Marzuki, yang pernah menjabat sebagai jaksa agung Indonesia, dalam wawancara dengan kantor berita Associated Press, mengatakan bahwa laporan mereka -yang menjadi dasar resolusi PBB bulan Desember lalu- tidak menganjurkan opsi militer untuk perubahan rezim sebagaimana disebutkan Korea Utara.
"Yang penting, menurut saya, tugas pertama adalah untuk membantu pembebasan 80.000 hingga 100.000 (tahanan) dan pembubaran kamp-kamp (tahanan) ini," kata Marzuki.
"Namun itu hanya bisa terjadi jika sistem kepemimpinan kultus itu benar-benar dibongkar. Dan satu-satunya cara untuk melakukannya adalah jika keluarga Kim Jong-un secara efektif diasingkan, secara efektif dikeluarkan dari posisinya, dan diganti dengan kepemimpinan baru," kata Marzuki
Kata-kata eksplisit seperti itu memang jarang terdengar dari seorang pejabat tinggi PBB, meskipun umum di antara para pejabat Amerika Serikat.
Ia mengatakan usulan yang disampaikan kepada PBB sebelumnya mengenai upaya membujuk atau memaksa Korea Utara untuk memperbaiki catatan hak asasi manusianya hanya sebatas langkah "retoris".
Resolusi DK PBB
Namun ia mengatakan resolusi ini, disahkan oleh Majelis Umum pada bulan Desember, lebih berbobot karena menganggap Kim bertanggung jawab berdasarkan laporan sepanjang 372 halaman yang disampaikan tahun lalu oleh Komisi Penyelidikan yang didukung oleh PBB yang memaparkan secara rinci penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, eksekusi dan kamp-kamp penjara politik."Ini merupakan suatu gelombang perubahan dalam sikap masyarakat internasional," katanya.
Korea Utara, menurut Marzuki, "berada dalam posisi paling rentan, setiap kali kesalahan dan tanggung jawab pemimpin mereka mendapat sorotan publik internasional".
Tanggapan keras Korea Utara antara lain ancaman tes nuklir yang lebih banyak lagi, aksi massa, kampanye hitam terhadap pembelot yang bekerja sama untuk laporan PBB itu dan tuduhan bahwa Washington mengatur semua ini sebagai upaya mempercepat perubahan rezim.
Media pemerintah pekan lalu mencerca temuan PBB lagi dengan mengatakan "orang-orang yang memalsukan laporan itu semua merupakan penipu politik yang disuap dan manusia sampah tercela".
Mereka juga menyebut Marzuki sebagai "oportunis."
Dalam sebuah upaya perundingan yang langka, diplomat Korea Utara di PBB melobi untuk tidak membawa-bawa kesalahan Kim dalam resolusi itu. Namun mereka gagal.
Proposal tersebut masuk dalam agenda Dewan Keamanan, yang tahun ini diharapkan untuk membuat keputusan apakah akan membawa kasus ini ke Pengadilan Pidana Internasional di Den Haag.
Sikap Cina
Hanya beberapa saat sebelum resolusi itu disahkan Majelis Umum PBB, diplomat Korea Utara minta berbicara dengan Marzuki untuk menghapus kata-kata tersebut. Selama pertemuan, Ri Hung Sik, duta besar Korea Utara, mengisyaratkan bahwa masa depan mereka dipertaruhkan, kata Marzuki."Mereka mengatakan bahwa orang lain akan mengambil alih, dan garis keras akan mengambil alih," kata Marzuki, yang menyiratkan bahwa perpecahan mungkin sudah terbentuk antara faksi-faksi yang berebut membuktikan loyalitas dan efektifitas dalam melindungi kepemimpinan di Korea Utara.
Namun inilah realitas mengenai resolusi tersebut: Kemungkinan proses pidana terhadap Kim sangat kecil.
Hal itu mungkin akan ditidak setujui oleh Cina atau Rusia, yang memiliki hak veto di Dewan Keamanan. Selain itu, walaupun lebih dari 120 negara mendukung Mahkamah Pidana Internasional, Amerika Serikat bukan salah satu dari mereka, jadi agak susah bagi Washington untuk secara kuat mendorong hal ini.
Namun bahkan tanpa membawa Kim ke pengadilan, Marzuki mengatakan, menempatkan masalah hak asasi warga Korea Utara dalam agenda Dewan Keamanan berarti Pyongyang akan menghadapi peningkatan pengawasan dari masyarakat internasional.
Ia mengatakan Cina juga akan berada di bawah tekanan untuk menjauhi Pyongyang atau beresiko kehilangan kredibilitas.
"Mungkin susah dipercaya, namun pada tahap tertentu Cina tidak dapat terus berhubungan dengan rezim yang dikecam oleh masyarakat internasional," katanya.
Credit BBC World - detikNews