Ilustrasi unjuk rasa di Jalur Gaza, Palestina. (AFP PHOTO / MAHMUD HAMS)
"Keputusan ini diambil menyusul perkembangan terakhir terkait aktivitas brutal geng-geng de facto di Jalur Gaza," ucap otoritas Palestina untuk urusan sipil, melalui pernyataan yang dikutip kantor berita WAFA pada Senin (7/1).
Otoritas Palestina menuding Hamas memanggil, menahan, dan menyiksa sejumlah pegawainya. Pada 5 Januari lalu, Hamas menggerebek markas kantor berita Palestina di Gaza dan menangkap lima staf media tersebut.
Sejumlah peralatan berharga milik stasiun televisi itu disebut ikut hancur dalam penggerebekan.
Hamas pernah menguasai Jalur Gaza ketika bertikai dengan Fatah, salah satu saingan politik mereka pada 2007 lalu. Namun, otoritas Palestina berhasil mengambil alih Gaza pada November 2017 lalu ketika Hamas sepakat berdamai dengan pemerintahan Presiden Mahmoud Abbas.
"Sejak kami mengambil alih kontrol di perbatasan Rafah, Hamas terus menggangu pekerjaan staf kami di sana," papar Otoritas Palestina.
Sementara itu, juru bicara Hamas menganggap penarikan staf-staf Palestina dari Rafah merupakan taktik baru Presiden Abbas untuk memisahkan Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Otoritas Palestina selama ini berbasis di Ramallah, Tepi Barat. Gaza dan Tepi Barat dipisahkan oleh wilayah Israel.
Penangkapan seperti ini bukan yang pertama kali dilakukan Hamas. Seperti dikutip AFP, juru bicara Fatah menuduh Hamas telah melakukan penangkapan massal terhadap sejumlah anggotanya di Gaza pada akhir Desember 2018.
Hamas membantah tuduhan tersebut. Selama ini upaya rekonsiliasi antara Fatah-Hamas terus dilakukan, tetapi tak belum membuahkan hasil. Padahal perwakilan keduanya sudah beberapa kali bertemu membicarakan perdamaian.
Otoritas Palestina yang didukung Fatah dan diakui secara internasional terus menekan Hamas agar mau berdamai, dengan menurunkan gaji pegawai negeri sipil di Gaza.
Credit cnnindonesia.com