RIYADH
- Kerajaan Arab Saudi diam-diam berencana membangun kerajaan militernya
sendiri dan selama seminggu terakhir. Sistem pertahanan rudal mutakhir
Rusia dan Amerika Serikat (AS) dibeli sekaligus dengan momen yang hampir
bersamaan.
Penjualan senjata militer Washington ke Riyadh selama ini menuai kritik, karena salah satunya digunakan Saudi dalam Perang Yaman yang ikut menewaskan banyak warga sipil. Tapi, Departemen Luar Negeri AS tak peduli dan sudah setuju menjual peralatan militer yang kontroversial dan mahal.
Pada hari Sabtu pekan lalu, Departemen Luar Negeri AS mengumumkan persetujuan untuk menjual paket sistem pertahanan anti-rudal Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) ke Saudi. Harga penjualannya mencapai sekitar USD15 miliar atau Rp202,5 triliun.
“Penjualan yang diusulkan akan mendukung kebijakan luar negeri dan keamanan nasional Amerika Serikat dengan memperbaiki keamanan sebuah negara yang bersahabat dan tidak akan mengubah keseimbangan militer dasar di wilayah tersebut,” kata Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan Pentagon dalam sebuah pernyataan yang dilansir Reuters.
Kontraktor utama sistem senjata THAAD AS adalah Lockheed Martin Co (LMT.N) dan Raytheon Co (RTN.N). Paket sistem THAAD yang dijual ke Riyadh ini mencakup 44 peluncur, 360 rudal pencegat,16 stasiun kontrol kebakaran dan komunikasi mobile serta tujuh radar. Selain peralatan pertahanan mutakhir, paket penjualan ini juga termasuk pelatihan peralatan dan pelatihan personel.
”Kemampuan exo-atmospheric, hit-to-kill milik THAAD akan menambahkan lapis atas arsitektur pertahanan rudal berlapis Arab Saudi dan akan mendukung modernisasi Angkatan Udara Kerajaan Arab Saudi (RSADF),” imbuh Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan Pentagon.
Sistem pertahanan pencegat rudal THAAD telah jadi sorotan dunia setelah dikerahkan Pentagon ke Korea Selatan dengan dalih untuk mengantisipasi serangan rudal Korea Utara. Namun, pengerahan peralatan canggih itu ditentang Rusia dan China karena bisa mengancam keamanan kawasan.
Diplomasi S-400 Rusia
Uniknya, pengumuman Washington itu muncul sehari setelah Saudi dan Rusia menandatangani kesepakatan awal pembelian sistem pertahanan rudal canggih S-400 senilai USD3 miliar atau lebih dari Rp40 triliun. Kesepakatan tercapai saat kunjungan bersejarah Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud ke Moskow.
Seperti lawatan Raja Salman di beberapa negara yang identik dengan kemewahan dan rombongan besar, kunjungan pertamanya ke Moskow juga tak jauh beda. Raja Salman terbang dengan pesawat bereskalator emas dan rombongan besarnya menyewa hampir seluruh hotel bintang lima di Moskow.
Sebagai basa-basi diplomatik, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menggambarkan lawatan pemimpin Riyadh ini sebagai “momen bersejarah". Presiden Vladimir Putin pada puncak pertemuan hari Kamis setuju dengan pernyataan diplomatnya itu.
Penjualan senjata militer Washington ke Riyadh selama ini menuai kritik, karena salah satunya digunakan Saudi dalam Perang Yaman yang ikut menewaskan banyak warga sipil. Tapi, Departemen Luar Negeri AS tak peduli dan sudah setuju menjual peralatan militer yang kontroversial dan mahal.
Pada hari Sabtu pekan lalu, Departemen Luar Negeri AS mengumumkan persetujuan untuk menjual paket sistem pertahanan anti-rudal Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) ke Saudi. Harga penjualannya mencapai sekitar USD15 miliar atau Rp202,5 triliun.
“Penjualan yang diusulkan akan mendukung kebijakan luar negeri dan keamanan nasional Amerika Serikat dengan memperbaiki keamanan sebuah negara yang bersahabat dan tidak akan mengubah keseimbangan militer dasar di wilayah tersebut,” kata Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan Pentagon dalam sebuah pernyataan yang dilansir Reuters.
Kontraktor utama sistem senjata THAAD AS adalah Lockheed Martin Co (LMT.N) dan Raytheon Co (RTN.N). Paket sistem THAAD yang dijual ke Riyadh ini mencakup 44 peluncur, 360 rudal pencegat,16 stasiun kontrol kebakaran dan komunikasi mobile serta tujuh radar. Selain peralatan pertahanan mutakhir, paket penjualan ini juga termasuk pelatihan peralatan dan pelatihan personel.
”Kemampuan exo-atmospheric, hit-to-kill milik THAAD akan menambahkan lapis atas arsitektur pertahanan rudal berlapis Arab Saudi dan akan mendukung modernisasi Angkatan Udara Kerajaan Arab Saudi (RSADF),” imbuh Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan Pentagon.
Sistem pertahanan pencegat rudal THAAD telah jadi sorotan dunia setelah dikerahkan Pentagon ke Korea Selatan dengan dalih untuk mengantisipasi serangan rudal Korea Utara. Namun, pengerahan peralatan canggih itu ditentang Rusia dan China karena bisa mengancam keamanan kawasan.
Diplomasi S-400 Rusia
Uniknya, pengumuman Washington itu muncul sehari setelah Saudi dan Rusia menandatangani kesepakatan awal pembelian sistem pertahanan rudal canggih S-400 senilai USD3 miliar atau lebih dari Rp40 triliun. Kesepakatan tercapai saat kunjungan bersejarah Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud ke Moskow.
Seperti lawatan Raja Salman di beberapa negara yang identik dengan kemewahan dan rombongan besar, kunjungan pertamanya ke Moskow juga tak jauh beda. Raja Salman terbang dengan pesawat bereskalator emas dan rombongan besarnya menyewa hampir seluruh hotel bintang lima di Moskow.
Sebagai basa-basi diplomatik, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menggambarkan lawatan pemimpin Riyadh ini sebagai “momen bersejarah". Presiden Vladimir Putin pada puncak pertemuan hari Kamis setuju dengan pernyataan diplomatnya itu.
“Ini adalah peristiwa penting yang akan memberi dorongan untuk menjalin hubungan,” kata Putin. Raja Salman membalas pujian pemimpin Kremlin dengan menyebut Rusia sebagai negara yang bersahabat.
Pembelian S-400 Rusia oleh negeri Raja Salman ini dibeberkan surat kabar Rusia Kommersant. Kesepakatan lebih lanjut kedua negara itu akan ditandatangani pada pertemuan WTO pada akhir Oktober nanti.
Foto/REUTERS
Pilihan Riyadh beli senjata ke Moskow merupakan hal tak wajar. Sebab, selama ini negara kaya di Teluk ini hanya percaya pada sistem senjata buatan Amerika dan Eropa. Selain itu, kebijakan luar negeri Rusia dan Saudi sejatinya juga tak sejalan.
Dalam krisis Suriah misalnya, Moskow mendukung rezim Presiden Bashar al-Assad dengan sokongan militer yang kuat. Sedangkan Riyadh menentang rezim Assad berkuasa di Suriah atau pro-oposisi.
Namun, Riyadh pada akhirnya terpincut S-400 Rusia yang sudah dikerahkan di Suriah. Selain itu, Riyadh menyadari perubahan situasi, di mana Moskow dan Damaskus meraih kemajuan pesat dalam perang sipil.
”Orang-orang Saudi telah kehilangan minat dan menyadari bahwa Rusia sekarang pengendali krisis,” kata Yuri Barmin, seorang pakar Dewan Urusan Internasional Rusia.
”Mereka melihat bagaimana keseimbangan kekuatan berubah di wilayah ini; bagaimana AS menarik diri dan bagaimana Rusia sekarang meningkatkan pengaruhnya di Timur Tengah,” lanjut dia.
Taktik sangar Saudi dengan membeli sistem pertahanan rudal mutakhir dari AS dan Rusia sekaligus ini tetap jadi misteri. Sebagai sekutu utama Washington, Saudi sudah mendapat jaminan keamanan.
Meski tak dimungkiri, Saudi saat ini sedang berseteru dengan Iran dan Qatar. Militer Iran diperhitungkan dunia, setelah dicurigai mengembangkan senjata nuklir. Negeri Persia ini juga sudah telebih dahulu membei S-400 Rusia. Sedangkan Qatar yang hubungan diplomatiknya diputus Riyadh atas tuduhan Doha mendukung terorisme, terkenal sangat kaya dan tidak sulit untuk memborong senjata canggih.
Israel Tak Senang
Gelagat Saudi membeli senjata-senjata canggih ini pernah membuat Israel—yang juga sekutu AS—tidak senang.
Pada Mei lalu, beberapa menteri Israel menyatakan keprihatinannya atas kesepakatan jual beli senjata yang ditandatangani oleh AS dan Arab Saudi selama kunjungan Presiden Donald Trump ke Riyadh. Para menteri negara Yahudi itu bahkan menganggap Saudi musuh yang akan menyusahkan.
Foto/REUTERS
Kesepakatan “pemborongan” senjata Washington oleh Riyadh kala itu mencapai USD350 miliar atau lebih dari Rp4.661 triliun selama sepuluh tahun. Dari total nilai itu, kesepakatan penjualan senjata gelombang awal senilai USD110 miliar atau lebih dari Rp1.464 triliun segera diberlakukan. Bisa jadi sistem anti-rudal THAAD itu bagian dari gelombang awal tersebut.
Israel tetap ingin mempertahankan superioritas militer dan perna meminta penjelasan AS soal kesepakatan penjualan senjata besar-besaran itu.
”Ini adalah masalah yang benar-benar menyusahkan kita,” kata Menteri Infrastruktur, Energi dan Sumber Daya Air Israel Yuval Steinitz pada Mei lalu.
”Ratusan juta dolar dalam transaksi senjata adalah sesuatu yang perlu kita dapatkan penjelasannya,” ujarnya. ”Arab Saudi adalah negara yang bermusuhan dan kita perlu memastikan bahwa kekuatan militer kualitatif Israel dipertahankan.”
Dia melanjutkan bahwa Israel belum memiliki hubungan diplomatik dengan Saudi dan tidak ada yang akan terjadi di masa depan.
Menteri Intelijen Israel Israel Yisrael Katz juga mengemukakan keprihatinan serupa.”Kekuatan militer kualitatif Israel harus dijaga,” katanya.
Credit sindonews.com