Kamis, 05 April 2018

Austria Ancang-ancang Melarang Jilbab untuk Siswi SD


Austria Ancang-ancang Melarang Jilbab untuk Siswi SD
Wakil Kanselir Austria Heinz-Christian Strache. Foto/REUTERS/Leonhard Foeger


WINA - Pemerintah Austria mengumumkan rencananya untuk melarang jilbab dikenakan anak perempuan di taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD). Para kritikus menilai rencana larangan jilbab ini menargetkan komunitas Muslim di negara tersebut.

Menteri Pendidikan Austria Heinz Fassmann mengatakan bahwa rancangan undang-undang (RUU) tentang jilbab akan siap pada musim panas.

Pengumuman itu muncul beberapa hari setelah Wakil Kanselir Heinz-Christian Strache, seorang anggota Partai Kebebasan Austria (FPO), mengusulkan larangan tersebut. Alasannya, untuk "melindungi" gadis-gadis di bawah usia 10 tahun dan memungkinkan mereka untuk "berintegrasi" ke dalam masyarakat Austria.

Pada bulan Desember 2017, FPO dan Partai Rakyat Austria (OVP) mencapai kesepakatan untuk membentuk koalisi. Dua kekuatan politik itu sama-sama partai sayap kanan.

Pada bulan Januari, koalisi OVP-FPO memperkenalkan program politik yang menargetkan komunitas Muslim, di mana fokus dalam program itu adalah membatasi jumlah umat Islam yang tinggal di negara tersebut.

Pada bulan yang sama, Menteri Dalam Negeri Austria Herbert Kickl dari FPO, mengatakan pemerintah harus memusatkan perhatian kepada para pengungsi dan migran di satu tempat. Komentar itu memicu kecaman yang meluas karena dianggap mirip dengan ide pembentukan kamp konsentrasi seperti di era Perang Dunia II.

Dari 8,75 juta penduduk di negara itu, diperkirakan 700.000 orang di antaranya diidentifikasi sebagai warga Muslim.

Pada bulan Oktober 2017, pemerintah di negara Eropa ii memperkenalkan UU larangan cadar. Undang-undang itu mengizinkan otoritas terkait untuk menindak pelanggar dengan denda USD180.

Partai Sosial Demokratik (SPO) Austia, yang merupakan oposisi, menuduh FPO dan koalisinya mengobarkan rasisme anti-Muslim. Juru bicara SPO, Sabine Schatz, mengatakan bahwa FPO menggerakkan dukungan populis dengan memfokuskan kemarahannya pada pengungsi, migran dan komunitas Muslim pada umumnya.

"Dalam oposisi, FPO menggabungkan isu-isu sosial dengan rasisme, khususnya rasisme anti-Muslim," katanya kepada Al Jazeera. "Ini membuat partai sukses," ujarnya, Kamis (5/4/2018).

Farid Hafez, seorang pakar senior di Bridge Initiative Georgetown University, menjelaskan bahwa FPO telah berusaha menjauhkan diri dari anti-Semitisme untuk melegitimasi rasisme anti-Muslim.

"Dengan Islamophobia yang jauh lebih populer, FPO berkonsentrasi pada bentuk rasisme ini, yang secara terbuka (digarap)," ujarnya. 





Credit  sindonews.com