Dr Hasan Djafar, yang membaca dan menerjemahkan ulang salinan Prasasti Sangguran yang tersimpan di Instituut Kern, Rijksuniversiteit Leiden, Belanda di bawah bimbingan arkeolog Belanda, JG de Casparis, mengatakan nama raja yang tertera dalam prasasti itu adalah Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga, disebutkan juga ada nama Rakryan Mapatih i Hino Pu Sindok Sri Isanawikrama seperti dalam terjemahan prasasti berikut:
"Ketika itulah saatnya perintah Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga diterima oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Sindok Sri Isanawikrama, diturunkan kepada kedua Samgat Momahumah (yang terdiri dari) Samgat Madander: Pu Padma, Samgat Anggehan: Pu Kundala. Memerintahkan agar desa Sangguran (yang termasuk dalam) watak Waharu, melaksanakan pungutan penghasilan sebesar 6 suwarna emas, sebagai pemasukan untuk Punta di Mananjung yang bernama Dang Acaryya".
Terlihat ada nama Pu Sindok atau Mpu Sindok dalam prasasti itu, yang didahului oleh kata "Rakryan Mapatih i Hino". Menurut Hasan, tingkatan gelar birokrasi di kerajaan Mataram kuno yang paling tinggi adalah "Sri Maharaja", tak lain sang raja itu sendiri. Di bawahnya adalah gelar "Rakryan Mahamantri'. Nah, Rakryan Mahamantri ini ada 3, yakni "i Hino", "i Halu" dan "i Sirikan".
"3 Rakyran Mahamantri itu biasanya adalah putra raja. Yang paling tinggi dari ketiga gelar Rakryan itu adalah "i Hino", yang biasanya adalah putra mahkota, yang pertama akan menggantikan raja bila raja berhalangan atau mangkat," ungkap Hasan.
Dari penjelasan tersebut, maka diketahui Pu Sindok yang bergelar Rakryan Mapatih i Hino adalah pejabat tinggi, putra mahkota, yang akan menggantikan Raja Dyah Wawa. Namun, tidak ada catatan tertulis seperti prasasti, kapan pemerintahan Raja Dyah Wawa ini berakhir di Jawa Tengah, dekat Yogyakarta sekarang, yang menjadi pusat kerajaan Mataram kuno.
Kemudian ditemukanlah prasasti di Jawa Timur, Prasasti Gulung-gulung, bertahun 851 Saka yang jika dikonversikan ke penanggalan Masehi adalah 20 April 929. Dalam prasasti Gulung-gulung itu disebutkan ada kata "Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmottunggadewa"
Nah, bila Prasasti Sangguran dibuat pada tanggal 2 Agustus 928 Masehi atau 850 Saka dengan Raja Dyah Wawa, dan Pu Sindok masih bergelar Rakryan Mapatih i Hino alias putra mahkota, maka pada 20 April 929 Masehi (851 Saka) Pu Sindok sudah menjadi raja dengan gelar "Sri Maharaja Rake Hino".
Kemudian, ditemukan Prasasti Turyyan tercatat tahun 851 Saka yang penanggalannya dikonversikan ke Masehi adalah 24 Juli 929 Masehi. Dalam Prasasti Turyyan, menurut Hasan, memperkuat bahwa Pu Sindok sudah menjadi raja karena disebutkan "Sri Maharaja Rake Hino Dyah Sindok Sri Isanawikramadharmatunggadewa" yang "makadatwan" atau keratonnya di Tamwlang. Tamwlang itu kini adalah wilayah Jombang, Jawa Timur.
"Nah, tidak sampai satu tahun kok sudah ada raja baru, dan itu adalah Pu Sindok. Rupanya Dyah Wawa sudah digantikan Pu Sindok. Ini problem, kenapa, bagaimana pergantian dari Dyah Wawa ke Pu Sindok? Itu tak ada catatannya. Dan kenapa ditemukan tidak di Jawa Tengah, tapi di Jawa Timur?" jelas doktor arkeologi dari UI yang kini dosen sejarah di Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) ini.
Pertanyaan besar para sejarawan itu kemudian dihubungkan dengan fenomena bidang geologi dan vulkanologi. Menurut para geolog dan vulkanolog, imbuh Hasan, pada masa akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10, banyak sekali terjadi bencana alam seperti gempa bumi dan letusan gunung.
"Nah, yang dijadikan pegangan dalam hal ini adalah Gunung Merapi. Beberapa tahun lalu kan Gunung Merapi meletus, bisa dilihat kan dahsyatnya," papar Hasan.
Fenomena di bidang geologi itu juga dihubungkan dengan fenomena arkeologi, yakni penemuan candi-candi kuno. Hasan mengingatkan kembali seperti penemuan candi di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta pada 2009 lalu.
"Di daerah utara Maguwo, banyak juga ditemukan candi-candi, yang tertimbun reruntuhan pasir batu vulkanik hingga setinggi 4-5 meter. Banyak juga candi ditemukan di daerah pedesaan di Kedu, yang diduga tertutup banjir lahar Merapi," jelas alumni arkeologi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia tahun 1975 ini.
Dari bukti arkeologi dan fenomena geologi itu, maka hipotesa sementara para sejarawan, Raja Dyah Wawa gugur karena bencana alam, termasuk letusan Gunung Merapi. Bencana alam itu merusak sarana dan prasarana kerajaan sehingga banyak yang tertimbun pasir vulkanik.
"Karena bencana alam itu, maka diduga kuat Raja Dyah Wawa gugur. Rusaknya sarana dan prasarana kerajaan membuat penggantinya, Pu Sindok tidak sempat membuat prasasti hingga memindahkan pusat kerajaannya ke Jawa Timur," ungkapnya.
Credit Detiknews.com