapai dari pemblokiran. "Qatar telah menolak tuntutan yang diajukan oleh kuartet Arab, serta belum mencapai apapun dan belum banyak kehilangan secara ekonomi," kata dia seperti dikutip Aljazirah.
Apakah GCC masih memiliki fungsi dan peran yang relevan di wilayah ini, tentunya hal tersebut patut dipertanyakan. Meskipun dibuat untuk tujuan memperkuat barisan serikat pekerja, blokade yang diberlakukan terhadap Qatar oleh negara-negara tetangganya tampaknya telah membatalkan prinsip-prinsip itu.
Luciano Zaccara, pengamat politik Teluk di Universitas Qatar, mengatakan peran GCC telah berkurang sejak invasi AS ke Irak pada 2003. Kekacauan meningkat saat gelombang protes melanda Timur Tengah pada 2011, yang dikenal sebagai Arab Spring.
"Arab Spring menimbulkan pendekatan yang beragam terhadap ancaman regional dan internal, membuat negara-negara anggotanya sulit memutuskan apa yang dianggap sebagai prioritas terkait ancaman dan tantangan dan bagaimana cara mengatasinya," kata Zacarra.
Ia merujuk pada perang Yaman, krisis Bahrain, dan perang saudara Suriah yang sedang berlangsung. Menurutnya, krisis-krisis itu menunjukkan adanya peran dominan Arab Saudi dalam GCC.
Pada 2014, terjadi keretakan antara negara-negara GCC selama delapan bulan. Saat itu Arab Saudi, UEA, dan Bahrain menangguhkan hubungan dengan Qatar karena mendukung Ikhwanul Muslimin, kelompok yang telah dicap sebagai organisasi teroris.
Doha dituduh melanggar perjanjian keamanan GCC 2013 dan membuat jaringan media yang tidak bersahabat, yaitu Aljazirah. Pada saat itu, Zaccara mengatakan, telah jelas ada satu negara, yaitu Arab Saudi, yang bertekad untuk memaksakan kriterianya kepada seluruh negara di GCC.
Mengacu pada krisis yang sedang berlangsung saat ini, Zaccara mengatakan krisis telah menunjukkan kesia-siaan GCC dalam menentukan prioritasnya serta mengatasi masalah. "Saya akan mengambil risiko untuk mengatakan, GCC tidak memiliki peran untuk dapat dimainkan saat ini," ujar Zacarra.
Setelah perang di Yaman, Oman berada di ambang terusir dari GCC karena tidak mematuhi agenda geopolitik Arab Saudi. "Jelas bagi saya sejauh GCC tidak mengikuti prioritas yang ditetapkan oleh Arab Saudi, tidak mungkin dewan tersebut akan efektif, bahkan jika Qatar, dan mungkin juga Oman, berada di luar dewan. GCC dengan lima, empat, atau bahkan tiga negara bagian hanya akan menjadi perpanjangan dari kebijakan Saudi," paparnya.
Qatar telah mengkonfirmasi keikutsertaannya dalam KTT GCC tahun ini. Jocelyn Sage Mitchell, profesor ilmu politik di Northwestern University di Qatar mengatakan hal tersebut menyiratkan Doha tidak akan meninggalkan GCC secara sukarela.
"Itu (meninggalkan GCC), akan terlihat provokatif dan akan memperburuk situasi. Namun, perlu dipertimbangkan apakah dewan tersebut masih memiliki peran," kata Mitchell.
Sejak pembentukannya, GCC sebagian besar berfungsi sebagai mekanisme perlindungan bagi para penguasa untuk melawan ancaman internal, terutama dengan bersatu di jalan konservatif yang dipimpin oleh Arab Saudi. Namun, Mitchell yakin blokade tersebut telah membantu Qatar secara politis dan sosial.
GCC, aliansi politik dan ekonomi negara-negara di Jazirah Arab, didirikan pada 1981 untuk mendorong kerja sama sosial ekonomi, keamanan, dan budaya. Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan UEA berkumpul setiap tahun untuk membahas kerja sama dan urusan regional.
Menjelang KTT tahun ini, Sekretaris Jenderal GCC Abdullatif bin Rashid Al-Zayani telah tiba di Kuwait. Ia bertemu dengan Emir Kuwait Sheikh Sabah Al Ahmed Al Sabah untuk membahas persiapan KTT.
Menurut sebuah sumber diplomatik, menteri luar negeri dari keenam negara anggota GCC akan bertemu pada Senin (4/12) di Kuwait City untuk melakukan pertemuan pendahuluan. Agenda pertemuan KTT tahun ini belum diumumkan, namun ada harapan krisis akan menjadi bahasan utama dalam diskusi.
"Ada kekhawatiran serius tentang kelangsungan krisis dan dampaknya bahkan terhadap negara-negara yang memblokir," kata Mahjoob Zweiri, profesor bidang politik Teluk di Universitas Qatar.
Zweiri mengatakan keinginan untuk menemukan solusi muncul karena adanya kenyataan bahwa tidak ada yang bisa dicapai dari pemblokiran. "Qatar telah menolak tuntutan yang diajukan oleh kuartet Arab, serta belum mencapai apapun dan belum banyak kehilangan secara ekonomi," kata dia seperti dikutip Aljazirah.
Apakah GCC masih memiliki fungsi dan peran yang relevan di wilayah ini, tentunya hal tersebut patut dipertanyakan. Meskipun dibuat untuk tujuan memperkuat barisan serikat pekerja, blokade yang diberlakukan terhadap Qatar oleh negara-negara tetangganya tampaknya telah membatalkan prinsip-prinsip itu.
Luciano Zaccara, pengamat politik Teluk di Universitas Qatar, mengatakan peran GCC telah berkurang sejak invasi AS ke Irak pada 2003. Kekacauan meningkat saat gelombang protes melanda Timur Tengah pada 2011, yang dikenal sebagai Arab Spring.
"Arab Spring menimbulkan pendekatan yang beragam terhadap ancaman regional dan internal, membuat negara-negara anggotanya sulit memutuskan apa yang dianggap sebagai prioritas terkait ancaman dan tantangan dan bagaimana cara mengatasinya," kata Zacarra.
Ia merujuk pada perang Yaman, krisis Bahrain, dan perang saudara Suriah yang sedang berlangsung. Menurutnya, krisis-krisis itu menunjukkan adanya peran dominan Arab Saudi dalam GCC.
Pada 2014, terjadi keretakan antara negara-negara GCC selama delapan bulan. Saat itu Arab Saudi, UEA, dan Bahrain menangguhkan hubungan dengan Qatar karena mendukung Ikhwanul Muslimin, kelompok yang telah dicap sebagai organisasi teroris.
Doha dituduh melanggar perjanjian keamanan GCC 2013 dan membuat jaringan media yang tidak bersahabat, yaitu Aljazirah. Pada saat itu, Zaccara mengatakan, telah jelas ada satu negara, yaitu Arab Saudi, yang bertekad untuk memaksakan kriterianya kepada seluruh negara di GCC.
Mengacu pada krisis yang sedang berlangsung saat ini, Zaccara mengatakan krisis telah menunjukkan kesia-siaan GCC dalam menentukan prioritasnya serta mengatasi masalah. "Saya akan mengambil risiko untuk mengatakan, GCC tidak memiliki peran untuk dapat dimainkan saat ini," ujar Zacarra.
Setelah perang di Yaman, Oman berada di ambang terusir dari GCC karena tidak mematuhi agenda geopolitik Arab Saudi. "Jelas bagi saya sejauh GCC tidak mengikuti prioritas yang ditetapkan oleh Arab Saudi, tidak mungkin dewan tersebut akan efektif, bahkan jika Qatar, dan mungkin juga Oman, berada di luar dewan. GCC dengan lima, empat, atau bahkan tiga negara bagian hanya akan menjadi perpanjangan dari kebijakan Saudi," paparnya.
Qatar telah mengkonfirmasi keikutsertaannya dalam KTT GCC tahun ini. Jocelyn Sage Mitchell, profesor ilmu politik di Northwestern University di Qatar mengatakan hal tersebut menyiratkan Doha tidak akan meninggalkan GCC secara sukarela.
"Itu (meninggalkan GCC), akan terlihat provokatif dan akan memperburuk situasi. Namun, perlu dipertimbangkan apakah dewan tersebut masih memiliki peran," kata Mitchell.
Sejak pembentukannya, GCC sebagian besar berfungsi sebagai mekanisme perlindungan bagi para penguasa untuk melawan ancaman internal, terutama dengan bersatu di jalan konservatif yang dipimpin oleh Arab Saudi. Namun, Mitchell yakin blokade tersebut telah membantu Qatar secara politis dan sosial.
Credit REPUBLIKA.CO.ID