Inggris dan Prancis mengaku terkejut dan tidak
sepakat dengan keputusan Presiden AS Donald Trump, yang menarik seluruh
pasukannya di Suriah. (Delil SOULEIMAN / AFP)
Menteri Pertahanan Prancis, Florence Parly mengaku masih belum paham bagaimana keputusan Trump akan diterapkan di lapangan. Sebab, pasukan khusus Prancis dan Inggris yang beroperasi bersama-sama di Suriah sangat bergantung kepada pasokan logistik AS.
Di sisi lain, Parly meragukan klaim Trump soal kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang sudah ditaklukkan. Sebab mereka merasa justru yang terjadi sebaliknya.
"ISIS memang kehilangan lebih dari 90 persen wilayahnya. Namun, ISIS belum ditaklukkan hingga akarnya. Basis pertahanan terakhir mereka harus dihancurkan melalui operasi militer," kata Parly melalui Twitter, seperti dilansir The Guardian, Jumat (21/12).
Duta Besar Inggris untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Karen Pierce juga menyampaikan tidak sepakat dengan keputusan Trump.
"Masih banyak yang harus dilakukan. Kita tidak boleh lengah mengawasi ISIS, bahkan ketika mereka sudah tidak mempunyai wilayah lagi," kata Pierce di hadapan Dewan Keamanan PBB.
Menurut data Kementerian Pertahanan AS, hingga saat ini tercatat masih ada 14,500 militan ISIS di Suriah. Keputusan Trump menarik pasukan disebut sengaja tidak diberitahukan atau dibicarakan sebelumnya kepada sejumlah pejabat di bidang pertahanan. Namun, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo pasang badan.
"Keputusan ini dibuat presiden (Trump) berdasarkan konsultasi dengan seluruh pejabat senior, termasuk saya," kata Pompeo.
Sejumlah kalangan di Amerika Serikat mengaku kecewa dengan keputusan Presiden Donald Trump yang bakal menarik 2000 pasukan di Suriah. Pasukan AS selama ini disebut hanya ditugaskan memerangi ISIS dan melatih pasukan pemberontak Suriah, SDF.
Mayoritas pasukan AS itu ditempatkan di Suriah bagian utara. Ada juga sebagian kecil yang diplot di garnisun yang berada di Al-Tanaf, dekat perbatasan Yordania dan Irak.
Credit cnnindonesia.com