DAMASKUS
- Muayad al-Dirani, 20, berada di pusat medis di Kota Douma, Suriah,
pada malam 7 April 2018. Aktivis ini melihat para pasien mulai masuk.
Banyak dari mereka mati lemas atau yang masih hidup mengalami kejang. Menurut Dirani, mereka merupakan korban serangan kimia gas beracun yang menyerang wilayah kantong pemberontak Suriah tersebut.
Menurutnya, para dokter bergegas untuk menanggalkan pakaian para korban, mencelupkannya dalam air, dan memberi suntikan atropin. Tapi, para pasien tidak bisa mengikuti instruksi para dokter.
"Semua orang kehilangan sarafnya, merasa tidak berdaya dan tidak tahu apa yang harus dilakukan," kata Dirani. "Pesawat itu masih ada di langit," lanjut dia.
Rasha Edlibi, seorang korban yang selamat dari serangan kimia, mengatakan bahwa gas beracun membuatnya tidak bisa bernafas dan membuat matanya terlihat penuh air mata.
Dirani melanjutkan, para petugas medis sudah bekerja dengan kapasitas penuh setelah berminggu-minggu artileri tentara dan serangan udara menghantam Douma. Dirani merupakan fotografer yang bekerja untuk mendokumentasikan korban serangan selama konflik Suriah.
Dia mengambil kameranya, mengenakan masker wajah, dan berlari dengan pekerja darurat ke lokasi serangan di dekatnya.
"Di jalan, kami melihat mayat-mayat di jalan ... Mereka mencoba melarikan diri dan tidak berhasil," ujarnya, seperti dikutip Reuters, Kamis (19/4/2018).
Kelompok bantuan medis mengatakan lusinan pria, wanita, dan anak-anak dibunuh dengan gas beracun di Douma pada malam itu. Damaskus dan sekutunya, Moskow, telah menolak laporan tentang serangan kimia di Douma.
Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris telah meluncurkan serangan ratusan rudal pada Sabtu lalu dengan dalih sebagai respons atas dugaan serangan kimia yang dituduhan dilakukan pasukan rezim Presiden Bashar al-Assad.
Dirani berbicara kepada Reuters dalam wawancara telepon dari wilayah pemberontak di Suriah utara, di mana ribuan pasukan pemberontak dan warga sipil dari Douma dievakuasi di bawah kesepakatan menyerah dengan pemerintah Assad.
Dirani mengatakan ketika dia mencapai lokasi serangan, dia menemukan hampir 30 mayat di lantai dasar, dan beberapa lainnya ditemukan lantai pertama. Mata mereka terbuka dan busa keluar dari mulut.
Banyak dari mereka mati lemas atau yang masih hidup mengalami kejang. Menurut Dirani, mereka merupakan korban serangan kimia gas beracun yang menyerang wilayah kantong pemberontak Suriah tersebut.
Menurutnya, para dokter bergegas untuk menanggalkan pakaian para korban, mencelupkannya dalam air, dan memberi suntikan atropin. Tapi, para pasien tidak bisa mengikuti instruksi para dokter.
"Semua orang kehilangan sarafnya, merasa tidak berdaya dan tidak tahu apa yang harus dilakukan," kata Dirani. "Pesawat itu masih ada di langit," lanjut dia.
Rasha Edlibi, seorang korban yang selamat dari serangan kimia, mengatakan bahwa gas beracun membuatnya tidak bisa bernafas dan membuat matanya terlihat penuh air mata.
Dirani melanjutkan, para petugas medis sudah bekerja dengan kapasitas penuh setelah berminggu-minggu artileri tentara dan serangan udara menghantam Douma. Dirani merupakan fotografer yang bekerja untuk mendokumentasikan korban serangan selama konflik Suriah.
Dia mengambil kameranya, mengenakan masker wajah, dan berlari dengan pekerja darurat ke lokasi serangan di dekatnya.
"Di jalan, kami melihat mayat-mayat di jalan ... Mereka mencoba melarikan diri dan tidak berhasil," ujarnya, seperti dikutip Reuters, Kamis (19/4/2018).
Kelompok bantuan medis mengatakan lusinan pria, wanita, dan anak-anak dibunuh dengan gas beracun di Douma pada malam itu. Damaskus dan sekutunya, Moskow, telah menolak laporan tentang serangan kimia di Douma.
Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris telah meluncurkan serangan ratusan rudal pada Sabtu lalu dengan dalih sebagai respons atas dugaan serangan kimia yang dituduhan dilakukan pasukan rezim Presiden Bashar al-Assad.
Dirani berbicara kepada Reuters dalam wawancara telepon dari wilayah pemberontak di Suriah utara, di mana ribuan pasukan pemberontak dan warga sipil dari Douma dievakuasi di bawah kesepakatan menyerah dengan pemerintah Assad.
Dirani mengatakan ketika dia mencapai lokasi serangan, dia menemukan hampir 30 mayat di lantai dasar, dan beberapa lainnya ditemukan lantai pertama. Mata mereka terbuka dan busa keluar dari mulut.
"Tidak ada tempat bagi kita untuk berjalan ... Mereka tampak mengerikan," ujar Dirani.
Dia berhenti mengambil foto para korban dan bergegas keluar untuk mendapatkan pertolongan pertama, setelah matanya terbakar dan napasnya menjadi pendek. Dirani mengatakan dia juga batuk dan merasakan sakit di bagian bawah perutnya.
"Adegan yang saya lihat tidak meninggalkan pikiran saya, dan mereka tidak akan pernah terhapus dari ingatan saya," katanya.
Dia mengingat pemandangan seorang bocah kejang di lantai, disemprot dengan air dan diberi oksigen. "Kami menunggu dia untuk menjadi lebih baik atau mati," katanya.
"Semua orang menangis, staf medis menangis dan saya juga, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa," imbuh dia. Douma terletak di wilayah Ghouta timur, dekat Damaskus.
Credit sindonews.com