CB, Jakarta - Badan Intelijen Pertahanan AS atau Defense Intelligence Agency laporan Pentagon terkait kebangkitan militer Cina mengkhawatirkan komunitas intelijen.
Beberapa tahun terakhir, Cina telah mengembangkan militernya untuk mengejar ketertinggalan dari negara barat, mulai dari investasi besar-besaran dalam proyek teknologi militer seperti rudal hipersonik dan pesawat tempur siluman hingga kapal induk, menurut laporan The Marine Corps Times, 16 Januari 2019.
Namun teknologi itu belum cukup menambah kekhawatiran AS, menurut laporan Defense Intelligence Agency (DIA).
Sebab semua lonjakan teknologi militer bukan hanya menambah alutsista, namun semua personel militer Tentara Pembebasan Rakyat Cina kini mencapai titik puncaknya dan kini merasa siap tempur dengan pesaingnya, dan tentu saja ini kabar buruk bagi AS yang bersengketa di Laut Cina Selatan dan Taiwan.
Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) ambil bagian dalam parade militer untuk memperingati ulang tahun ke-90 berdirinya angkatan darat di markas militer Zhurihe di Daerah Otonom Mongolia, Cina, 30 Juli 2017. REUTERS/String
Berdasarkan laporan tahun 2019 DIA tentang China Military Power, pejabat intelijen senior mengatakan bahwa kekuatan militer Beijing akan mampu untuk menginvasi Taiwan.
"Kekhawatiran utama adalah bahwa perwira tinggi Tentara Pembebasan Rakyat Cina (PLA) mengatakan kepada Presiden Xi Jinping bahwa mereka percaya akan kemampuan tempurnya. Kita tahu sebelumnya mereka masih berkembang dan masih memiliki kemampuan tempur yang rendah," kata pejabat.
Pejabat tersebut melanjutkan, bahwa semakin masif dan majunya teknologi tempur, organisasi ulang dan re-strukturisasi militer Cina mulai berdampak pada kepercayaan diri dalam kesiapan tempur, sehingga konflik regional berpotensi terjadi.
Berdasarkan penilaian terhadap makalah dan pernyataan resmi Cina, intelijen AS dalam laporan DIA menyimpulkan bahwa modernisasi militer Cina tidak dilakukan dengan mempertimbangkan perang global, tetapi sebagai persiapan untuk tantangan lebih lanjut terhadap upaya regionalnya, yang berpotensi mengarah pada perang lokal.
Beberapa tahun terakhir, Cina telah mengembangkan militernya untuk mengejar ketertinggalan dari negara barat, mulai dari investasi besar-besaran dalam proyek teknologi militer seperti rudal hipersonik dan pesawat tempur siluman hingga kapal induk, menurut laporan The Marine Corps Times, 16 Januari 2019.
Namun teknologi itu belum cukup menambah kekhawatiran AS, menurut laporan Defense Intelligence Agency (DIA).
Sebab semua lonjakan teknologi militer bukan hanya menambah alutsista, namun semua personel militer Tentara Pembebasan Rakyat Cina kini mencapai titik puncaknya dan kini merasa siap tempur dengan pesaingnya, dan tentu saja ini kabar buruk bagi AS yang bersengketa di Laut Cina Selatan dan Taiwan.
Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) ambil bagian dalam parade militer untuk memperingati ulang tahun ke-90 berdirinya angkatan darat di markas militer Zhurihe di Daerah Otonom Mongolia, Cina, 30 Juli 2017. REUTERS/String
Berdasarkan laporan tahun 2019 DIA tentang China Military Power, pejabat intelijen senior mengatakan bahwa kekuatan militer Beijing akan mampu untuk menginvasi Taiwan.
"Kekhawatiran utama adalah bahwa perwira tinggi Tentara Pembebasan Rakyat Cina (PLA) mengatakan kepada Presiden Xi Jinping bahwa mereka percaya akan kemampuan tempurnya. Kita tahu sebelumnya mereka masih berkembang dan masih memiliki kemampuan tempur yang rendah," kata pejabat.
Pejabat tersebut melanjutkan, bahwa semakin masif dan majunya teknologi tempur, organisasi ulang dan re-strukturisasi militer Cina mulai berdampak pada kepercayaan diri dalam kesiapan tempur, sehingga konflik regional berpotensi terjadi.
Berdasarkan penilaian terhadap makalah dan pernyataan resmi Cina, intelijen AS dalam laporan DIA menyimpulkan bahwa modernisasi militer Cina tidak dilakukan dengan mempertimbangkan perang global, tetapi sebagai persiapan untuk tantangan lebih lanjut terhadap upaya regionalnya, yang berpotensi mengarah pada perang lokal.
Credit tempo.co