Keluarnya AS dari kesepakatan nuklir Iran dan Rusia diyakini mendorong lomba senjata.
Oleh Redaktur
Republika.co.id: Nur Aini
Keputusan Presiden Donald Trump untuk menarik AS dari dua perjanjian
nuklir yakni kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) dan kesepakatan senjata
nuklir jarak menengah dengan Rusia/Uni Soviet (INF) menimbulkan
kekhawatiran global. Kekhawatiran tersebut terutama disuarakan oleh Uni
Eropa. Uni Eropa ingin tetap mempertahankan kesepakatan nuklir Iran
meski tanpa AS. Bagi Uni Eropa, kesepakatan nuklir Iran tersebut dapat
membantu memecahkan masalah seperti program rudal balistik Iran.
Iran
menilai dukungan Uni Eropa saja tidak cukup jika tanpa tindakan yang
membantu Iran tetap berada dalam kesepakatan tersebut. Uni Eropa diminta
untuk mengamankan perdagangan minyak dengan Iran dan tanpa melewati
sistem keuangan AS. Uni Eropa pun menanggapinya dengan mengaktifkan
undang-undang yang melarang perusahaan-perusahaan dan pengadilan Uni
Eropa mematuhi sanksi AS terhadap Iran. Meskipun, perusahaan-perusahaan
tersebut akan menghadapi pilihan yang sulit karena AS mengancam
menjatuhi hukuman bagi prusahaan yang melanggar sanksi terhadap Iran.
Masalah
Uni Eropa selanjutnya adalah ancaman keamanan setelah AS keluar dari
perjanjian INF. Kesepakatan INF selama ini menjadi salah satu pilar
keamanan di wilayahnya. Kesepakatan INF bermula dari kekhawatiran misi
nuklir Uni Soviet, S-20 yang mampu menargetkan negara-negara Barat.
Setelah AS keluar dari INF, Presiden Rusia Vladimir Putin mengajukan
resolusi untuk mendukung INF ke PBB namun ditolak dalam pemungutan
suara. Sementara, setelah mengumumkan keluar dari INF, Trump menyatakan
siap membangun dan mengembangkan senjata nuklirnya. Runtuhnya
kesepakatan INF itu pun dinilai Rusia akan membuat dunia masuk ke dalam
perlombaan senjata dan konfrontasi langsung.
Hingga saat
ini, terdapat sembilan negara yang memiliki senjata nuklir. Sementara,
jumlah senjata nuklir di seluruh dunia tercatat mencapai 14.500 unit.
Berdasarkan dari Asosiasi Kontrol Senjata dan Federasi Ilmuwan Amerika,
Rusia memiliki senjata nuklir terbanyak yakni 6.800 senjata. Negara itu
telah melakukan tes senjata nuklir sebanyak 715 kali sejak pertama kali
dilakukan pada Agustus 1949. Sementara, uji coba senjata nuklir terakhir
dilakukan pada Oktober 1990.
Negara kedua yang memiliki
senjata nuklir adalah AS dengan total 6.500 senjata nuklir. AS telah
melakukan uji coba senjata nuklir hingga 1.030 kali dari tes pertama
pada Juli 1945. Tes senjata terakhir pada September 1992. Negara lainnya
yang memiliki senjata nuklir yakni Prancis dengan 300 senjata, Cina
(270 senjata), Inggris (215 senjata), Pakistan (130-140 senjata), India
(120-130 senjata), Israel (80 senjata), dan Korea Utara (10-20 senjata).
Negara-negara
yang dituding AS mengembangkan senjata nuklir seperti Iran justru tidak
tercatat memiliki senjata tersebut, sementara cadangan senjata nuklir
Korut jauh lebih kecil dari AS dan Rusia. Akan tetapi, dua negara yang
memiliki stok senjata nuklir terbesar yakni AS dan Rusia tidak lagi
terikat dalam kesepakatan pengendalian senjata. Dengan runtuhnya
kesepakatan nuklir, bisa jadi jumlah senjata tersebut terus bertambah
jika tak ada kesepakatan baru di tahun-tahun mendatang.