Ilustrasi Uighur di China. (Reuters/Thomas Peter)
Kedubes China menyatakan kamp-kamp tersebut dibentuk demi membantu memberdayakan etnis Uighur yang sebagian besar memiliki keterampilan dan bahasa terbatas.
"Di beberapa tempat, penduduk tertentu di sana memiliki keterampilan dan bahasa yang terbatas akan pengetahuan hukum. Mereka sering kesulitan mencari pekerjaan karena keterampilan yang terbatas," bunyi pernyataan Kedubes China pada Rabu (20/12).
"Mengingat situasi ini, otoritas Xinjiang telah mendirikan lembaga pelatihan kejuruan profesional sebagai platform yang menyediakan kursus bahasa China, pengetahuan hukum, keterampilan kejuruan, hingga pendidikan deradikalisasi bagi warga yang terpengaruh ide-ide ekstremis."
Institusi-institusi pelatihan itu disebut memberikan etnis Uighur dan Xinjiang berbagai macam kursus, seperti membuat baju, sepatu, makanan, produk-produk elektronik, hingga cara membangun e-commerce.
Kedubes China memaparkan para peserta pelatihan juga bisa belajar hingga dua keterampilan sesuai minat masing-masing. Para peserta juga diklaim dibayar atas hasil karya mereka selama berada di kamp pelatihan.
Selain membantu memberdayakan warga Xinjiang, Beijing menganggap pelatihan vokasi juga dianggap bisa membantu mencegah penyebaran paham ekstremis yang dapat mengancam keamanan.
"Fakta telah membuktikan bahwa pelatihan vokasi seperti itu sangat efektif mencegah penyebaran paham ekstremisme dan mencegah serangan terorisme di Xinjiang," demikian pernyataan kedubes China.
Dalam pernyataan itu, Kedubes China juga membantah tudingan bahwa pemerintahannya membatasi hak-hak beragama kaum minoritas, termasuk etnis Uighur yang mayoritas Muslim.
Kedubes China menyatakan sesuai dengan konstitusi, "pemerintah melindungi kebebasan beragama yang dinikmati oleh seluruh warga, termasuk etnis Muslim Uighur."
Pernyataan itu dirilis Kedubes China di Jakarta menyusul protes warga Indonesia, termasuk sejumlah tokoh hingga politikus, terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Negeri Tirai Bambu terhadap suku Uighur dan minoritas lainnya di Xinjiang secara massal dan sistematis.
Salah satu pelanggaran HAM paling dikhawatirkan adalah mengenai penahanan jutaan etnis Uighur dan minoritas lainnya yang dilakukan otoritas China.
Berdasarkan kesaksian sejumlah warga Xinjiang, otoritas China terus melakukan penahanan massal sewenang-wenang terhadap Uighur dan minoritas muslim lain di Xinjiang sejak 2014 lalu.
Tak seperti kasus Rohingya, Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, dianggap tutup mata terhadap pelanggaran yang terjadi pada etnis Uighur.
Sejumlah politikus oposisi pemerintah seperti Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, dan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin, turut mengkritik sikap pemerintah yang dianggap diam melihat dugaan pelanggaran HAM di Xinjiang.
Tak hanya kelompok pemerhati HAM dan tokoh politik, warganet Indonesia juga menaruh perhatian pada penindasan terhadap Muslim Uighur.
Seruan #UsirDubesChina menggema sebagai sikap geram lewat lini masa Twitter pada Rabu (19/12). Meski tidak menjadi trending topic, tapi tagar ini menyita perhatian warganet Indonesia.
Pengguna internet mempertanyakan empati warga di seluruh dunia atas kekejaman atas Muslim etnis Uighur di China.
Credit cnnindonesia.com