Selasa, 22 November 2016

Pembunuhan Rohingya, Tentara Tembak Dulu Baru Bertanya



Pembunuhan Rohingya, Tentara Tembak Dulu Baru Bertanya Sedikitnya 70 warga Rohingya tewas terbunuh di negara bagian Rakhine dalam gelombang kekerasan baru terhadap etnis minoritas Muslim Myanmar itu. (Reuters/Soe Zeya Tun)
 
Jakarta, CB -- Sedikitnya 70 warga Rohingya tewas terbunuh di negara bagian Rakhine dalam gelombang kekerasan baru terhadap etnis minoritas Muslim Myanmar itu. Menurut pengamat, warga sipil Rohingya kembali menjadi sasaran kebengisan militer Myanmar yang memiliki catatan buruk pelanggaran hak asasi manusia.

"Masalahnya, tentara Burma [Myanmar] memiliki catatan yang sangat buruk jika berhubungan dengan warga sipil. Mereka benar-benar menembak dulu, baru bertanya kemudian," kata Phil Robertson, wakil direktur divisi Asia di lembaga HAM Human Right Watch (HRW), seperti dikutip CNN.


Pemerintahan pimpinan Aung San Suu Kyi berdalih mengejar teroris saat menggelar operasi di desa-desa Rohingya di Rakhine. Namun kenyataannya, berbagai laporan kekerasan muncul, seperti pembunuhan, penyiksaan, pembakaran hingga perkosaan terhadap warga Rohingya dilakukan oleh tentara Myanmar.

Suu Kyi yang dilabeli sebagai tokoh demokrasi Myanmar hingga saat ini tidak terlihat batang hidungnya. Peraih Penghargaan Nobel Perdamaian ini bungkam dalam mengomentari kekerasan terhadap Rohingya.

Rohingya, warga yang tidak memiliki kewarganegaraan, menjadi target serangan militer setelah 300 orang bersenjata menyerang dan membunuh tentara dan polisi Myanmar. Pemerintah Suu Kyi tidak menyebut siapa pelakunya, namun PBB mengatakan bentrokan terjadi antara "organisasi etnis bersenjata" dengan militer.

Sejak saat itu, polisi dan tentara menutup wilayah Maungdauw di Rakhine dan Rohingya kena getahnya. Tentara menyisir desa-desa Rohingya yang diyakini tempat bersembunyi para penyerang aparat. Dalam penyisiran, pembunuhan dan penjarahan dilakukan militer terhadap etnis yang dijuluki "paling tertindas di dunia" itu.

HRW mencatat lebih dari 1.000 rumah warga Rohingya rata dengan tanah. Bangunan-bangunan mereka dibakar, terlihat dari titik-titik api pada citra satelit pada beberapa desa. Militer juga mengerahkan helikopter untuk menembaki warga Rohingya di Rakhine.

"Mereka melakukan bumi-hangus. Militer memang berhak mencari siapa yang menyerang penjaga perbatasan, tapi ini sudah berlebihan," kata Robertson.

Menurut Komisi Penasihat untuk Negara Bagian Rakhine yang juga mantan Sekjen PBB, Kofi Annan, kekerasan terhadap Rohingya membuat negara itu "kembali tidak stabil dan menyebabkan pengungsi baru."

Gelombang kekerasan kali ini membuat 30 ribu warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Berbagai lembaga non-pemerintahan menyebut pemerintah melarang mereka masuk ke daerah konflik, informasi dari wilayah itu juga terbendung. Mereka juga mendesak pemerintah Myanmar memperbolehkan masuk pelapor PBB untuk menyelidiki kekerasan dan pelanggaran HAM.

"Ini benar-benar peningkatan kekerasan, dan dikombinasikan dengan melarang masuk semua orang ke wilayah itu.Membiarkan Militer Burma menyelidiki sendiri adalah jurus untuk menutupi [kejahatan]," lanjut Robertson.



Credit  CNN Indonesia


Lebih Dari 1.000 Rumah Warga Rohingya Rata Dengan Tanah


Lebih Dari 1.000 Rumah Warga Rohingya Rata Dengan Tanah Dalam pengamatan citra satelit oleh lembaga Human Right Watch, rumah warga Rohingya yang hancur lebih banyak ketimbang yang diklaim pemerintah Myanmar. (AFP Photo/Ye Aung Thu)
 
Jakarta, CB -- Lebih dari 1.000 rumah warga Rohingya di lima desa negara bagian Rakhine, Myanmar, rata dengan tanah. Laporan berdasarkan pengamatan satelit lembaga Human Right Watch ini mematahkan klaim pemerintah Myanmar soal dampak kekerasan terhadap Rohingya yang memuncak akhir tahun ini.

Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya, Senin (21/11), mengatakan setidaknya ada 1.250 bangunan milik warga Rohingya yang hancur akibat terbakar atau ambruk karena serangan militer atau warga di distrik Maungdauw, Rakhine, antara 10-18 November. Citra satelit juga menunjukkan titik api yang masih menyala di beberapa desa distrik tersebut selama beberapa hari dari 12-15 November lalu.

Jumlah rumah warga Rohingya yang hancur ini bertentangan dengan klaim pemerintah yang mengatakan "hanya" ada 300 bangunan yang dirusak. HRW mendesak pemerintah Myanmar segera bergerak untuk menyelidiki serangan terhadap warga Rohingya, ketimbang hanya membela diri dan menuding "teroris" berada di balik serangan itu.

"Daripada merespons dengan tudingan gaya zaman militer dan membantahnya, pemerintah seharusnya melihat faktanya. Citra satelit yang mengkhawatirkan ini menunjukkan kehancuran desa-desa Rohingya jauh lebih buruk dibanding yang diakui pemerintah," kata Brad Adams, direktur Asia untuk HRW.

Kekerasan terhadap warga Rohingya di Myanmar kembali memuncak setelah terjadi serangan terhadap pos polisi pada 9 Oktober lalu, menewaskan sembilan aparat. Pemerintah Myanmar menuding "teroris Rohingya" berada di balik serangan itu, namun belum ada bukti yang jelas soal tuduhan tersebut.

Myanmar kemudian menjadikan distrik Maungdaw sebagai "zona operasi militer" dengan menerapkan penggeledahan, jam malam dan pembatasan pergerakan warga. Dalam operasi ini, dilaporkan 70 warga Rohingya tewas terbunuh, lebih dari 400 orang ditahan.

Tentara juga dituding melakukan pelanggaran HAM dengan menjarah, membakar rumah, menyiksa dan memperkosa warga Rohingya. Menurut laporan PBB, lebih dari 30 ribu warga Rohingya kehilangan tempat tinggal. Mereka kemudian mencoba kabur ke Bangladesh, tapi tidak diperbolehkan melintas.

Pemerintahan Myanmar pimpinan Aung San Suu Kyi membantah terjadinya pelanggaran HAM. Namun mereka juga tidak memperbolehkan penyidik internasional dan jurnalis untuk memasuki wilayah Rohingya yang hancur. Selain itu, lembaga bantuan kemanusiaan juga terhambat memasuki daerah tersebut karena dicegah pemerintah.

Rohingya adalah warga minoritas Myanmar yang tidak memiliki kewarganegaraan. Pemerintah Myanmar menolak mengakui mereka karena dianggap keturunan Bangladesh, kendati telah tinggal beberapa generasi di negara itu. Pemerintah Bangladesh juga menolak mengakui mereka, membuat Rohingya terombang-ambing tanpa status.

PBB menjuluki Rohingya sebagai masyarakat paling tertindas di dunia. Tahun 2012, lebih dari 100 warga Rohingya tewas dibunuh oleh kelompok Buddha radikal pimpinan biksu Wirathu.

Pelapor khusus PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee, mendesak pemerintah Suu Kyi untuk segera bertindak dan melindungi warga sipil Rohingya. Lee menyayangkan kekerasan terhadap Rohingya selalu dibekingi oleh militer.

"Aparat keamanan seharusnya tidak diberikan katebelece (surat sakti) untuk meningkatkan operasi mereka," kata Lee dalam pernyataannya, dikutip AFP.

Credit  CNN Indonesia



Tentara Myanmar Dituding Perkosa Puluhan Wanita Rohingya


Tentara Myanmar Dituding Perkosa Puluhan Wanita Rohingya Ilustrasi wanita Rohingya. (Reuters/Beawiharta)
 
Jakarta, CB -- Puluhan wanita dari etnis Muslim Rohingya mengaku telah menjadi sasaran kekerasan dan perkosaan tentara Myanmar yang menyerbu desa mereka. Pengakuan ini kian menambah derita etnis Rohingya yang telah dijuluki "paling tertindas di dunia ini".

Pengakuan ini disampaikan oleh delapan wanita Rohingya dari desa U Shey Kya di negara bagian Rakhine yang diberitakan Reuters, Jumat (28/9). Mereka mengatakan, tentara Myanmar menyerbu desa mereka, masuk ke rumah-rumah warga, menjarah harta benda dan memperkosa para wanita di bawah todongan senjata.

Militer memang telah diturunkan ke Maungdauw sejak 9 Oktober, dengan alasan memburu kelompok militan Rohingya yang diduga terlibat pembunuhan sembilan polisi dan lima tentara serta mencuri senjata.

Kepada Reuters, wanita berusia 40 tahun dari U Shey Kya mengatakan empat tentara telah memperkosanya dan menyerang putrinya yang berusia 15 tahun. Perhiasan dan uang miliknya juga dijarah.

"Mereka membawa saya masuk ke dalam rumah. Mereka merobek pakaian saya dan melepas kerudung saya," kata ibu dua anak ini saat diwawancara Reuters di luar rumahnya.

"Dua pria mencengkeram saya, setiap orangnya memegang satu tangan saya, seorang lagi memegang rambut saya dan memperkosa saya," lanjut dia lagi.

Juru bicara Presiden Myanmar Htin Kyaw, Zaw Htay, membantah pengakuan tersebut. Htay bahkan menelepon komandan militer di Maungdaw yang membenarkan ada penyerbuan pada 19 Oktober, namun membantah adanya perkosaan.

"Tidak logis memperkosa di tengah desa yang berisi 800 rumah, tempat pemberontak bersembunyi," ujar Htay.

Pihak militer tidak merespons permintaan konfirmasi dari Reuters.

Warga desa yang didatangi Reuters membenarkan terjadinya perkosaan dan perusakan properti oleh tentara. Beberapa rumah terlihat terbakar di desa itu. Menurut warga, tentara melakukan "operasi pembersihan."

Wanita Rohingya lainnya yang berusia 30 tahun juga mengaku diperkosa oleh tentara Myanmar.

"Mereka mengatakan kepada saya, 'Kami akan membunuhmu. Kami tidak akan membiarkanmu tinggal di negara ini," kata dia.

Wanita ini mengatakan tentara menjarah emas, uang dan harta bendanya yang lain. Selain itu tentara juga memasukkan pasir di tempat penampungan beras di rumahnya.

"Kami tidak bisa pindah ke desa lain untuk berobat. Saya tidak punya pakaian atau makanan untuk dimakan. Semuanya dihancurkan. Saya merasa malu dan takut," kata wanita lainnya berusia 32 tahun.

Rohingya hidup menderita di Myanmar karena mereka tidak dianggap sebagai warga negara oleh pemerintah. Sebagai warga yang diabaikan, Muslim Rohingya tidak bisa menempuh pendidikan, mendapat pekerjaan atau kebutuhan medis.

Mereka juga kerap terlibat bentrok dengan umat Buddha Rakhine. Ratusan ribu di antara mereka kabur ke luar negeri dengan perahu-perahu seadanya, beberapa terdampar di Aceh tahun lalu.



Credit  CNN Indonesia



Bentrok dengan Militer, Warga Rohingya Lari ke Bangladesh


Bentrok dengan Militer, Warga Rohingya Lari ke Bangladesh Ratusan Muslim Rohingya mencoba melarikan diri dari Myanmar menyusul rangkaian bentrokan yang kian memburuk sejak awal Oktober lalu (Foto: olivia harris)
 
Jakarta, CB -- Ratusan Muslim Rohingya mencoba melarikan diri dari Myanmar menyusul serangkaian bentrokan dengan pasukan militer di Rakhine utara, Myanmar, pada akhir pekan lalu. Berdasarkan data dari militer Myanmar, bentrokan ini telah menewaskan 130 orang.

Bentrokan ini merupakan yang terparah sejak aksi kekerasan sektarian oleh kelompok Buddha radikal terhadap warga Rohingya pada 2012 lalu, yang menewaskan 200 orang dan menyebabkan 140 ribu orang kehilangan tempat tinggal.

Etnis Rohingya selama ini dilaporkan menghadapi diskriminasi dan kekerasan karena tidak dianggap sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah Myanmar menganggap etnis Rohingya merupakan imigran ilegal dari Bangladesh.

Reuters melaporkan, sejumlah warga Rohingya langsung ditembak mati saat mereka mencoba menyebrangi Sungai Naaf, sungai yang memisahkan wilayah Myanmar dengan Bangladesh. Sementara itu, sebagian warga Rohingya lainnya yang berupaya mencapai perbatasan menggunakan perahu ditolak oleh penjaga perbatasan Bangladesh, sehingga mereka diperkirakan akan terombang-ambing di laut.

"Pada Selasa pagi, 86 warga Rohingya termasuk 40 wanita dan 25 anak-anak dicegat oleh penjaga perbatasan Bangladesh (BGB) di titik perbatasan Teknaf," ucap Letnan Kolonel Anwarul Azim, komandan sektor Cox Bazar di Bangladesh Timur.

"Seluruhnya berupaya masuk ke Bangladesh dengan menggunakan dua perahu. Tentara Bangladesh telah meningkatkan patroli dan pasukan untuk memastikan keamanan di perbatasan," kata Anwarul menambahkan.

Empat etnis Rohingya yang dihubungi oleh Reuters membenarkan adanya upaya penembakan pada etnis Rohingya saat menyebrangi perbatasan untuk melarikan diri dari Myanmar.

Menurut pemimpin komunitas Rohingya yang menolak identitasnya dipublikasikan, sekitar 72 etnis Rohingya tewas terbunuh di tepi Sungai Naaf. Ia mengatakan, militer Myanmar menembaki kerumunan etnis Rohingya yang berusaha kabur secara membabi-buta.

"Banyak mayat yang mengambang di laut," ucap salah satu pria yang berasal dari Maungdaw. Ia menyebutkan sebagian kaum perempuan dan anak-anak Rohingya yang berasal dari 10 desa di sana berupaya menyebrangi perbatasan. Sebagian dari mereka terbunuh saat berusaha mencapai perahu.

Tentara Myanmar telah melakukan operasi pembersihan dengan memperketat pengawasan di utara Rakhine, wilayah yang berbatasan langsung dengan Bangladesh, sejak bentrokan pada 9 Oktober lalu. Bentrokan itu menewaskan sembilan polisi Myanmar dan melukai lima lainnya.

Berdasarkan perhitungan Reuters, bentrokan ini telah menewaskan 102 terduga militan dan 32 polisi.

Dalam insiden itu, puluhan senjata dan lebih dari 10 ribu amunisi dicuri dari polisi perbatasan. Pihak berwenang Myanmar meyakini etnis Rohingya yang memantik bentrokan tersebut.

Petugas kemanusiaan serta pihak berwenang Bangladesh memperkirakan sekitar 500 warga Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak bentrokan awal Oktober lalu itu. Kini, para pengungsi Rohingya untuk sementara terpaksa tinggal di empat kamp penampungan yang terletak di perbatasan Bangladesh.

Namun, pengamanan militer Myanmar yang ketat di wilayah itu juga menghambat pengiriman bantuan, seperti pasokan makanan dan obat-obatan.

Sumber dari Reuters mengatakan, kecil kemungkinan kelompok Rohingya itu kembali ke desa-desa mereka di Myanmar.

Penduduk dan para aktivis HAM menduga, pasukan keamanan Myanmar telah melakukan eksekusi, pemerkosaan, dan pembakaran rumah warga Rohingya. Dugaan ini diperkuat dengan citra satelit yang menunjukan kerusakan yang meluas di desa-desa yang dihuni etnis Rohingya, termasuk pembakaran sekitar 430 rumah warga.

Publik internasional telah menyarankan pemerintah Myanmar melakukan penyelidikan independen terkait konflik kemanusiaan yang mendera etnis Rohingya. Namun, alih-alih menyelesaikan insiden kemanusian ini, pemerintah malah memperingatkan warganya akan adanya dugaan "pengalihan persepsi publik" yang dilakukan oleh "kelompok militan yang berbasis di Rakhine."

"Kelompok militan memanfaatkan negara sebagai dasar untuk menyebabkan kerusuhan dan kekacauan demi mendapat perhatian internasional untuk menekan Myanmar," ucap Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Myanmar Aye Aye Soe.

Menteri Urusan Perbatasan negara bagian Rakhine, Kolonel Htain Lin, menolak memberi komentar terkait situasi ini. Kepala Kepolisian Maungdaw, Mayor Kyaw Mya Win berkata, warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah mencoba menyerang anggota militer di sana.

"Penduduk desa di Rakhine (yang sebagian besar merupakan etnis Rohingya) telah menjadi pemberontak, termasuk para penduduk perempuan di sana," ucap Kyaw.



Credit  CNN Indonesia